Sabtu, 21 Februari 2009

Yesus Kristus : Kesempurnaan Kenosis Allah

Mencari Relevansi Kristologi bagi Masyarakat Asia


Prolog : Tantangan bagi Kristologi dari Pluralitas dan Kemiskinan Asia
Tidak dapat dipungkiri bahwa pluralisme menjadi topik yang semakin hangat dibicarakan di dalam dunia teologi. Kesadaran akan realita ini semakin mengusik orang beriman pada zaman sekarang. Sadar atau tidak sadar, dunia global seolah-olah sedang bergerak menuju suatu peradaban dunia di mana begitu banyak budaya dan tradisi keagamaan akan bersinggungan dan mempengaruhi satu sama lain. Banyak orang mulai sadar bahwa budaya dan tradisi religius mereka ternyata bukan satu-satunya budaya dan tradisi religius yang hidup di dunia ini. Klaim-klaim kebenaran dari sebuah komunitas religius semakin menjadi klaim-klaim yang bersifat semata-mata partikular dan tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang.

Pluralisme pada umumnya terkait dengan pertanyaan-pertanyaan kompleks seputar keunikan, universalitas, dan absolutisme dari pandangan tradisional. Kompleksitas ini pada akhirnya membutuhkan sebuah pencerahan baru (a new enlightment) yang didasarkan pada ke-lain-an (otherness) dan pluralitas untuk mengganti subjektivitas dan klaim-klaim keunikan absolut. Bagi umat Kristen, salah tantangan pluralisme terbesar tentu akan terkait dengan persoalan Kristologi, yaitu bagaimana Gereja saat ini harus memahami universalitas pewahyuan dan keselamatan dalam diri Yesus dan dalam waktu yang sama, tetap mengakui nilai-nilai pewahyuan dan keselamatan dari agama lain[1]. Banyak hal yang disampaikan pada intinya akan bermuara pada pertanyaan bagaimana Kristologi dapat berbicara dalam situasi dunia plural saat ini.

Pertanyaan ini tentu menjadi semakin relevan jika ditatapkan dalam konteks Gereja Asia, yang selain pluralime, juga diwarnai oleh kemiskinan dan usaha kuat untuk melakukan inkulturasi. Bagaimana dalam situasi kemiskinan dan plural seperti ini, pandangan Kristologi tradisional, lengkap dengan berbagai macam istilah yang membingungkan itu, tetap dapat mempunyai signifikansi dan relevansi bagi kehidupan Gereja?

Terkait dengan hal ini, banyak beberapa orang teolog yang menyebut diri sebagai teolog pluralis (Aloysius Pieris, Jacques Dupuis, W.C. Smith, John Hick, Raimon Panikkar, Paul F. Knitter, Stanley Samartha, Tissa Balasuriya, Michael Amaladoss, dan masih banyak lagi) mencoba merefleksikan kembali Kristologi dalam konteks pluralitas dan kemiskinan masyarakat Asia. Refleksi mereka memang sangat memperkaya khazanah iman Gereja. Pemikiran-pemikiran ‘nakal’ yang coba mereka gulati dari hari ke hari menantang Gereja untuk tidak membiarkan saja keagungan misteri Kristus, terkungkung dalam rumusan-rumusan dogma yang kaku dan terkadang tidak berbicara apa-apa bagi kehidupan.

Namun, tetap harus disadari bahwa tidak jarang, beberapa pemikir akhirnya jatuh dalam ekstrem yang lain yang akhirnya tidak menyelesaikan persoalan Gereja dalam dunia plural ini, melainkan menambah persoalan baru terlebih terkait dengan fidelity refleksi mereka pada Kitab Suci dan Tradisi Suci Gereja. Maka, kendati sudah sepantasnya berterima kasih kepada mereka, Gereja tetap harus bersikap kritis dalam menerima pandangan-pandangan tersebut.
Salah satu kriterium yang biasanya membuat beberapa pandangan berseberangan dengan Gereja adalah persoalan titik berangkat Kristologi. Ada dua titik berangkat yang berbeda yang digunakan oleh Gereja dan para teolog pluralis. Bagi Gereja, jelas bahwa pengalaman iman personal umat akan Yesus Kristus, Kitab Suci, dan Tradisi selalu menjadi sumber, konteks, dan titik berangkat Kristologi. Pengalaman iman akan Yesus Kristus ini diharapkan mampu memberikan motivasi atau cara pandang baru bagi Gereja untuk bersikap terhadap situasi dunia, termasuk di dalamnya dunia yang plural dan miskin. Pandangan orang akan Kristus akhirnya mendesak dan menantang orang untuk terlibat dan mengusahakan perubahan dunia.
Sementara itu, para teolog pluralis terkadang merefleksikan Kristus dengan berpijak dan berawal dari situasi dan keprihatinan konkret dunia. Bagi mereka, pluralitas dan kemiskinan umat manusia (beberapa teolog masih menambahkan kerusakan lingkungan alam) harus menjadi starting point Kristologi. Gereja tidak dapat mendasarkan sikapnya atas keragaman religius dan kemiskinan pada pandangan-pandangan Kristologi yang terkadang sangat eksklusif dan selalu menempatkan Kristus di atas agama-agama lain[2]. Kristologi harus dirumuskan dan ditemukan dalam situasi konkret perjumpaan dengan mereka yang beragama lain (religious others) dan mereka yang miskin (suffering others)[3]. Roger Haight, Paul F. Knitter, Jacques Dupuis sangat kuat menyuarakan metode Kristologi semacam ini. Maka, refleksi Kristologis idealnya harus terus berkembang sesuai dengan perubahan dan dinamika perkembangan situasi dunia[4].

Dalam paper ini, penulis akan mendalami Kristologi macam apa yang diharapkan mampu berbicara bagi Gereja Asia. ‘Kemampuan berbicara’ ini pada akhirnya akan terkait dengan sejauh mana Kristologi mempengaruhi sikap dan pandangan Gereja terhadap dunia Asia yang miskin dan plural ini. Dalam usaha ini, penulis akan mencoba tetap setia pada metodologi Kristologi yang ditawarkan oleh Gereja, yakni dengan meletakkan pengalaman personal, Kitab Suci, dan Tradisi Gereja sebagai titik tolak Kristologi

Menuju Kristologi Asia
Berbicara tentang Kristologi, perhatian orang tentu akan tertuju pada empat konsili awal Gereja yang berlangsung sampai abad IV M. Di sana memang dirumuskan pandangan Gereja yang cukup mendasar tentang Kristus. Namun, jika dilihat lebih lanjut, perumusan Kristologi pada abad-abad awal tersebut sebenarnya mengandung baik sisi positif maupun negatif. Di satu sisi, situasi ini membawa keuntungan bagi Gereja : Gereja mempunyai rumus-rumus tertentu yang dapat digunakan sebagai pegangan dan acuan dalam memecahkan persoalan-persoalan Kristologi pada zaman itu. Di sisi lain, rumusan-rumusan itu terkadang membatasi dan membingungkan. Banyak istilah khas Yunani yang digunakan pada waktu itu (ousia, homoousios, hypostases, prosopon), sekarang sudah tidak dapat dimengerti lagi dengan baik karena maknanya semakin lama semakin berbeda dan terdistorsi dari makna aslinya. Akhirnya, orang akan mudah terkurung dalam rumusan-rumusan istilah dan alih-alih memahami maksudnya, mereka hanya akan menghapalkan rumusan yang sudah ‘baku’ tersebut. Maka, sebenarnya menjadi hal yang sangat mendesak untuk merumuskan Kristologi khas Asia yang dapat merangkul pengalaman iman orang Asia dengan segala pergulatannya.
Sebelum masuk ke sana, akan dijelaskan terlebih dahulu matriks teologi Asia sebagai kerangka luas perumusan Kristologi. Secara umum, negara-negara Asia hidup dalam suasana miskin dan minoritas. Hampir semua negara Asia merupakan negara yang belum maju secara ekonomi. Lebih dari tiga permepat kaum miskin di seluruh dunia hidup di Asia. Secara keagamaan pun, Gereja Asia tampil sebagai orang asing di rumah sendiri. Kekristenan memang muncul dan lahir di Asia. Namun, tidak lama setelah kemunculannya, Kekristenan segera meninggalkan Asia dan berkembang dengan pesat di daratan Eropa. Beberapa waktu kemudian, kekristenan mencoba kembali ke ‘rumah’nya dengan suasana yang sudah sangat lain. Dalam proses kembali ini, rupanya kekristenan tidak begitu mendapat tempat di hati orang Asia. Buktinya, sudah hampir 400 tahun karya misi terlaksana di Asia, jumlah orang Kristiani di Asia tidak lebih dari 3 %[5].
Dengan jumlah yang sedemikian kecil ini, Gereja Asia harus hidup berdampingan dengan banyak pemeluk agama yang lain. Kemiskinan dan kemajemukan religius inilah yang menurut Aloysius Pieris harus selalu diperhatikan ketika orang ingin membangun suatu teologi khas Asia ataupun ketika orang hendak melakukan usaha pembebasan Asia dari kemiskinan. Kedua hal tersebut saling terkait dan mempengaruhi. Artinya, penanganan problem kemiskinan di Asia hanya dapat berlangsung dengan tepat kalau dilakukan dalam konteks dialog dengan agama-agama Asia; dan dialog yang otentik dan berhasil antara agama-agama itu hanya mungkin kalau didasari oleh keprihatinan terhadap kaum miskin di Asia[6].

Dari konteks ini, Aloysius Pieris mengatakan bahwa pembicaraan tentang Kristus akan tergantung pada ditemukannya suatu tempat yang sensitif dalam lubuk hati orang-orang Asia, tempat Yesus akan menemukan ungkapan yang pantas untuk mengkomunikasikan identitasNya yang unik. Tempat itu dapat ditemukan dengan menelusuri kembali upaya Yesus sendiri untuk mewahyukan diriNya ke dalam konteks kereligiusan dan kemiskinan masyarakat sezamanNya di Asia.

Hidup Yesus sebagai Peristiwa Kenosis
Salah satu tema Kristologi yang menarik yang mungkin menyentuh sisi sensitif lubuk hati orang-orang Asia adalah tema pengosongan diri (kenosis). Tidak sulit bagi orang-orang Asia untuk memahami usaha penyangkalan, pengingkaran, dan pengosongan diri demi mencapai taraf kehidupan spiritual yang lebih tinggi. Orang Asia sudah terbiasa dengan istilah-istilah mati raga, askese, dsb. Dari dimensi inilah, Kristus akan direfleksikan.

Bagi orang Kristiani, Yesus menjadi sakramen pemberian diri Allah kepada manusia sekaligus sungguh-sungguh tanda dan sarana perjumpaan manusia dengan Misteri Kerajaan yang sedang datang. Dialah yang akan membebaskan manusia dari belenggu dosa dan kegelapan. Dalam Yesus yang hidup sebagai manusia yang terikat dengan ruang dan waktu, Allah telah memberikan diriNya secara utuh dan sempurna. Keutuhan dan kesempurnaan itu justru terletak pada identifikasi paradoksalNya dengan yang manusiawi. Dia yang begitu agung dan tidak terbatas, sudi mengambil rupa seorang hamba yang sarat dengan kelemahan dan keterbatasan. Dalam diri Yesus, nampak bahwa Misteri itu telah mengambil wujud dan menjadi nyata dengan membatasi diri melalui hidup, sengsara, dan wafatNya[7].
Kisah kenosis ini sangat jelas ditunjukkan oleh Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi 2:6-11 :

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan, dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai amati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya, Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku : “Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah Bapa!”

Dalam hymne tersebut, sungguh nampak bagaimana Allah bersedia mengosongkan diriNya dalam dan melalui manusia Yesus. Dalam Yesus, Allah mengidentifikasikan diriNya sedekat mungkin seperti manusia pada umumnya. Pengosongan diri Allah ini berlangsung sejak peristiwa penjelmaan Allah Putra dalam diri Yesus dalam misteri inkarnasi.
Inkarnasi[8] adalah istilah yang menunjuk realitas dasar iman Kristiani bahwa Allah Tritunggal dalam Pribadi Sabda Abadi sebagai Pernyataan Diri Abadi Bapa telah mengambil bagi diriNya realitas manusiawi atau kemanusiaan untuk datang kepada ciptaan demi keselamatan manusia[9]. Dengan kata lain, inkarnasi pada dasarnya dipakai untuk menyebut tindakan penerimaan atau pengambilan kodrat manusia yang dilakukan oleh Sang Sabda dan sekaligus untuk menyebut realitas kodrat manusiawi yang tinggal tetap itu dalam diri Sang Sabda. Misteri inkarnasi ini haruslah dipandang dalam kaitannya dengan sejarah keselamatan umat manusia. Allah bersedia turun ke dunia dan mengambil wujud manusia, semata-mata adalah pro nobis, demi keselamatan umat manusia.

Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus bahwa Ia yang oleh kamu menjadi miskin sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinanNya (2 Kor 8:9).

Dengan ini, Allah sendiri menjadikan Yesus senasib dengan manusia malang, keturunan manusia pertama yang terkutuk. Yesus, Sang Anak Allah, lahir dari perempuan yang di taman Firdaus terkena kutukan Allah; Ia pun menjadi taklukan hukum Taurat (Gal 4:4) yang ternyata adalah suatu beban yang tak terpikul (Kis 15:10)[10]. Sebagai manusia, Yesus juga mengalami keterkungkungan dalam kedosaan umum (Rm 8:3; 2Kor 5:21) dan karenanya, terkutuk oleh Allah (Gal 3:13). Sungguh, dengan berkenan menjadi manusia, Allah telah benar-benar meninggalkan segala atribut keilahianNya dan mengosongkan diri, menjadi rendah, serendah-rendahnya. Ia adalah hamba dari segala hamba. Dalam konteks inilah, Aloysius Pieris mengatakan bahwa misteri inkarnasi merupakan perjanjian antara Allah dengan kaum hamba, yang mewujud dalam diri Yesus yang berpihak pada orang-orang yang tersingkir sebagai tanda dan bukti keilahianNya. Kelemahan dan kemiskinan menjadi kriteria pilihan Allah dalam menghadirkan diri. Dalam pengosongan diri itulah, Allah hadir dan menyelamatkan umat manusia (bdk. Mrk 15:39)[11].

Salib, Puncak Kenosis
Pengosongan diri demi keselamatan umat manusia ini memuncak pada peristiwa salib. Salib adalah poros di mana Kristus mengejawantahkan baik kemanusiaanNya yang otentik dan pandangan tentang kedekatan Allah pada manusia. Melalui dan dalam Yesus yang tersalib, kasih dan hakikat Allah yang tidak terbatas diwahyukan secara nyata dan jelas (Rm 5:8). KasihNya begitu tuntas diserahkan kepada manusia sehingga Ia rela untuk menyerahkan putraNya yang tunggal supaya semua manusia hidup (Rm 8:32; Yoh 10:10). Gereja percaya bahwa karena pengosongan diri Allah dalam Yesus yang tersalib inilah, manusia berdosa didamaikan dan kepadanya dibuka kesempatan baru untuk berelasi dengan Allah[12].

Dalam diri Yesus Kristus, manusia menemukan figur yang sangat istimewa karena Allah telah memilihNya menjadi satu-satunya wahana pengosongan diri Allah. Allah memang memilih Yesus sebagai jalan bagiNya untuk melakukan kenosis. Dengan jelas, keterpilihan ini diungkapkan oleh sinoptik : ada suara dari langit yang menegaskan bahwa dia itu anakNya yang terkasih, kepadanyalah Tuhan berkenan (Mrk 1:11; Mat 3:17; Luk 3:22)[13]. Dalam diri Yesuslah, manusia dapat melihat peristiwa kenosis Allah yang sangat istimewa.

Dari hymne Kristologis Surat Filipi tersebut, nampak jelas bahwa inti dari kenosis Allah adalah salib. Pengosongan diri itu tentunya bukan asal membuat diri kosong, melainkan meluangkan diri agar dipenuhi keilahian. Oleh karena itulah, dalam pengosongan diri itu, Yesus Kristus justru dapat menunjukkan gambar dari Allah yang tak terlihat. Kerendahan dan kehinaan kemanusiaan Yesus dipenuhi dengan kemuliaan dan kemenangan kuasa keilahian atas dosa dan maut. Pengosongan diri menjadi berarti bila disertai oleh kehadiran Allah yang Maha Kuasa sendiri. Kendati demikian, pengosongan dan pelepasan semua kebesaran ilahi Allah dan kerelaanNya untuk menjadi manusia biasa tetap merupakan suatu persoalan paradoksal yang amat sulit dipahami. Apalagi, dalam wujud manusia biasa pun, Yesus akhirnya tetap harus kehilangan martabatNya sebagai manusia. Nabi Yesaya sudah menubuatkan hal ini dalam Kitabnya. Di sana, Nabi menggambarkan keterpurukan Hamba sebagai yang menjadi batu sandungan, tidak dapat dipahami, dan mempermalukan mereka yang masih memiliki rasa kemanusiaan (Yes 52:13-53:12).

Salib merupakan hukuman yang amat sangat hina yang hanya diberikan kepada para penjahat yang tidak termaafkan lagi. Salib selalu membuat orang jijik, najis, dan tidak mampu memberikan komentar apa-apa. Dalam dunia Yunani, salib secara umum dikenal sebagai hukuman yang diimpor dari kaum barbar. Sedangkan bagi orang Romawi, salib merupakan summum supplicium (bentuk yang paling keji dan buruk dari eksekusi)[14].

Dengan menderita sengsara, dan akhirnya mati di salib, Gereja sebenarnya juga disadarkan akan sikap kenabian Yesus pada zamanNya. Perutusan Yesus merupakan perutusan kenabian, yaitu perutusan dari kaum miskin dan perutusan bagi kaum miskin. Kewibawaan dan kemuliaan Yesus justru muncul dari kemiskinan dan kehinaanNya, bukan dari kekuasaan dan kekayaan. Karena itulah, hanya mereka (baca : Gereja) yang miskinlah yang mampu menjadi pengikut Kristus secara radikal. Bagi merekalah Kerajaan Allah tersedia. Yesus tidak mau kompromi antara Allah dan mamon. Kemiskinan telah diperhitungkan sebagai strategi menentang mamon yang dinyatakanNya sebagai saingan Allah (Mat 6:24). Kutuk dan celaanNya pada kaum kaya dan berkatNya untuk kaum miskin dipertajam dengan pernyataanNya tentang penghakiman terakhir. Hanya mereka yang memperhatikan dan memihak kaum miskinlah yang akan dibenarkan pada akhir zaman (Mat 25:31-46)[15].

Gereja yang Miskin dan Terbuka
Keunikan Yesus Kristus sebagai kenosis Allah, juga menjadi keunikan Gereja yaitu berani mewartakan Allah yang berpihak pada mereka yang tersingkir, dengan hidup dan mati di salib sebagai hamba. Dalam konteks Asia, mewartakan Yesus yang tersalib berarti menampilkan Yesus dengan cara Yesus sendiri melaksanakan tugas perutusanNya di dunia. Artinya, keberpihakan pada kaum miskin dan tersisih harus selalu menjadi prioritas utama Gereja sebab hanya dengan cara itulah, Gereja dapat menghidupi kekhasannya sebagai murid-murid Kristus[16]. Dengan kata lain, Gereja sekarang ini ditantang untuk kembali setia pada misi Yesus Kristus ketika Ia masih hidup sebagai manusia di tanah Palestina dua ribu tahun yang lalu, yaitu mewartakan Kerajaan Allah dan selalu menjadikan orang miskin sebagai pusat perhatianNya[17]. Bahkan, Yesus tidak hanya menyapa orang miskin, melainkan Ia juga mengidentifikasikan diriNya dengan orang miskin (bdk. Mat 25:34-50).

Dalam bahasa Paul F. Knitter, misi Gereja harus bercirikan Regnosentris (berpusat pada Kerajaan Allah). Gereja bukan lagi menjadi tujuan bagi dirinya sendiri, melainkan sarana demi tujuan yang terfokus pada misi dan pelayanan Yesus sendiri, yaitu Kerajaan Allah (Basileia tou Theou). Dalam pandangan John B. Cobb, Jr., tercapainya misi Kerajaan Allah akan ditandai dengan kesembuhan mereka yang sakit, pembebasan para tawanan, penghiburan bagi mereka yang berdua, yang lapar akan diberi makan, yang haus akan minum, dan yang telanjang akan berpakaian[18].

Gereja sebagai komunitas orang beriman akan Kristus, terdorong akan iman pada misteri salib, tidak akan memalingkan kepala dari dunia yang penuh dengan dosa, penderitaan, dan maut. Sebaliknya, Kristus yang tersalib kiranya menjadi teladan bagi hidup Kristiani. Injil menantang setiap orang Kristiani untuk memikul salib setiap hari karena hal ini merupakan wujud konkret dalam mengikuti Kristus yang telah disalibkan oleh karena kelemahan manusia, namun hidup karena kuasa Allah (bdk. Luk 9:23; 2Kor 13:4)[19]. Allah yang mengidentifikasi Diri dengan yang tersalib merupakan motivasi paling mendasar bagi Gereja untuk memberikan jawaban yang khas sekaligus konkret bagi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menggelisahkan eksistensi manusia. Allah dari yang tersalib juga merupakan pembenaran sekaligus dorongan terbesar bagi usaha peziarahan manusia memahami dirinya sendiri secara lebih mendalam dan semakin terlibat dalam dunia melalui komitmennya pada keadilan, kebebasan, dan perdamaian. Pendek kata, misteri kenosis Allah dalam diri Yesus Kristus telah menantang Gereja untuk juga berani mengosongkan diri, menanggalkan segala bentuk kemewahan dan nostalgia kejayaan masa lalu, serta berani menyuarakan posisi membela mereka yang miskin. Bahkan, lebih dari membela kaum miskin, Gereja sendiri sebenarnya juga harus menjadi Gereja yang miskin. Gereja yang menutup mata terhadap realita kemiskinan adalah Gereja yang telah kehilangan identitasnya sebagai murid-murid Kristus yang diimani sebagai puncak yang sempurna dari pengosongan diri Allah.

Berkaitan dengan keragaman religius yang juga hadir sebagai konteks hidup Gereja Asia, kenosis Allah dalam diri Yesus juga memberikan inspirasi yang luar biasa. Iman Kristen akan salib Kristus tidak membawa orang pada prasangka penuh curiga terhadap kenyataan keragaman iman yang sebenarnya sudah ada sejak semula hingga saat ini. Sebaliknya, keyakinan Kristiani akan hidup, wafat, dan kebangkitan Kristus justru menantang Gereja untuk tetap terbuka terhadap misteri bahwa dunia tercipta ini ada dan terus menjadi, termasuk juga misteri pluralitas iman. Dalam kerangka merefleksikan pengosongan diri Allah, keragaman iman bukanlah suatu masalah untuk diselesaikan, melainkan menjadi suatu ekspresi dan konsekuensi keterpusatan Gereja pada Kristus yang mesti diterima[20]. Maksudnya, ketika Allah menciptakan alam semesta dan membiarkan diriNya ditangkap oleh keterbatasan kemampuan manusia, terbukalah kemungkinan-kemungkinan bahwa akan ada suatu pluralitas dari jalan-jalan yang relatif menuju yang Absolut.

Dengan kata lain, pluralisme menjadi implikasi logis dari pengosongan diri Allah. Ketika Allah tetap tinggal dalam keabadian tanpa berkenan mewahyukan diriNya, Allah tidak akan pernah dikenal dan karena itu, tidak akan pernah ada pluralitas iman[21]. Namun, dengan memperkenalkan (baca : mewahyukan) diriNya kepada manusia, apalagi dengan menjelmakan diriNya dalam bentuk dan rupa manusia, Allah membiarkan diriNya ditangkap dengan berbagai macam ungkapan dan kemampuan manusia yang sebenarnya tidak akan pernah dapat menangkap keagungan Allah secara tuntas. Pluralitas iman justru menjadi tanda bahwa Allah memang Maha Agung sehingga kebesaran dan keagunganNya tidak pernah dapat diungkap hanya dari satu perspektif refleksi iman manusia. Semakin banyak refleksi manusia tentang Allah, itu berarti semakin menandakan bahwa Allah memang Maha Agung. KebesaranNya sebagai mysterium Tremendum tidak tertandingi.

Dengan sikap inilah, orang Kristen diajak untuk kembali menjadi miskin, bukan hanya dalam arti supaya memperkaya orang lain, melainkan lebih pada arti supaya diperkaya oleh orang lain. Pemahaman dan refleksi iman Kristiani akan pewahyuan kenosis tidak hanya menyingkap misteri Allah, tapi juga misteri manusia seharusnya menantang kita untuk masuk secara serius dan tulus dalam dialog dengan orang beriman lain dalam seluruh aspek kehidupannya. Dalam dunia yang plural, mengikuti Kristus yang berkenosis berarti menanggapi kebutuhan orang-orang lain dan sekaligus terbuka terhadap seluruh segi keberadaan mereka, termasuk dimensi religius yang merupakan dasar orientasi hidup mereka di dunia. (Kristologi, by Dedy Setyawan)


Daftar Pustaka
Groenen, OFM,
1979 Panggilan Kristen, Kanisius, Yogyakarta.

Knitter P. F.,
1996 Jesus and The Other Names : Christian Mission and Global Responsibility, Orbis Books, Maryknoll-New York.
Martasudjita,
2003 Pengantar Iman Kristiani, pro-manuscripto, Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta.

Nico Syukur Dister,
2004 Teologi Sistematika 1, Kanisius, Yogyakarta.


Artikel
Beeck, F. J. van SJ,
2004 “Picking up the Cross - Whose ? Christian Resources for Growth by Repentance”, dalam Dr. Purwatma, Pr - Dr. Hartono Budi, SJ (eds), Di Jalan Terjal : Mewartakan Kristus yang Tersalib di Tengah Masyarakat Risiko.

Gianto, A. SJ,
2004 “Tentang Salib dan Kebangkitan”, Dr. Purwatma, Pr - Dr. Hartono Budi, SJ (eds), Di Jalan Terjal : Mewartakan Kristus yang Tersalib di Tengah Masyarakat Risiko, Kanisius, Yogyakarta.

Knitter P. F.,
2001 “Commitment to One-Opennes to Others, a Challenges for Christian”, Horizons Vol. 28 No. 2.

Knitter P. F.,
2001 “Menuju Teologi Pembebasan Agama-agama”, dalam P. F. Knitter-J. Hick (eds.), Mitos Keunikan Agama Kristen.

Knitter P. F.,
2007 “The Transformation of Mission in the Pluralist Paradigm”, Concilium, 2007/I

Prasetyantha, Y.B., MSF,
2005 “Kenosis yang Membuka Masa Depan : Bertologi dalam Konteks Kebhinekaan Religiusitas Indonesia”, dalam Paul Suparno - V. Tripihatmini (eds), Pendidikan Manusia Indonesia yang Etis dan Terbuka, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Purwatma M.,
2004 “Merendahkan Diri dan Menjadi Seorang Hamba, Menemukan Makna Yesus dalam Konteks Masyarakat Asia”, Dr. Purwatma, Pr - Dr. Hartono Budi, SJ (eds), Di Jalan Terjal : Mewartakan Kristus yang Tersalib di Tengah Masyarakat Risiko, Kanisius, Yogyakarta.

Susin L. C.,
2007 “Introduction : Emergence and Urgency of the New Pluralist Paradigm”, dalam Concilium 2007/1.


[1] Luiz Carlos Susin, “Introduction : Emergence and Urgency of the New Pluralist Paradigm”, dalam Concilium 2007/1, 9.
[2] P. F. Knitter, Jesus and The Other Names : Christian Mission and Global Responsibility, , Orbis Books, Maryknoll-New York, 199662.
[3] P. F. Knitter, “Commitment to One-Openness to Others : a Challenge for Christians”, 255.
[4] P. F. Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-agama”, dalam P. F. Knitter-J. Hick (eds.), Mitos Keunikan Agama Kristen, 2001, 299.
[5] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1, Kanisius, Yogyakarta, 2004, 230.
[6] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika I, 232.
[7] Y.B. Prasetyantha, MSF, “Kenosis yang Membuka Masa Depan : Bertologi dalam Konteks Kebhinekaan Religiusitas Indonesia”, dalam Paul Suparno - V. Tripihatmini (eds), Pendidikan Manusia Indonesia yang Etis dan Terbuka, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2005, 69.
[8] Inkarnasi berasal dari bahasa Latin : in + caro (daging) yang berarti mengambil wujud dalam daging (manusia).
[9] E. Martasudjita, Pengantar Iman Kristiani, pro-manuscripto, Fakultas Teologi Wedabhakti, 2003, 99.
[10] C. Groenen, OFM, Panggilan Kristen, Kanisius, Yogyakarta, 1979, 15.
[11] M. Purwatma, “Merendahkan Diri dan Menjadi Seorang Hamba, Menemukan Makna Yesus dalam Konteks Masyarakat Asia”, Dr. Purwatma, Pr - Dr. Hartono Budi, SJ (eds), Di Jalan Terjal : Mewartakan Kristus yang Tersalib di Tengah Masyarakat Risiko, Kanisius, Yogyakarta, 2004, 255.
[12] Y.B. Prasetyantha, MSF, “Kenosis yang Membuka Masa Depan : Bertologi dalam Konteks Kebhinekaan Religiusitas Indonesia”, 73.
[13] A. Gianto, SJ, “Tentang Salib dan Kebangkitan”, Dr. Purwatma, Pr - Dr. Hartono Budi, SJ (eds), Di Jalan Terjal : Mewartakan Kristus yang Tersalib di Tengah Masyarakat Risiko, Kanisius, Yogyakarta, 2004, 124.
[14] F. J. van Beeck, SJ, “Picking up the Cross - Whose ? Christian Resources for Growth by Repentance”, dalam Dr. Purwatma, Pr - Dr. Hartono Budi, SJ (eds), Di Jalan Terjal : Mewartakan Kristus yang Tersalib di Tengah Masyarakat Risiko, 166.
[15] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematik 1, 240.
[16] M. Purwatma, “Merendahkan Diri dan Menjadi Seorang Hamba, Menemukan Makna Yesus dalam Konteks Masyarakat Asia”, Dr. Purwatma, Pr - Dr. Hartono Budi, SJ (eds), Di Jalan Terjal : Mewartakan Kristus yang Tersalib di Tengah Masyarakat Risiko, Kanisius, Yogyakarta, 2004, 255.
[17] P. F. Knitter, Jesus and the Other Names, Christian Mission and Global Responsibility, 109.
[18] P. F. Knitter, “The Transformation of Mission in the Pluralist Paradigm”, Concilium, 96.
[19] Y. B. Prasetyantha, MSF, “Kenosis yang Membuka Masa Depan : Bertologi dalam Konteks Kebhinekaan Religiusitas Indonesia”, 73.
[20] Y. B. Prasetyantha, MSF, “Kenosis yang Membuka Masa Depan : Bertologi dalam Konteks Kebhinekaan Religiusitas Indonesia”, 74.
[21] Suatu keadaan yang menurut penulis sangat tidak mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar