Sabtu, 21 Februari 2009

MewarTakan KisaH KrisTus

1. Pengantar
Kenaikan BBM yang terjadi pada tanggal 23 Mei 2008 menjadi keprihatinan bagi sebagian besar orang Indonesia[1]. Efeknya sangat besar dan menyengsarakan: Kenaikan harga bahan pokok, kenaikan tarif angkutan umum, dsb. Semuanya disebabkan kenaikan harga BBM. Namun kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM adalah hal yang tak dapat dihindarkan lagi. Pemberian subsidi BBM memang harus dikurangi sehingga roda ekonomi masih terus dapat berjalan. Situasi lokal ini sebenarnya berelasi dengan situasi global, yaitu kenaikan harga minyak per barel. Maka dapat dikatakan: penderitaan ini adalah milik dunia! Gelombang protes dan demonstrasi, menentang kenaikan harga minyak dunia, membahana di mana-mana. Hampir seluruh dunia menjerit

Ada peristiwa apa dibalik melonjaknya harga minyak dunia? Jelas bahwa ada permainan tertentu dari spekulan pemain pasar komoditas dunia. Mereka diuntungkan dengan melonjaknya harga tersebut karena strategi penyimpanan “barang” yang telah dilakukan. Maka sebagian kecil golongan sangat diuntungkan dengan penderitaan hampir seluruh umat manusia.
Kenaikan harga BBM dan penderitaan yang dihasilkannya bagi banyak orang adalah realitas sejarah dunia. Situasi dan kondisi riil ini adalah konteks terkini di dalam masyarakat tempat kita hidup. Pertanyaannya adalah: Bagaimana kita dapat mewartakan kisah Kristus dalam realitas tersebut? Inilah tema besar yang hendak dijawab dalam tulisan ini.

2. Mewartakan Kisah Kristus: Belajar dari Sejumlah Tokoh dan Peristiwa
Usaha untuk mewartakan kisah Kristus adalah sebuah usaha untuk membahasakan iman. Dengan kata lain menyajikan sebuah doktrin dalam kehidupan. Menurut John Henry Newman, doktrin itu bukanlah sesuatu yang baku dan statis, melainkan dinamis dan berkembang; sesuai dengan hakekat kekristenan, yaitu perkembangan dalam sejarah. Inilah realitas sejarah yang dihadapi: penderitaan. Maka dalam situasi ini, doktrin yang kami tampilkan berciri profetis: memaklumkan keterlibatan Allah dan dikemukakan tuntutan iman. Singkatnya, doktrin menjadi petunjuk arah dalam situasi kegamangan (akibat penderitaan) yang dihadapi, seperti: apa yang harus dilakukan? Bagaimana Kritus tetap diimani dalam situasi tersebut? Dalam kaitan dengan usaha menampilkan doktrin yang profetis di tengah situasi penderitaan yang dialami, ada beberapa tokoh dan peristiwa yang akan kami jadikan sebagai sumber pembelajaran: John Henry Newmann, Dietrich Bonhoffer, Konsili Vatikan II.

2.1 John Henry Newman
Berbicara mengenai keterlibatan Allah dalam sejarah, nama John Henry Newman tidak boleh dilewatkan. Tesis utamanya adalah penjelmaan Allah dalam diri Yesus Kristus, dalam sejarah. Sejarah itu sendiri senantiasa berkembang, maka kristianitas pun hakekatnya adalah perkembangan. Identitas dan gerak perkembangan itu bukanlah hak dan tugas ekslusif kaum berjubah, melainkan menjadi milik dan tugas seluruh umat Kristiani. Maka peran kaum awam dinilai dengan sangat berarti. Newman juga menegaskan bahwa “kristianitas punya eksistensi obyektif, yaitu terjun diri dalam pergulatan besar umat manusia. Tanah Airnya adalah dunia, dan untuk mengerti kristianitas yang nyata, kita mesti mencarinya di dunia dan mendengar bagaimana dunia bicara mengenai dia”[2]. Dalam konteks pertumbuhan iman personal, Newman mengedepankan peran dan kepekaan suara hati manusia dalam setiap situasi konkret. Suara hati ini harus senantiasa diasah sehingga peka terhadap segala krisis dan dapat menyuarakan kebenaran. Di sini, lembaga pendidikan (universitas) hadir sebagai wadah untuk mendidik dan mengembangkan suara hati manusia.

Dari serpihan pemikiran Newman di atas, kelihatan bahwa Gereja senantiasa didorong untuk terlibat dalam sejarah perjuangan hidup manusia. Jika terjadi ketidakadilan yang menyebabkan penderitaan, maka Gereja harus senantiasa bersuara menentangnya. Permainan para spekulan pasar harus dikritik. Mengapa mereka begitu tega bergembira di atas penderitaan jutaan orang? Dari ini bisa ditarik garis lurus pertanyaan dan arahan peran keluarga dan lembaga pendidikan sebagai “padepokan” pembinaan suara hati. Apakah pelbagai kegiatan pembinaan dan ilmu yang diajarkan hanya mampu menghasilkan pribadi yang pandai secara intelektual namun lemah secara moral? Hal ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi kaum religius dan awam yang bergerak di bidang pendidikan.

Gereja adalah umat Allah (baca: awam), maka awam pun harus terlibat dalam gerakan perjuangan melawan ketidakadilan. Ini adalah gerakan bersama. Di lain tempat, para politikus dan penentu kebijakan ekonomi sudah selayaknya bekerja dengan hati nurani yang tajam dengan berorientasi pada kemanusiaan, bukan profit dan kuasa. Mereka yang punya hak dan kesempatan dalam menentukan kebijakan (entah dalam lembaga legislatif ataupun eksekutif), hendaknya memperjuangkan nilai-nilai yang luhur dan membela mereka yang miskin dan tertindas. Dalam tataran praktis, setiap orang Kristen -selain punya hak untuk bersuara dan melawan ketidakadilan- juga wajib bertindak bijak dalam penggunaan BBM: hemat dan seperlunya, sehingga beban hidup dapat diminimalisir.

Dalam tataran pewartaan, di setiap mimbar, dalam setiap ekaristi, para imam tidak lagi cukup dengan hanya berkotbah tentang tema salib, cobaan dan kepasrahan dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan di dunia. Ada nilai kehidupan yang harus diperjuangkan oleh semua orang bersama Gereja. Perjuangan ini tidak berasal dari usaha manusia sendiri tapi digerakkan oleh keterlibatan Allah yang hadir dalam sejarah. Allah senantiasa hadir dan selalu (tidak hanya pernah) terlibat dalam sejarah untuk menentang ketidakadilan. Gambaran Allah yang menentang ketidakadilan dapat dilihat dalam kisah hidup Yesus yang senantiasa meluangkan waktu dan karyanya bagi mereka yang lemah, miskin, dan tertindas.

2.2 Dietrich Bonhoeffer
Selain Newman, pemikiran lain tentang tema ini disuarakan juga oleh Dietrich Bonhoeffer. Ia hidup dalam zaman di mana Kristianitas tidak lagi memegang kendali dunia tetapi lebih sebagai paguyuban kecil di tengah dunia yang pluralis dan terus berkembang tanpa bisa dikendalikan. Bonhoeffer mengkritik Gereja Lutheran yang berafiliasi dengan Nazi yang memimpin pemerintahan. Ia juga mengkritik Gereja Katolik yang “diam” terhadap pembantaian enam juta orang Yahudi. Bonhoeffer terlibat secara dekat dalam usaha untuk menggulingkan pemerintahan Hitler yang kejam, sebagai usaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana manusia dewasa ini berjumpa dengan Allah yang merahmatinya. Kesaksian dan perjuangan teologi-sosial-politiknya menghantar orang pada keyakinan bahwa Allah hadir dalam kondisi dunia yang penuh penderitaan dan keterhimpitan hidup. Bonhoeffer membayar mahalnya rahmat Allah dalam perjuangan itu dengan nyawanya sendiri. Ia dihukum mati (rahmat Allah).

Bagi Bonhoeffer, dalam diri Yesus, Allah menjadi riil dalam dunia. Maka Yesus menjadi pusat hidup kita kalau kita terlibat dalam usaha agar Allah menjadi real di dunia. Menjadi orang Kristen menurut Bonhoffer berarti menjadi kristosentrik dalam praksis; Kristus hanyalah pusat hidup dalam keterlibatan konkret.

Bagaimana dengan Gereja Katolik Indonesia Apakah sudah cukup bersuara dan mengambil sikap atas krisis kenaikan BBM yang merugikan orang miskin? Atau masih saja sibuk dengan Kongres Ekaristi, Nota Pastoral Remaja-Anak-anak dan Lingkungan Hidup. Bukankah ini saatnya untuk berbagi Lima Roti dan Dua Ikan dari Tuhan itu kepada yang sungguh-sungguh membutuhkannya? Bersama Bonhoeffer kita bisa bertanya, dalam situasi seperti ini, adakah Allah hadir dan berperan di dalamnya(etsi deus non daretur: seakan-akan Allah tidak ada)? Ia meminta Gereja bukan hanya merawat para korban yang tergilas roda kekerasan melainkan juga bertugas untuk melibatkan tangannya pada jeruji-jeruji roda kekerasan politik dan menghentikannya. Turun tangan seperti itu adalah politik langsung dan Gereja hanya boleh dan harus bertindak seperti itu kalau Gereja melihat bahwa negara gagal dalam tugasnya untuk mewujudkan keadilan dan ketertiban.

2.3 Konsili Vatikan II
Dalam Konsili Vatikan II, Gereja melihat keberadaannya di dunia ini: bagaimana dirinya terlibat dalam masalah-masalah utama zaman ini, terutama yang berkaitan dengan hidup konkrit manusia. Gereja menjadi sarana kehadiran Kristus di dunia ini. Kristus yang menyampaikan kabar gembira keselamatan bagi semua orang. Untuk itu, Gereja tampil sebagai sakramen keselamatan manusia (LG art 1, 9, 48). Keselamatan itu bersifat universal, maka Gereja diutus untuk melibatkan diri dalam dunia/masyarakat melalui pelayanan dalam pemenuhan keselamatan pada akhir jaman, "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru" (Why 21:5).
Dalam situasi dan kondisi masyarakat Indonesia dengan kenaikan BBM, Gereja dituntut untuk hadir, terlibat serta memberikan kegembiaraan dan harapan bagi umat manusia, khususnya mereka yang menderita akibat kebijakan politik ini. (Gaudium et Spes art 1). Di sini menghadirkan karya keselamatan-Nya bagi siapa saja di dunia. Gereja mengejawatahkan keterlibatan Allah dalam peristiwa hidup manusia. Allah adalah Allah yang terlibat dalam sejarah manusia. Hal ini berarti bahwa Allah bertindak bersama dan dengan umat-Nya di dunia, supaya semua umat Allah masuk dalam kesatuannya dengan Allah (GS art 40).
Siapakah Gereja yang harus terlibat itu? Gereja adalah seluruh umat Allah yang hidup dan dipersatukan oleh Roh Kudus. Gereja menjadi realitas nyata kehadiran Kristus dalam dunia, sekaligus dipanggil untuk melanjutkan karya-Nya di dunia sesuai dengan konteks zaman. Inilah peran Gereja sebagai persekutuan umat Allah yang hidup dalam dunia, serta terlibat dalam dunia. Mereka, umat Allah, menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi di tengah-tengah realitas sosial mereka sesuai dengan kompetensi, kharisma-kharisma pribadi sebagai karunia Allah (LG art 31, 36). Keterlibatan itu merupakan suatu panggilan sebagaimana mereka tercipta melulu demi kemuliaan Allah. Demikian keterlibatan mereka lahir dari keselarasan suara hati, sebagai bagian Gereja dan dunia, supaya perutusan Gereja dalam dunia semakin nyata bersentuhan dengan realitas yang hidup di dalamnya (LG art 36).

Dalam konteks sosial masyarakat Indonesia sekarang ini, kenaikan BBM menyisakan persoalan dalam kehidupan masyarakat. Entah munculnya demo, kenaikan harga tiket angkutan, maupun harga sembako. Tentu saja hal ini merepotkan masyarakat yang miskin. Mungkin di sinilah muncul ketidakadilan. Siapa yang paling merasakan ketidakadilan ini tidak lain adalah masyarakat miskin. Gereja setidaknya memberikan penyadaran dan pembelaan terhadap mereka, sejauh kapasitas Gereja sendiri. Apabila masyarakat sadar dengan realitas ketidakadilan yang mereka alami, setidaknya mereka akan terpacu untuk memperjuangkan hidup supaya lebih baik, serta berkehendak menciptakan tatanan dunia yang baru demi kemuliaan Allah.

3. Tesis
Kisah Kristus yang hendak kami wartakan di tengah situasi penderitaan ini adalah Kristus yang senantisa berjuang mewartakan Kerajaan Allah dan menentang ketidakadilan (Mt 6:33). Ini menjadi tanda keterlibatan Allah dalam sejarah dunia. Dengan ini orang Kristen diajak untuk bersikap tegas dalam melawan ketidakadilan yang berakibat pada penderitaan. Allah menjadi sumber penggerak sekaligus yang terlibat, Dia pulalah yang memberikan harapan akan masa depan yang lebih baik.











[1] Sumber: Tempo Edisi 26 Mei – 1 Juni 2008. Harga baru premium Rp. 6.000,- (dari Rp. 4.500,-); solar Rp. 5.500,- (dari Rp. 4.300,-); dan minyak tanah Rp. 2.500,- (dari Rp. 1500 ).
[2] Lih. JH. Newman, The Development of Christian Doctrine, dikutip dalam: Beriman Sungguh-Sejarah Doktrin Gereja, (diktat oleh Bernhard Kieser SJ,), Yogyakarta, 2001, hlm 142.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar