Jumat, 22 Oktober 2010

Bercermin pada Bunda Theresa

Bacaan Rohani : 1 Yohanes 4 : 16b – 21

“Sebab yang terpenting bukanlah berapa banyak yang kita perbuat, melainkan seberapa banyak cinta yang kita hayati”
Sebuah inspirasi yang saya dapat dari Bunda Theresa. Bunda Theresa memusatkan perhatian dan karya pelayanannya pada mereka yang paling miskin diantara yang termiskin.
Ditelinganya selalu terdengar suara “Aku lapar...aku harus..sakit,...dingin.. dan itu cukup menggerakkan hatinya untuk memberikan pelayanan kepada mereka. Prinsip hidup yang sangat saya kagumi adalah “Berikanlah..sampai kamu tak sanggup lagi”.
“Aku hanya ingin membagikan secuil cinta pada hidup saudaraku yang singkat ini, sehingga dia pernah mengalami dan merasakan cinta dan dicintai”.
Kisah Bunda Theresa ini mengantar kita untuk melihat kekaguman kita pada Yesus Kristus, Allah sendiri. Bunda Theresa mampu memberikan kasih kepada orang lain apalagi Allah, Sang Empunya hidup. Tidak usah kita ragukan lagi.
Dalam bacaan tadi kita mendengar “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita..”. Tampaknya Kitab Suci sendiri mau menegaskan, bahwa kitapun mesti berbuat kasih. Allah telah mengasihi kita, dan konsekuensinya, kita sebagai ciptaan-Nya pun harus mengasihi sesama.
Beberapa ahli tafsir kitab suci menggunakan istilah lain, bukan ”karena” tetapi ”seperti”. Bahasa Yunani ”Kathos” lebih tepat diartikan sebagai ”seperti” bukan ”karena”, dan tampaknya mau menekankan bahwa, kita pun seharusnya sama seperti Kristus telah mengasihi. Bukan semata-mata karena kita dikasihi Allah. Tetapi seperti Allah mengasihi. ”Karena” masih menunjukan adanya keterbatasan, dan ada alasan untuk tidak memberikan kasih.
Amin.

07 Maret 2007: 17.00 Wib.

“Persembahan Janda Miskin”


Lukas 21 : 41 – 44

Alukusio

Beliau adalah Bapak Ignatius Suwandi. Beliau tinggal di Mlati, dusun Pajangan. Kesehariannya sebagai seorang lelaki yang mulai beranjak tua, hampir sama dengan lelaki umumnya. Tetapi, jangan kaget, apabila dari sosok sederhana itu, dia telah mengisi gereja kita dengan lagu-lagunya yang menentramkan hati.
Bapak Suwandi adalah pencipta lagu “Nata Agung” yang kerap kita pakai dalam Kidung Adi.
Memang, kecintaannya pada lagu telah membuatnya menjadi Katolik. Katanya : “Saya jadi Katolik karena mendengarkan lagu di gereja. Waktu itu lagunya “Kyrie de Angelis”. Keterpikatan itu mendorong saya untuk menjadi Katolik. Bersyukur bahwa kemudian saya banyak dikenalkan dengan lagu-lagu gereja.
Kecintaan saya pada lagu semakin dalam. Malam, saat yang lain tidur, saya masih berjaga. Apalagi kalau ada inspirasi yang mengganjal dihati. Rasanya harus ditumpahkan.
Saya terharu dan tidak menyangka, tepat saat ada kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1989, lagu Mangga samya sowan dinyanyikan dengan merdu dan syahdunya. Saya sangat terharu dan eeee..mong atase aku kok bisa seperti ini………….
Suwandi menggambarkan dirinya laksana sebutir pasir di pantai, tetapi ternyata memberi peran, bisa berguna bagi orang lain. Dan syukur pula bahwa semua yang saya perbuat , saya persembahkan untuk TUhan. Inilah yang bisa saya persembahkan.

CintA DaMai

-CoKlaT-

BiRuNya LaNgiT beRi ArTi
DaMai daN TentRaM neGrI Ini
BeRatNya cObAan
Ku AkaN bErTaHan

BeRjuTa iNsAn baNgsa iNi
SaLing bErBakTi uNtuK NegRi
Tak Ada RasA MenGhaMpiRi
SgalA PeRbedAaN TeguH BerPegaNgaN

cInTa TaNah aiRkU

CiNta DaMaI nEgRiku
jaGa SlaLu NaMamU
CiNTakU kEpAdAmu…InDoNesiA

“Berkibarlah bendera bangsaku di langit biru....”
Merdeka!!!
Sesaat lagi Indonesia akan merayakan ulang tahunnya yang ke-65. Hampir setiap tahun pada bulan Agustus, kemeriahan itu tampak nyata di berbagai wilayah, daerah di Indonesia. Jelas terlihat dari asesoris-asesoris yang terpajang di pinggir jalan maupun depan tiap-tiap rumah. Tak heran pula para pedagang- pedagang dadakan berjejer menjajakan bendera dan segala macam pernak-pernik yang turut menyemarakkannya. Tak hanya mereka, setiap keluarga pun sibuk mempersiapkan hari kemerdekaan ini dengan bermacam acara. Ada yang ngecat gapura, mengadakan lomba-lomba (panjat pinang, balap karung, grak jalan dsb).
Tak ketinggalan salah satu keluarga di Purbalingga pun turut sibuk menyambut 17 Agustus mendatang. Pada suatu pagi, seorang lelaki tengah sibuk menebang beberapa pohon bamboo, sendiri. Suara berisik yang terdengar dari belakang rumah memikat perhatianku untuk melihat dan memastikannya. Ternyata, kudapati bapak tengah asyik bersama senjatanya tengah menebang bamboo. Singkat kata, bamboo itu digunakan untuk memasang layur, dan bendera. Melihat itu, aku jadi tertarik untuk ikut nimbrung membersihkan bamboo yang sudah ditebang.
Omong-omong tentang hari kemerdekaan yang akan kita rayakan besok hari jumat, rasanya tak bisa meninggalkan peran para pendahulu yang dengan rela berjuang mempertahankan Indonesia. Perayaan ini menjadi saat bagi kita untuk mengenang, mengingat kembali segala pengalaman kita akan Indonesia. Ini menjadi sebentuk penghargaan istimewa, bahwa perjuangan mereka pun tetapi kita hargai dan hormati. Sekedar rasa syukur, bangga dan terimakasih atas perjuangan mereka (para pendahlu).
Mgr. Soegiyopranoto pernah menghimbau pada kita semua “JadiLaH oRaNg yAnG 100% WaRga GeReJa daN 100% waRgANeGaRA”. Ini menimbulkan pertanyaan refleksi bagi saya : “Lalu : bagaimana atau apa yang bisa kuperbuat”?
Bacaan kita sore ini pun sengaja saya ambil dari Matius mengenai MemBaYaR pAjAk kePaDA KaISaR. “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”. Semoga Rahmat kemerdekaan Indonesia yang ke-65 ini membawa buah-buah yang berlimpah bagi kebaikan kita bersama. Sehingga segala sesuatunya menjadi semakin baik untuk yang terbaik.

Sabtu, 15 Mei 2010

Pengampunan dan Perjanjian Baru

Anthony Bash

1. Pengantar
Dalam paper ini kami mengulas tema Pengampunan dan Perjanjian Baru sebagai bagian dari tulisan Anthony Bash. Tema ini disoroti seorang kristen yang ingin menggali makna pengampunan dalam Perjanjian Baru. Untuk itu, kami ingin menampilkan paper ini dalam dua bagian, yaitu pertama, kami menampilkan isi tulisan Anthony Bash mengenai Pengampunan dan Perjanjian Baru, kedua, tanggapan kelompok terkait dengan paham dan praktek Gereja Katolik mengenai pengampunan.
Pengampunan merupakan karakter iman Kristiani yang bertolak dari Yesus sendiri yang menampilkan pengampunan itu dalam hidupNya, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat“ (Luk 23:34), serta doa yang diajarkan Yesus kepada kita, “ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Mat 6:12; Luk 11:4). Dengan demikian wajar jika mengampuni adalah sikap integral, anjuran moral bagi umat Kristiani dan bahkan menjadi kesadaran umum banyak orang.
Jones memandang pengampunan sebagai yang “melekat” dalam meta-narasi Kitab suci. Ia melihat bahwa mengampuni adalah sifat-yang melekat- pada Tuhan – bagian esensial dalam diri Tuhan- dan adanya manusia. Dengan demikian, adanya manusia ialah untuk memberikan cinta yang menjadi karakter Tuhan. Semua orang saling mengampuni satu samal lain.
Selanjutnya, Bash menunjukan realitas pengampunan itu dalam Perjanjian Baru. Dalam surat Paulus, pengampunan disebutkan beberapa kali. Bagi para penulis Sinoptik, Lukas paling banyak menulis tentang pengampunan, Markus dan Matius hanya mengulas sedikit, sementara Yohanes tidak mengulasnya secara eksplisit.

2. Pertobatan, Yohanes Pembaptis dan Pengampunan
Ada persoalan mengenai makna Baptisan Yohanes, “baptis pertobatan untuk pengampunan dosa” (Mrk 1:4 dan Luk 3:3), bahwa dengan pertobatan dibawalah pengampunan (webb 1991). Baptis merupakan ritus yang menjadi mediasi pengampunan, saluran bagi Tuhan untuk mengampuni dosa dan Yohanes Pembaptis adalah perantara dari pengampunan itu (Webb). Sementara yang sedang dipersoalkan Apakah baptis dan pertobatan ex opere operato membawa pengampunan?.

2.3 Pertobatan dan Pengampunan
Pertobatan dipahami sebagai perubahan sikap dan tindakan “tidak taat” dihadapan Allah. Pertobatan yang dilakukan menghasilkan pemulihan hubungan (seperti hubungan orangtua dan anak) serta menjadi usaha untuk kembali pada “kebijaksanaan yang adil” karena orang telah menyimpang dari kebijaksanaan tersebut (Luk 1:16-18). Contoh desakan Yohanes dalam pertobatan tampak dalam teks Lukas 3:7-14 (dialamatkan untuk banyak orang, penarik pajak, dan para serdadu) dan Matius 3:7-10 (untuk orang Farisi dan Saduki).
Kata pertobatan dalam frase “Baptis pertobatan” dalam Injil Markus (Mrk 1:4) dan Lukas (Luk 3:3) (kata Yunani) menunjuk pada tindakan subyektif (pertobatan orang yang dibaptis). Orang yang dibaptis menampilkan sikap pertobatan mereka dalam hidup harian. Demikian baptis diasosiasikan dengan pertobatan. Dengan pemahaman bahwa orang yang bertobat dibaptis, maka baptis menjadi indikasi pertobatan atau menjadi ungkapan dari pertobatan mereka.
Sementara Injil Matius, mengabaikan frase Baptisan Yohanes (Mat 3:1-6) dalam frase ‘baptis pertobatan untuk pengampunan dosa’ meski Matius menekanan pertobatan dan pengakuan dosa sebagai pusat baptisan Yohanes. Matius menunjuk air Baptis Yohanes sebagai adanya “pertobatan” (Mat 3:11) dengan makna bahwa orang dibaptis karena mereka telah bertobat. Perintahnya sama : Yohanes memanggil orang-orang untuk bertobat (Mat 3:2) dan setelah baptis dilanjutkan dengan pengakuan dosa-dosa (Mat 3:6). Oleh karena itu, tidak ada baptis tanpa pertobatan (lih Mat 3:8 dimana Yohanes menyindir kaum Farisi dan Saduki yang datang minta dibaptis tetapi mereka belum bertobat). Pertanyaannya mengapa Matius mengabaikan frase baptis pertobatan untuk pengampunan dosa? Kemungkinan karena Matius melihat pengampunan dosa itu sebagai berkat dari kematian Yesus (Mat 1:21, 26:28). Selain itu Matius berusaha memfokuskan kembali baptis pada Kedatangan Tuhan, bukan pengampunan datang dari baptis. Sebagaimana dalam Mat 26:28 bahwa pengampunan dosa mengalir dari darah Yesus, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi pengampunan dosa.
Dalam injil sinoptik, pertobatan bukan semata keutamaan moral dan pertobatan tidak berakhir dengan baptis. Baptis sebenarnya mau menegaskan bahwa orang telah siap dan mempersiapkan diri “untuk Tuhan” saat Dia datang. Maka bukanlah baptis dan pertobatan yang membawa pengampunan. Dalam ketiga injil sinoptik, mereka yang menerima “baptis pertobatan” menandakan bahwa mereka telah siap seperti yang Yohanes wartakan. Lukas secara spesifik menyinggung keselamatan Tuhan yang akan datang -termasuk pengampunan– yang akan datang bersama dengan kedatangan Tuhan (Luk 3:6).
Yohanes tidak mengatakan bahwa mereka yang bertobat harus pergi kepada para imam untuk mempersembahkan korban untuk menebus dosa-dosa mereka (Luk 3;10-14). Dari pernyataan itu kemungkinan pengampunan telah datang melalui pertobatan tanpa perlu mempersembahkan korban lagi. Dunn mengiyakan bahwa Yohanes tidak melakukan persembahan korban, sebab Yohanes menawarkan “ritual miliknya sebagai alternatif ritual bait Allah”, dan pertobatan yang diungkapkan melalui baptis menjadi cara efektif untuk mendapat pengampunan atau pembebasan dosa. Alasan lain mengapa orang tidak mempersembahkan korban bagi dosa-dosa mereka adalah pengharapan mereka, Yohanes dan banyak orang, terhadap penebusan dan pengampunan yang datang melalui kedatangan Kerajaan Surga (Mat 3:2), keselamatan Tuhan (Luk 3:6) dan baptis dengan Roh Kudus (Mat 3:11, Mrk 1:8, Luk 3:16). Dengan kata lain persembahan korban dapat mengaburkan orang dari pengenalan akan kebenaran sumber dan tempat harapan eskatologis serta mengalihkan pencarian mereka terhadap kedatangan Yesus yang membawa aphesis (pembebasan, kebebasan, pengampunan).
Bash menghubungkan pertobatan dalam Injil Matius dengan kematian Yudas Iskariot. Pertobatan yang dilakukan oleh Yudas rupanya tidak membawa pengampunan dosa. Yudas mengkhianati Yesus (Mat 26:14-16), dan setelah Yesus ditangkap, Yudas menyadari bahwa dia melakukan kesalahan dan dia sangat menyesali tindakannya. Penyesalan Yudas bisa dikatakan bahwa dia bertobat, karena dia menyadari kesalahan perbuatannya dihadapan Allah, tetapi secara moral Yudas tetap bersalah. Istilah pertobatan dalam Yunani metanoco (KK), atau metanoia (KB). Sementara pertobatan Yudas digunakan istilah metamelomai – Kata yang dipakai Matius untuk menekankan bahwa pertobatan Yudas tidak mendorong pada pengampunan. Bahkan saat Yudas menyadari dirinya berdosa, “aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah” (Mat 27:4) mau menunjukan bahwa dia putus asa terhadap apa yang telah dia perbuat dan dia juga tidak yakin dapat atau akan diampuni. Yudas mengembalikan uang pengkhianatan itu kepada para Imam Kepala dan Penatua tetapi mereka malah bersikap acuh tak acuh; mereka menolak menerima uang itu, dan implikasinya tidak menawarkan absolusi terhadap apa yang telah Yudas perbuat. Dalam Matius 27: 5 dikatakan singkat, setelah itu Yudas bunuh diri, menggantung diri. Tindakan Yudas itu terkadang mengkarakterkan orang yang kehilangan harapan, pertolongan dan pegangan, dan berpikir bahwa tidak ada jalan keluar dari situasi yang tengah mereka hadapi.

2.2 Baptis dan pengampunan
Bagian ini diawali dengan pertanyaan Apakah baptis mengakibatkan pertobatan orang-orang berdosa menjadi diampuni? Anthony Bash melihat ini melewati sejarah, baptis merupakan ritus dalam Kultus Yahudi, dan kini dapat digunakan untuk menginterpretasikan baptisan Yohanes serta menjawab persoalan Apakah Baptis membawa pengampunan dosa? Bash sedikit membanding-bandingkan Baptisan Yohanes dengan praktek yang ada dalam Yahudi
1. Baptisan Yohanes berbeda dengan pencelupan dalam Yahudi
§ Dalam tradisi Yahudi :
1. Pencelupan Yahudi dalam permandian disebut miqueh. Fungsinya untuk pembersihan dari ritual kenajisan dan bagi kaum proselit (abad ke 2).
2. Menurut sistem korban Yahudi, hanya seorang imam yang dapat menebus dosa. Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara ritual kenajisan menurut Kultis Yahudi dan dosa (sanders 1985).
§ Baptisan Yohanes
1. Baptisan Yohanes bukan untuk pembersihan dari ritual kenajisan tetapi suatu ungkapan pertobatan dari dosa.
2. Hubungan (baptisan Yohanes dan pencelupan air) adalah “pencelupan tidak bermakna tanpa pembersihan hati sebelumnya (dari dalam dirinya/inner self) melalui pertobatan dan praktek kebenaran (Taylor). Hubungan ini mungkin sedikit menjelaskan juga inti dasar Baptisan Yohanes, yang pasti bukan ritual kenajisan.
2. Baptisan Yohanes berbeda dengan penyucian air jemaat yang dipraktekkan di Qumran dan tradisi Yahudi lainnya dimana praktek Penyucian air di Qumran dilaksanakan untuk pembersihan dari ritual kenajisan, bukan dosa.
§ Hubungan Baptisan Yohanes dan Praktek penyucian air adalah meresmikan (menginisiasikan) mereka masuk dalam komunitas, serta menunjukan pembalikan dari ketidakbenaran menuju kebenaran, tetapi tidak ada ritus inisiasi ke dalam komunitas yang baru. Pencelupan juga tidak bermakna tanpa membersihkan diri lebih dulu dengan pertobatan dan praktek kebenaran (Taylor).
Baptisan Yohanes menurut Josephus (Ant 18.116-19) membawa pengampunan. Baptisan itu dihubungkan dengan ritual pembersihan yang berfungsi untuk “pembersihan badan”. Pembersihan badan itu terjadi karena “jiwa telah dibersihkan oleh kebenaran” (Ant 18.117). Dia juga menghubungkan Baptisan Yohanes dengan “memaafkan” dosa-dosa (epi tinon hamartadon paraitesei) bagi mereka yang telah dibaptis (Ant 18.117). Pandangan Josephus, “baptis dan berbalik pada kebenaran dapat membatalkan dosa”, terangkum secara sintaksis dan teologis juga dalam kata eis yang terdapat dalam frase “untuk (eis) pengampunan dosa-dosa (bdk Luk 24:47)”. Eis dapat diinterpretasikan dengan maksud tertentu, yairu orang bertobat dengan tujuan pengampunan dosa, dan benar dosa-dosa tersebut akan diampuni, atau dalam hubungan sebab-akibatnya, yaitu orang bertobat karena dosa-dosa mereka akan diampuni. Sementara Turner, eis dalam konteks pengampunan, dengan meringkasnya dalam ide “dengan maksud untuk”, dan membedakan dengan Kis 2:38, dimana pengampunan pada hari Pentakosta adalah dasar dari pengampunan dosa-dosa (sebab akibat).
Menurut Bash interpretasi eis dapat menterjemahkan baptisan Yohanes dalam seting eskatologis dari pengajarannya. “Dengan memaafkan” dosa –pengampunan- sebagaimana diwartakan oleh Yohanes, dan berhubungan dengan masa depan, setelah kematian Yohanes. Untuk itu Bash melihat bahwa makna eis bukan pengampunan sebagai hasil pertobatan dan baptis, tetapi sebagai hasil kedatangan dan pelayanan Yesus sendiri. Bahkan jika arti Eis dimaknai sebagai sebab akibat (dengan indikasi bahwa baptisan Yohanes adalah “karena pengampunan dosa-dosa”), frase ini tetap konsisten dengan gambaran Lukas-Kisah Para Rasul. Baptis mengandaikan pertobatan dari dosa dan orang siap untuk menerima rahmat pengampunan. Lantas muncul pertanyaan terkait dengan kata eis, Apakah eis menunjuk sesuatu yang akan datang, ataukah sesuatu yang telah manusia terima atau alami?.
Uraian diatas, seting telogis dan sosial, mendukung kesimpulan berikut ini:
1. Dalam lingkungan masyarakat Yahudi (dimana Yohanes tinggal) dipahami bahwa kebenaran datang melalui korban di bait Allah, dan bukan melalui pembalikan pada kebenaran.
2. Tidak mungkin umat Kristiani awal akan menghubungkan pengampunan dengan pemaknaan lain selain iman dalam Yesus Kristus.
3. Baptisan Yohanes tidak membawa pengampunan dosa (Penjelasan Lukas). Lukas dan Kisah Para Rasul melihat inti pesan Baptisan Yohanes adalah keselamatan yang sudah ada. Yohanes hanya berperan mempersiapkan banyak orang mengenai keselamatan yang akan datang melalui pengampunan dosa (Luk 1:77). Keselamatan dapat dialami dengan adanya pertobatan (alasan Baptisan Yohanes) dan baptis dalam Roh Kudus (Luk 3:16, Mrk 1:8 dan Mat 3:11). Oleh karena itu Baptisan Yohanes sebenarnya tidak dengan sendirinya membawa pengampunan dosa (Kis 13:24 dan 19:4) karena Baptis pertobatan dapat membawa pengampunan dosa jika mengalir dari Yesus Kristus sendiri (Kis 2:38). Kehadiran Yohanes Pembaptis adalah perintis bagi yang lain. Peran Yohanes bukan untuk mengampuni tetapi untuk pertobatan dan mempersiapkan banyak orang bagi kedatangan Yesus. Hal ini dilihat Lukas dalam air Baptis Yohanes yang tidak menandakan pembersihan dari dosa atau ritual kenajisan tetapi pertobatan. Yesus yang akan datanglah yang menghadirkan “jalan kedamaian”, yaitu rekonsiliasi antara manusia dan Tuhan, dan kedamaian ditengah konflik (Luk 1:79).
Dari uraian tersebut Bash menyatakan bahwa Baptis dalam baptisan Yohanes adalah suatu tanda yang keluar dari pertobatan dari dalam. Baptis mengungkapkan kesiapan orang untuk menerima Yesus. Yesus diyakini sebagai penyelamat Israel yang lama dinanti, yang membawa pengampunan dosa. Maka baptis menurut Injil Sinoptik tidak secara otomatis menghasilkan pengampunan dosa. Mengapa demikian? Pengampunan adalah rahmat Tuhan bagi mereka yang menerima keselamatan dari Yesus. Sementara berdasar pandangan sintaksis dan teologis, pengampunan tidak perlu diberikan dalam membalas baptis dan pertobatan. Bersama Tuhan, yang hadir sebagai manusia, pengampunan adalah rahmat dan tindakan mengampuni bukanlah tugas.
Namun masih ada persoalan, Mengapa Yohanes pembaptis? Mengapa Yohanes memilih ritus baptis yang justru memunculkan banyak interpretasi jika baptis tidak membersihkan dan membawa pengampunan dosa?
Para penulis Injil Sinoptik menjawab persoalan tersebut dengan interpretasi bahwa pelayanan Yohanes adalah untuk mempersiapkan Pribadi yang akan datang, yang akan membaptis bukan dengan air tetapi dengan Roh Kudus dan Api (Luk 3:16, Mat 3:11, Mark 1:8). Baptisan dengan Roh Kudus- disimbolkan air baptis- menunjukan tindakan Tuhan yang mengampuni dosa-dosa manusia. Air baptis menyelubungi pribadi dan membersihkannya dari kekotoran, demikian juga dengan Lukas menyatakan baptis Roh Kudus juga menyelubungi orang (Kis 2:1-4) dan membersihkan dosa karena baptis seperti Api (permurnian) dan angin (yang meniup kotoran) (Yoh 20:22). Berdasarkan interpretasi ini, baik air baptis Yohanes maupun baptis dengan Roh Kudus membawa pengampunan dosa.

3. Yesus, Pertobatan dan Pengampunan
Injil Sinoptik menyatakan pengampunan adalah rahmat Tuhan, berkat yang diberikan bagi mereka yang mencari rahmat Tuhan. Dalam Lukas 18:9-14, orang-orang Farisi yang terlalu menonjolkan doa, tidak diampuni oleh Tuhan, dibandingkan dengan gambaran penarik pajak yang justru diampuni oleh Tuhan.

3.1 Yesus dan Pertobatan
Yesus, seperti Yohanes, mewartakan pertobatan. Dalam pengajaran Yesus, pertobatan dan iman hadir bersama-sama (Mrk 1:15). Pertobatan dan iman menjadi alasan adanya perubahan hidup seseorang, sementara pengampunan menjadi buahnya (Luk 24:47). Kekhususan dalam Kristen dilihat oleh Jones bahwa pertobatan menjadi komponen yang harus ada dari pengampunan (Jones 1995:121). Dan Tuhan seakan membutuhkan suatu perubahan yang harus terjadi dalam diri manusia agar mereka bisa memperoleh pengampunan dan rekonsilliasi (1995:127).
Pertobatan merupakan pesan sentral Yesus dan para muridNya (Mrk 1:15; 6:12, Mat 4:17). Meski begitu, pertobatan yang ditawarkan Yesus dan para murid tidak selalu senada dengan hukum yang berlaku. Pertobatan yang dipahami sebagai suatu tanggapan atas panggilan rahmat Allah, untuk itu korban bait Allah dan keterikatan (taat) pada hukum tidak selalu dibutuhkan untuk menunjukan pertobatan itu. Ada pro-kontra mengenai penting tidaknya tuntutan hukum itu. Beberapa pihak menyetujui pentingnya tuntutan hukum tanpa mempertimbangkan adanya gerakan dari Yesus : Misalnya Zakeus, petugas pajak (Luk 19:1-10). Yesus mengijinkan orang-orang menunjukan pertobatan mereka sesuai dengan gambaran Kerajaan Allah yang pantas (Jones 1995:110). Misalnya, wanita berdosa (Luk 7:36-59), terkait dengan kecaman bagi para murid yang tidak bertobat dan tetap “pendosa’, Yesus mengungkapkan perumpamaan tentang “sukacita di surga (Luk 15:7) dan “sukacita pada malaikat-malaikat Tuhan” (Luk 15:10) karena satu orang yang berdosa bertobat. Perumpamaan lain tentang Anak Sulung yang hidup berfoya-foya, yang menggambarkan sukacaita ayahnya karena pertobatan anak sulungnya (Luk 15:11-32). Sementara Sanders melihat adanya dua pandangan mengenai pertobatan, yakni :
1. Sangat sedikit alasan yang menghubungkan Yesus dengan motif kolektif, pertobatan nasional berdasarkan pandangan eskaton, meskipun Sanders menegaskan bahwa Yesus tidak menolak ide pertobatan, seperti bahan (material) yang telah ditambahkan oleh para penginjil (evangelis). Yesus tidak mewartakan pertobatan “karena Dia memahami bahwa Yohanes melaksanakan tugasnya secara menyeluruh” dengan mempersiapkan orang untuk kerajaan.
2. Untuk pertobatan pribadi (1985), dia berpendapat secara “spekulatif” bahwa “penyerangan” Yesus disebabkan (Mark 2:7 paralel dengan Luk 5:21) karena Yesus berpihak pada pendosa, memasukan mereka dalam Kerajaan. Hal itu dilakukan Yesus karena Dia tidak membutuhkan pertobatan. Dampak yang diterima Yesus kemudian adalah “Dia dianggap menjadi teman para pendosa”. Dengan kata lain, Yesus menyambut dan memasukkan mereka yang membutuhkan-Nya (karena Dia yakin tentang kedekatan masa eskaton) dan tidak membutuhkan pertobatan sebagaimana digambarkan dalam hukum. Yesus menawarkan pertobatan dengan cara yang lebih informal. Selain itu Yohanes Pembaptis, juga yakin tentang kedekatan masa eskaton, mewartakan pertobatan dan kebenaran (tetapi bukan korban di Bait Allah).
Pendapat Sanders dapat disimpulkan, “Yesus menawarkan persahabatan bagi orang-orang jahat israel sebagai suatu tanda bahwa Tuhan akan menyelamatkan mereka, dan keselamatan itu tidak dipengaruhi (tergantung) pada perubahan hukum”. Yesus tidak membutuhkan (memaksa) pendosa untuk mengubah hukum dan bertobat.
Pandangan Sanders bahwa Yesus tidak memanggil untuk pertobatan nasional ditantang 2 alasan yaitu :
1. Pemisahan antara pertobatan nasional dan personal tidak dibenarkan (tidak dimungkinkan),
2. Yesus memanggil untuk pertobatan nasional (Wright 1996).
Disamping itu untuk menghilangkan pertobatan sebagai motif sentral dalam pengajaran Yesus adalah dengan mengeluarkan Yesus dari lingkungan masyarakat Yahudi dan mengabaikan perubahan moral yang dilaksanakan banyak orang yang menanggapi Yesus. Demikian perubahan adalah ungkapan-ungkapan pertobatan, yang sering diekpresikan sesuai hukum, dan hasilnya perjumpaan dengan Yesus.
§ Bersama Yesus, pengampunan bukan merupakan kesatuan atas adanya bentuk-bentuk khusus dari pertobatan atau kepenuhan dari kriteria yang ditetapkan.
§ Bersama Yesus, pengampunan adalah rahmat, menampilkan cinta dan memberikan sesuatu dengan cara-cara yang tidak diharapkan. Sebagaimana terjadi dalam kisah ‘mewarisi hidup abadi” (Mrk 10:17-22, Mat 19:16-22, Luk 18:18-23). Pengampunan bukan upahan, dan tak seorangpun pantas mendapatkannya. Pengampunan adalah rahmat dari pengampun, diberikan dalam menanggapi yang ideal bahwa pengampunan adalah keutamaan secara moral.
Ada dua cara yang dapat dilihat untuk menginterpretasikan pendekatan Yesus untuk pertobatan menurut hukum, yaitu :
1. Yesus menyeimbangkan syarat hukum untuk bertobat dengan syarat hukum yang lain, seperti dengan menampilkan cinta dan rahmat. Efeknya, Yesus secara implisit mempersoalkan syarat-syarat yang diberikan oleh hirarki dan – secara khusus - mempersoalkan hasil dari hirarki yang terlalu menekankan intensi dan tujuan hukum (Mat 23:23). Contoh lain saat Yesus mengutuk suku-suku dan orang-orang Farisi yang mengaburkan syarat untuk menunjukan keadilan, rahmat dan kepenuhan iman ditampilkan dengan memungut zakat. Yesus mengampuni tanpa “dalam beberapa kasus” menuntut suatu ungkapan pertobatan tertentu.
2. Pendekatan lain bahwa Yesus mengenal tuntutan hukum dan terkadang mempertanyakan apakah maksud hukum itu. Keterikatan pada syarat hukum tertentu, bagi beberapa lingkungan, dapat memberikan efek yang tidak menguntungkan, yang menyangkal kebaikan moral sebagaimana hukum harapkan, misalnya Matius 12:11. Selain itu, Yesus juga mengampuni mereka yang berada diluar hukum masyarakat.

3.2 Yesus, Pengampunan dan Kerajaan Allah
Bagi Lukas, pengampunan adalah pusat pesan Kerajaan Allah. Kata yang umumnya digunakan untuk pengampunan dalam Yunani (Aphesis) terjadi melalui pelayanan dan pesan Yohanes Pembaptis dan Yesus yang disebut “Manifesto Nazareth”. Aphesis, pengampunan : menunjukan pelepasan dan kebebasan dari apa yang mendesak orang –baik dari dosa maupun efeknya, dari tekanan atau tawanan fisik, atau dari konsekuensi karena tidak memiliki “keselamatan Tuhan” (Luk 3:6) dan “Tuhan Penyelamat” (Luk 4:19).
Pengampunan dalam kata Yunani dapat dimaknai dua hal : Pertama, dalam Luk 3:3-6 ketika Yohanes memanggil orang untuk bertobat dan baptis dengan maksud untuk pengampunan yang datang bersama dengan kedatangan Tuhan dan keselamatanNya. Kedua, pada awal pelayanan Yesus, di Galilea, Yesus mengutip Yesaya 61:1, dan menyiapkan pelayanan masa depannya (Luk 4:16-21). Kabar gembira Injil adalah “pembebasan” (Aphesis) yang telah dijanjikan Allah bagi mereka yang mau mempersiapkan kedatanganNya. Kerajaan adalah perintah yang baru bahwa Tuhan akan mengenalkan diriNya, yang akan menyatu dengan dunia saat ini.
Pengampunan adalah rahmat Tuhan pada masa eskaton ketika Kerajaan Allah sempurna. Lukas menegaskan bahwa pengampunan Tuhan adalah untuk tahun-tahun yang akan datang: yang adalah bagian dari Aphesis Kerajaan Allah. Di tempat lain, Lukas berbicara bahwa pengampunan (sama dengan penyembuhan dan penyelamatan yang datang bersama kerajaan) dapat dialami saat ini dan sampai Kerajaan menjadi berkembang, pengampunan dipraktekkan dan bentuk pengampunan masa depan ditampilkan sekarang ini diantara para murid Yesus. Dengan kata lain, pengampunan adalah tindakan manusia yang ideal, dan model pengampunan Eskatologis Allah.

3.3 Apakah Yesus mengampuni Dosa?
Bash memperlihatkan dua perikop di dalam Perjanjian Baru yang mencoba memperlihatkan kisah pengampunan Yesus, yakni luk 5:20,23,dan luk 7:48. Namun menariknya, di dalam kedua ayat tersebut Yesus sama sekali tidak menyebutkan kata-kata absolusi. Ayat yang menunjukkan pengampunan ditampilkan dalam bentuk kalimat pasif. Secara literer kalimat ini tidak menjelaskan pihak manakah yang memberikan pengampunan. Model kalimat seperti ini juga digunakan di dalam Markus 2:5,9. Merujuk pada pandangan Jeremias, pengampunan yang ditampilkan di sini merupakan tindakan ilahi. Pendapat serupa juga diperlihatkan Sanders yang mencoba membandingkannya dengan injil Markus, di situ ditunjukkan bahwa Yesus tidak merujuk dirinya serupa dengan yang ilahi, sebagai seseorang yang mengampuni dosa. Dalam hal ini Yeremias dan Sanders benar. Yesus tidak secara arogan mengatakan dirinya memiliki kuasa ilahi untuk mengampuni, melainkan ia mengkorfimasi dan mengafirmasi suatu fakta eskatologis bahwa Allah yang berbelaskasih telah mengampuni orang yang lumpuh dan wanita yang berdosa. Yesus cukup berhati-hati sehingga tidak mudah disamakan dengan apa yang dilakukan oleh tukang sihir/dukun.
Dalam kisah penyembuhan terhadap orang lumpuh (Luk 5:17-26), teman-teman si lumpuh menurunkan si lumpuh dari atap agar Yesus sanggup menyembuhkan. Namun terhadap si lumpuh Yesus mengatakan bahwa dosanya telah diampuni. Tindakan yang dilakukan Yesus diinterpretasikan oleh orang banyak sebagai tindakan seorang dukun/ tukang sihir. Tetapi lalu Yesus pun menanggapi mereka dengan menyatakan bahwa anak manusia memiliki kuasa di bumi untuk mengampuni dosa (ay.24).
Pertanyaan yang dapat diajukan di sini adalah, mengapa banyak orang melawan ketika Yesus mengatakan dosamu diampuni. Pertama, dalam pemikiran Yahudi terdapat kaitan antara penyakit fisik dan dosa. Saat Yesus menyembuhkan (Luk 5:24), maka Yesus mempraktekkan bahwa dosa orang yang bersangkutan telah diampuni. Kedua, berdasarkan pemikiran Dunn, perlawanan itu muncul karena Yesus mengucapkan kata-kata pengampunan (dan menyembuhkan orang itu). Kata-kata-kata ini merupakan bagian dari ritus yang biasa diucapkan oleh para tukang sihir (bagian dari sebuah pemujaan).
Bagaimanapun juga, terhadap perlawanan tersebut Lukas sama sekali tidak memberikan suatu tanggapan. Tanggapan lain justru diperlihatkan dalam Lukas dalam Luk 5:21. Orang banyaklah yang memahami bahwa Yesus sendirilah yang melakukan pengampunan tersebut, terlebih setelah diperkuat dengan afirmasi dalam Luk 5:24 “Anak manusia memiliki kuasa di bumi untuk mengampuni dosa.” Dengan pernyataan tersebut, ada dua hal yang kemudian ditandaskan di kisah ini, pertama Yesus menunjuk kepada Allah yang mengampuni, kedua, dia merujuk kepada dirinya sebagai seseorang yang mampu, memiliki kuasa juga untuk mengampuni.
Kedua hal tersebut tidak diragukan akhirnya menimbulkan suatu konflik. Resolusi yang paling disukai adalah bahwa pemahaman pertama ingin menjelaskan bahwa Yesus mengafirmasi tindakan Allah yang mengampuni si lumpuh dan penyembuhan terhadap si lumpuh untuk menampilkan pengampunan tersebut. Sedangkan pemahaman kedua berasal dari periode kemudian bahwa pengembangan cerita tersebut diarahkan kepada tema kristologi pada Gereja awal, sebagai pembenaran Gereja awal mempunyai kuasa untuk mengampuni dalam nama Yesus.
Perkembangan yang sama juga dapat dilihat dalam Luk 7:36-50. Dalam kisah ini, Lukas menceritakan seorang kisah seorang perempuan berzinah yang mengurapi Yesus dengan minyak. Gagasan terpenting dalam kisah tersebut adalah tindakan sang wanita sebagai reaksi atas pengampunan yang telah ia terima atas segala dosanya. Yesus menyatakan bahwa dosanya sudah diampuni (ay.48); tetapi perkataan Yesus tidak dapat dikatakan sebagai sebuah absolusi. Pada ayat 49, orang banyak di sekitarnya bereaksi terhadap perkataan Yesus. Karena mengangap Yesus tidak layak mengucapkan hal itu. Jeremias justru berpendapat bahwa perkataan Yesus sendiri merujuk kepada tindakan ilahi.

3.4 Jesus, the forgiving victim- Korban yang Mengampuni
Yesus mencoba memberikan contoh apa artinya mengampuni. Dalam 1Pet 2:24, dikatakan bahwa Yesus sendirilah yang telah memikul dosa-dosa kita. Gagasan yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa dengan menanggung dosa manusia, Yesus menyembuhkan kondisi manusia dan Ia meninggalkan teladan kepada manusia supaya mengikuti jejakNya (1Pet 2:21).
Yesus menjadi gambaran pribadi yang terluka dan tidak berdaya. Di dalam injl Matius (26:53) dikisahkan bagaimana Yesus menolak untuk memanggil malaikat penyelamatNya ketika ia sedang ditangkap. Di salib, ia justru berdoa kepada Bapa agar mengampuni dosa para algojo. Pengampunan pribadiNya diberikan secara implisit kepada orang-orang yang tidak menyesali kesalahannya sebagai suatu hadiah, walaupun mereka sendiri tidak meminta, mengharapkan dan bahkan berseru. Injil Lukas sedemikian rupa menampilkan kemanusiaan Yesus. Lukas menekankan pula bahwa Yesus adalah model pengampunan, dalam konteks kekejaman dan penderitaan yang tidak adil. Yesus sama sekali menunjukkan sikap balas dendamnya.
Pendekatan yang dilakukan oleh Yesus sangat kontras dengan orang-orang yang masih sulit mengampuni dan mengharapkan pembalasan. Bash menambahkan bahwa perbedaan antara menjadi pengampun dan tidak menjadi pengampun adalah terletak pada bagaimana seseorang menggunakan kekuatan (kuasa-power) yang mereka miliki. Mereka yang tidak dapat mengampuni nampaknya ingin memperlihatkan kekuatannya, kekuatan untuk melawan, dengan tujuan agar dapat membalas, dan membuat orang yang bersangkutan (yang bersalah) merasakan seperti apa yang ia rasakan-tidak berdaya. Antara pelaku dan korban justru akan berlangsung sikap saling membalas yang tak akan kunjung berakhir dan terselesaikan. Lebih lanjut, keduanya justru kemudian menjadi korban. Yesus sebaliknya memilih menjadi pribadi yang tidak berdaya.

3.5 Pengampunan Ilahi Dan Manusiawi
Pada perumpamaan tentang hamba yang yang tidak mampu mengampuni (Mat 18:23-35), Matius memperlihatkan kepada kita bagaimana rahmat Allah terlibat (menyelimuti) di dalam relasi antar manusia, dan secara khusus mengajak bagaimana manusia mengampuni satu sama lain. Perumpamaan yang hanya ada di dalam injil Matius ini, berpusat pada tema pengampunan.
Dalam perumpamaan tersebut dikisahkan ada seseorang yang berhutang sepuluh ribu talenta kepada raja. Element penting dalam kisah ini adalah fakta adanya relasi di dalam Perjanjian Baru antara melepaskan hutang dengan pengampunan. Setelah meninggalkan sang Raja, hamba tersebut bertemu dengan hamba lain yang berhutang kepadanya. Hamba itu menolak untuk menghapus hutang hamba lain yang berhutang kepadanya sejumlah seratus dinar. Karena mendengar sikap hamba yang tidak bermurah hati itu, sang raja menjadi marah dan menyerahkannya hamba itu kepada para algojo untuk dimasukkan ke dalam penjara sampai ia melunasi hutang-hutangnya.
Perumpamaan tersebut memperlihatkan bahwa sesungguhnya pengampunan merupakan sebuah anugerah, sebagai suatu bentuk ungkapan kerendahatian yang luar biasa. Bash berpandangan bahwa karena di dalam Perjanjian Baru pengampunan sebagai sebuah anugerah, maka pengampunan itu bersifat regenarative, transformatif, dan paradigmatic. Pengampunan harus dapat membawa seseorang pada suatu perubahan, dan perubahan tersebut hendaknya berdampak di dalam relasi dengan orang lain. Secara khusus, seseorang yang telah menerima rahmat pengampunan dari Allah harus berusaha berusaha keras pula untuk dapat mengampuni orang lain. Kegagalan orang yang berhutang sepuluh ribu talenta bukan karena ia gagal mengampuni melainkan karena ia gagal untuk berkeinginan dan mencoba mengampuni. Point terakhir ini sangat kuat ditekankan dalam ayat 33 dan 35. Seseorang yang telah menerima belas kasih dari Allah hendaknya memperlihatkan belaskasih itu kepada orang lain. implikasi jika mereka tidak melakukan hal itu adalah mereka akan kehilangan pengampunan dan belas kasih dari Allah. Memang benar, bahwa manusia sama sekali tidak terikat suatu kewajiban untuk dapat mengapuni sebagaimana Allah melakukannya. Tetapi yang terbaik yang dapat dilakukan adalah manusia dapat mengimitasi tindakan Allah, menjadikannya sebagai model ideal pengampunan, walaupun manusia tidak akan pernah mencapai seluruhnya. Kegagalan dalam mengampuni sebagaimana dilakukan oleh Allah, selalu akan dialami oleh manusia. Bash sendiri mengakui bahwa pernyataan ini terlihat sedikit hiperbolik. Tak seorang pun dapat menjadi murah hati dan pengampun seutuhnya sebagaimana halnya Allah yang murah hati dan Maha pengampun. Manusia, lanjut Bash, telah diberikan suatu keutamaan moral yang baik untuk diikuti, namun karena kondisi kemanusiaannya, mereka tidak pernah bisa seutuhnya memenuhi tuntutan tersebut.
Tema serupa juga ditemukan di dalam doa Bapa kami. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah makna kata as dalam Mat 6:12 atau Luk 11:4? Apakah itu berarti hanya dan bila saya mengampuni orang lain, maka Allah akan mengampuni saya? Jika hal itu yang menjadi sudut pandangnya, maka anugerah ilahi tersebut tergantung pada pengampunan manusia. Namun tentu saja hal ini tidak mungkin mungkin diterima dan sedikit bertentangan dengan hakekat Allah. Cinta Allah diberikan secara Cuma-Cuma kepada manusia. Interpretasi lain adalah bahwa Allah akan mengampuni seseorang dengan cara yang sama orang itu mengampuni sesamanya. Pendapat ini pun juga disangkal oleh Bash karena pengampunan merupakan sesuatu yang diberikan oleh Allah. Interpretasi terbaik menurut Bash adalah menerjemahkan hoc dengan since, yang bermakna karena/sejak manusia mengampuni orang lain (dan itu berarti adanya perubahan karena pengampunan dari Allah), Allah pun melanjutkan pengampunan kepada orang yang mengampuni.
Mrk 11:25 senantiasa melihat adanya gambaran transformatif dari pengampunan Allah. Sesuai dengan apa yang disampaikan Yesus, “Bilamana kamu berdoa, ampunilah dahlu seseorang yang belum kau ampuni, sehingga Bapamu di surga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.” Versi Matius (6:14) terlihat lebih eksplisit “jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jika kamu tidak mengampuni orang, Bapamu di srga juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” Demikian halnya dalam injil Lukas (6:37) dikatakan, “ampunilah maka kamu akan diampuni”, meskipun di sini tidak jelas pengampunan manusia atau ilahi yang menjadi tujuan dari sikap mengampuni.

3.6 Pengampunan Interpersonal
Bagaimana dan kapan manusia harus mengampuni? Apakah idealnya pengampunan diberikan oleh pihak korban ketika mereka yang bersalah menyesal? Ataukah yang ideal adalah pengampunan senantiasa dilakukan tanpa memperhatikan perilaku mereka yang bersalah? Pastinya yang ideal adalah bahwa sang korban harus mampu mengampuni mereka yang bersalah dan menyesal, termasuk jika kesalahan tersebut dilakukan berulang kali. Di dalam Kitab Suci disebutkan bahwa seseorang harus mengampuni 7 kali sehari (luk 17:31). Apa yang Yesus maksudkan adalah bahwa tidak seberapa penting pelaku melakukan kesalahannya, korban harus berusaha mengampuni meski si pelaku tidak menyesal. Sang korban harus tetap berusaha untuk mengampuni pelaku yang tidak memperlihatkan penyesalannya. Menurut Bash, jawaban Yesus itu nampaknya memperlihatkan seseuatu yang tidak hanya berlebihan tetapi juga sebagai kemurahatian yang tidak mungkin,-terlebih apabila angka tujuh dipandang sebagai suatu kesempurnaan.
Kisah tentang wanita yang mengurapi Yesus (Luk 7:36-50) menggambarkan hal itu. Seorang wanita diceritakan secara berlebihan mengurapi Yesus. Seorang farisi mengamati tindakan sang wanita dan mengkritik Yesus yang mengijinkan wanita semacam itu menyentuhnya. Yesus menanggap kritik itu dengan menceritakan perumpamaan tentang dua orang yang memiliki hutang lima ratus dinar dan lima puluh. Karena keduanya tidak sanggup membayar, hutang keduanya dihapus. Menjawab pertanyaan Yesus, Simon menyetujui bahwa dia yang hutangnya lebih banyak akan lebih mengasihi dia. Yesus lalu menggunakan prinsip perumpamaan dua orang yang berhutang untuk menjelaskan sikap perempuan yang berzinah itu.
Yesus memakai gagasan itu untuk menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara orang-orang yang telah diampuni dengan perubahan yang telah diterima sebagai hasil. Orang yang menerima sedikit pengampunan (pengalaman pengampunan) akan sedikit pula berbuat kasih. Namun sebaliknya Bash menekankan bahwa bukan berarti orang yang telah menerima banyak pengampunan karena banyaknya kesalahan yang ia lakukan akan serta merta banyak berbuat kasih atau lebih banyak mengampuni . Yang ingin dikatakan Yesus tentang wanita itu adalah karena cinta wanita itu maka ia pun memperoleh pengampunan, bukan justru karena dia telah dicintai maka ia mau memafkan.
4 PAULUS
Tema pengampunan hanya muncul sedikit dalam surat-surat paulus. Paulus justru lebih banyak menulis tentang yustifikasi. Yustifikasi merupakan suatu konsep Yuridis,-tidak menyatakan tentang pengampunan- berkenaan dengan tindakan pembebasan manusia melaui wafat dan kebangkian Kristus, sehingga manusia dapat berelasi kembali dengan Allah dan berpartisipasi penuh dalam komunitas umat Allah. Kata yang digunakan Paulus untuk menerjemahkan “forgiveness” adalah charizomai (2Kor 2:7; 10; 12:13). Paulus memahami pengampunan sebagai sebuah anugerah, diberikan secara bebas, dengan penuh kerendahatian, sebagai suatu konsekuensi partisipasi penuh dalam komunitas umat Allah melalui Yustifikasi.
Tulisan Paulus tentang tema pengampunan merupakan sebuah aksioma akan hidup Kristus. Melalui tema pengampunan, secara implisit, Paulus ingin menerangkan apa artinya menjadi seorang Kristiani. Dalam Kristus, Allah telah menghapus dosa manusia, dan hidup seorang kristen hendaknya menyerupai hidup Kristus, sebagaimana Kristus telah mengampuni dosa manusia (bdk.Fil 2:5-11). Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana orang Kristen melakukan hal ini? Menurut Bash, Paulus tidak menjawab ini secara eksplisit. Sebagian besar jawaban yang diberikan Paulus menyatakan bahwa kekuatan/kemampuan untuk mengampuni datang dari Allah. Paradigma yang dugunakan Paulus di sini adalah peristiwa kematian dan kebangkitan Kristus. Dalam peristiwa Wafat dan kebangkitanNya, Yesus tidak membangkitkan dirinya sendiri. Ia dibangkitkan oleh kuasa Allah. Dalam cara yang sama, seorang Kristen barangkali perlu berhenti untuk hanya bersandar kepada kekuatan dan kapasitasnya sebagai manusia untuk kemudian berharap serta memohon kepada Tuhan agar dimampukan supaya dapat hidup sesuai kehendakNya sehingga mereka pun dapat mengampuni ( bdk. 2Kor 1:5, 8-10). Anugerah pengampunan dapat diterima oleh setiap orang. Dengan menerima anugerah tersebut seseorang dirubah sehingga menjadi ‘pengampun’ dengan cara yang sama Allah mengampuni. Sebagaimana Paulus memandang bahwa adalah mustahil orang hidup dalam Jalan (kehendak) Allah tanpa mengandalkan kekuatan Allah maka mustahil pula dapat mengampuni seperti Allah tanpa mengandalkan kekutanNya. Suatu kehidupan dalam kehendak/ jalan Allah memperlihat bahwa seorang telah mengalami pengalaman kebangkitan. Dengan pengalaman kebangkitan tersebut, orang kristen menerima kekuatan untuk bisa mengampuni.

5 Kesimpulan
Bash memandang bahwa tidak diragukan jika Perjanjian Baru menunjukkan suatu kebingungan berkaitan dengan tema pengampunan. Mengampuni merupakan bagian dari tindakan keutamaan moral. Mengampuni merupakan sebuah tindakan ideal dan tindakan perwujudan dari mengikuti Yesus. Para penulis Perjanjian Baru, menyatakan bahwa pengampunan sebagai sebuah jalan hidup. Meski demikian, mengampuni tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kewajiban moral, karena mengampuni terkadang menjadi sesuatu yang tidak mungkin, atau bahkan sangat sulit untuk dilakukan. Tindakan mengampuni merupakan ciri khas etika/ keutamaan Kerajaan Allah. Mereka yang menjalankan hal itu akan menampilkan kehadiran Kerajaan Allah di dunia ini saat ini.
Berkenaan dengan absolusi dan pengampunan, meskipun Lucan menyatakan bahwa Yesus membebaskan manusia dari dosa, Jones (1996) justru menyatakan bahwa Yesus sungguh mewujudkan pengampunan dan diriNya adalah pengampun. Absolusi sesungguhnya akan terjadi saat Kerajaan Allah sungguh datang dan dinyatakan. Ditambahkan pula, bahwa di dalam Perjanjian Baru, baptis dan pertobatan memberikan pengampunan pada seseorang; baptisan kemudian dipahami sebagai sebuah tanggapan dan anugerah dari Allah.
Kemampuan/ kapasitas pengampunan interpersonal berhubungan dengan pengalaman pengampunan yang diterima dari Allah karena pengampunan itu sendiri, menurut Bash, bersifat regenerasi, memampukan seseorang untuk menjadi manusia pengampun. Mereka yang mengalami pengampunan dari Allah dan menjadi manusia pengampun, akan melanjutkan/ meneruskan pengalaman pengampunan tersebut. Dalam perumpamaanNya, Yesus memperingatkan mereka yang telah mengalami pengampunan dari Allah namun tidak dapat mengampuni orang lain akan menerima pengampunan dari Allah tidak lebih dari yang mereka berikan kepada orang lain. pernyataan ini memiliki implikasi tertentu. Menurut Bash, seseorang dapat saja menduga bahwa seseorang yang telah mendapat pengalaman pengampunan akan selalu mudah mengampuni orang lain; atau dengan kata lain sebuah pengampunan akan menghasilkan pengampunan baru. Ketika pengampunan bukan sebuah moralitas ideal dari perilaku manusia, maka balas dendam, pembalasan, kemarahan akan menjadi sebuah prinsip alternatif bersamaan dengan kehacuran pribadi dan konsekuensi sosial yang dibawanya.
Pemahaman bahwa orang yang tidak bisa mengampuni tidak akan bisa diampuni, dipandang Bash sebagai sesuatu yang kontradiktif. Jika pengampunan merupakan sesuatu anugerah dari Allah yang luar biasa -dan sesungguhnya tidak pantas diterima manusia- bagaimana mungkin dapat diletakkan dalam tingkatan/ takaran pengampunan di antara sesama manusia? Salah satu pemecahan yang diberikan oleh Bash antara lain sebagai berikut; jika seseorang berjuang sedemikian rupa untuk mengampuni orang lain, sebagai sebuah tanggapan utuh atas pengampunan yang diberikan oleh Allah, maka Allah akan memberikan rahmat pengampunan kepada mereka, jauh lebih besar dari yang pernah Allah berikan. Jika mereka yang menerima rahmat Allah tersebut namun menolak kekuatan transformasi yang diberikan, maka pengalaman pengampunan ilahi yang diberikan Allah kepada orang yang bersangkutan pun juga menjadi terbatas. Bash lebih melihat bahwa mengampuni merupakan suatu usaha dan kerja keras dalam melaksanakan dan menerapkan prinsip moral yang ideal. Seseorang justru dikatakan berdosa bukan karena orang itu gagal mencapai yang ideal tersebut melainkan karena gagal dalam mencoba berusaha untuk mencapai yang ideal tersebut.
Pada akhirnya Bash menambahkan pula, kisah perumpamaan tentang anak yang hilang menggambarkan bahwa pengampunan akan tetap tinggal menjadi sesuatu yang tidak berarti, tidak sempurna sampai terwujud dalam suatu tindakan dan penerimaan kembali mereka yang bersalah. Pada saat pengampunan benar-benar diwujudkan dalam tindakan nyata dan diterima dengan cara ini, termasuk penerimaan seseorang yang bersalah, maka rekonsiliasi pun terwujud.

6 Tanggapan Kelompok : Sakramen Pengampunan Dosa dalam Gereja Katolik
1. Pandangan Biblis
Jika dalam salah satu perikop yang dipergunakan Bash sempat menyinggung bahwa kata-kata pengampunan dan peristiwa penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus hanya merupakan sebuah afirmasi dari tindakan Yesus, maka kami pun bertanya, manakah pendasaran biblis yang digunakan oleh Gereja Katolik dalam sakramen Tobat.
Sacrosantum Concilium (SC 72) biasa menyebut dengan sakramen tobat. Istilah yang biasa digunakan dalam kazhanah gereja adalah “sakramen rekonsiliasi”. Istilah rekonsiliasi merangkum pengertian: inisiatif Allah yang terlebih dahulu menawarkan pendamaian kepada umatNya (pendamaian dengan Allah), pendamaian kita dengan sesama dan seluruh alam ciptaan sebagai dimensi sosial dan ekologis, dan penyembuhan yang bermakna penemuan kembali kehidupan damai pada hati semua orang yang bertobat dan telah menerima pengampunan dosa.
Dasar-dasar sakramen tobat ini dapat kita temukan, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.

1.a Perjanjian Lama
Praktek pertobatan dikenal dalam Perjanjian Lama menurut segi ritual kultis maupun menurut aspek batiniah dan sikap hidup maupun perbuatannya. Bencana dan penderitaan sering dihubungkan sebagai akibat dosa. Konteks dosa dan kesalahan, pertama-tama adalah seluruh umat. Kesejahteraan bangsa ditentukan oleh pertobatan umat setempat yang diungkapkan dalam bentuk tanda dan upacara kultis; berkumpul untuk mengaku dosa (Ezr 9:13; Neh 9:36-37), berpuasa (Neh 9:1), menaburkan abu di atas kepala (Yer 6:26), mengenakan kain kabung (Neh 9:1), menyampaikan kurban bakaran (Im 16:1-19). Tradisi para nabi menekankan bahwa yang terpenting adalah pertobatan batin, pertobatan hati dan sikap hidup yang tampak dalam dimensi sosial (lih. Yes 58:6-7; Yl 2:12).

1.b Perjanjian Baru
Sejak awal karyaNya, Yesus sudah mewartakan pentingnya pertobatan demi Kerajaan Allah (Mrk 1:14). Pertobatan akan membawa orang pada pengampunan dosa. (lih 2:12). Dalam teks tersebut diungkapkan penyembuhan kepada orang tersebut juga menganugerahkan pengampunan dosa. Kedua, teks dipahami sebgai kuasa mengampuni dosa yang juga dimiliki oleh Yesus.
Menurut Perjanjian Baru, kuasa untuk mengampuni dosa yang dimiliki Yesus kini dianugerahkan kepada Gereja. Gagasan pelimpahan kuasa untuk mengampuni dosa dari Yesus kepada Gereja antara lain dikembangkan dalam injil Matius. Matius menyiratkan suatu dimensi eklesiologis, sebagaimana pararel dengan Markus 2:12, “maka orang banyak yang melihat hal itu takut lalu memuliakan Allah yang telah memberikan kuasa sedemikian itu kepada manusia” (Mat 9:8). Kuasa pengampunan dosa Yesus kemudian dilanjutkan dalam diri Petrus (Mat 16:19) dan Gereja (Mat 18:18). Barulah dalam Yoh 20:22-23 kuasa untuk memberikan pengampunan dosa secara eskatologis pada Gereja benar-benar dilimpahkan oleh Yesus Kristus.
Dengan demikian, Perjanjian Baru memahami kuasa untuk mengampuni dosa sebagai kuasa yang dimiliki oleh Yesus sendiri, yang tentu saja diterima dari BapaNya di surga. Sebab,”kepadaKu telah diberikan segala kuasa di surga dan Bumi” (Mat 28:1). Kuasa untuk mengampuni dosa orang itu diberikan dan dilimpahkan oleh Yesus Kristus kepada Gereja secra keseluruhan, dan tentu saja dilaksanakan secara konkret melalui para pelayan Gereja. Di dalam Gereja perdana, pengampunan dosa yang hanya berasal dari Tuhan itu sendiri menuntut beberapa unsur; pertobatan dan penyesalan (bdk. Luk 15:11-14; Kis 2:37-39; 2 Kor 7:9-10), pengakuan dosa (1Yoh 1:8-10; Yak 5:15-16), dan juga usaha yang aktif untuk mengatasi ataupun membuat silih atas dosa, entah memberi sedekah (mat 6:2-6), berpuasa (Mat 6:16-18), dan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani (1 Tim 1:18).

2. Kebiasaan Gereja yang Berubah-ubah
Kebiasaan Gereja Perdana diteruskan dalam Gereja kuno pada zaman para Bapa Gereja. Pada zaman Patristik dikembangkan model tobat publik. Tobat publik ini diperuntukkan bagi warga Gereja yang melakukan dosa berat. Tobat publik ini hanya bisa dilakukan sekali seumur hidup. Mereka harus mengaku dosanya dihadapan Uskup, ditempatkan di kalangan orang yang sedang melakukan laku tapa, dan memiliki tempat kkhusus dalam gereja. Praksis Tobat pribadi mulai berkembang sekitar abad VI dalam kehidupan Gereja barat yang berasal dari rahib Irlandia. Pengakuan dosa pribadi dilakukan secara pribadi di hadapan seorang Bapa pengakuan. Pada zaman skolastik, Tobat udah diterima sebagai bagian dari ketujuh sakramen. Persoalan yang muncul pada masa ini adalah kuasa imam untuk memberikan absolusi. Teolog skolastik menyatakan, Absolusi imam hanya bersifat deklaratif; rahmat Allah sendirilah yang mengampuni dosa. Pernyataan absolusi imam hanya bersifat; menyatakan secara eksplisit apa yang telah dikerjakan Allah itu dan menyatakan bahwa orang itu sudah bersih dari dosa dan boleh kembali ikut perayaan iman Gereja. Thomas Aquinas menyatakan bahwa pengampunan dosa dari Allah itu berdaya dan efektif karena interaksi antara pertobatan orang yang berdosa itu dan absolusi yang dinyatakan imam. Absolusi bersifat kausativ, ikut menyebabkan turunnya rahmat Allah.

3. Pandangan dalam Ajaran Gereja
Konsili Vatikan II Meninjau kembali sakramen tobat. Yang terpentng di dalamnya adalah tobat dan “orang beriman yang bertobat” (bdk. LG 28). Hubungan dengan Gereja juga ditekankan (LG11). Yang dilakukan oleh pentobat dalam sakramen tobat adalah pengakuan dan penitensi. Tobat hendaknya dilakukan dengan laku tapa dan matiraga sukarela. Sakramen tobat terarah pada penerimaan kembali oleh Allah di dalam Gereja. Yang menjadi pokok sakramen tobat adalah pengakuan iman terhadap belaskasihan Tuhan (Bdk. Ef 2:8-10). Oleh rahmat Allah, orang sadar akan kemalangannya sendiri dan menyatakan kelemahannya di hadapan Allah. Allah sendiri menarik orang berdosa. Dengan mengaku diri orang berdosa, manusia menyerahkan diri kepada Allah yang maharahim. Yang pokok adalah orang yang berdosa mohon belaskasihan Tuhan. Dalam Katekismus Gereja Katolik, sakramen tobat penting untuk menyembuhkan dosa-dosa setelah seseorang dibaptis. Kerapuhan dan kelemahan kodrat manusia, hawa nafsu, tetap tinggal setelah Baptis maka dosa tetap ada.
4. Diskusi Ekumenis tentang Sakramen Tobat
Martasudjita menyebutkan bahwa dalam diskusi dengan kelompok reformasi mengenai sakramen tobat masih pada tingkat awal. Gereja reformasi tidak memandang tobat sebagai sakramen tersendiri. Martin Luther, melihat apa yang disebut confessio dan absolutio (Gereja Katolik) tidak lebih daripada reditus ad baptismum (kembali kepada semangat baptisan Kristiani) . Atas dasar itulah Luther melihat bahwa pengampuan dosa bukanlah sakramen tersendiri di samping baptisan dan perjamuan, melainkan suatu usaha kembali kepada semangat baptisan. Tokoh lain, Calvin misalnya pertobatan dalam Gereja Katolik tidak lebih dari sekedar recordatio baptismi, ingatan kembali akan baptisan. Absolutio hanyalah suatu pemakluman tentang pengampunan dosa yang telah terjadi dalam baptisan. Manusia berdosa sudah dibenarkan satu kali dalam baptisan dan tidak perlu diulangi dalam pengakuan dosa berkali-kali. Pertobatan adalah baptisan yang menjadi efektif secara baru dalam iman. Mereka menempatkan tobat sebagai yang penting dalam keseluruhan hidup iman. Bagi mereka, perayaan tobat merupakan pewartaan rahmat Allah yang bersifat membenarkan orang dan mengampuni dosa. Dengan kata lain, pertobatan adalah semata-mata anugerah Allah. Manusia tidak berjasa sedikit pun dalam pertobatan.
Selain itu, kaum protestan juga tidak sependapat terhadap penitensi atau silih atau denda yang dipraktekkan dalam Gereja Katolik. Mereka tidak melihat adanya tapa denda setelah pengampunan dosa, karena itu berarti bahwa pengampunan dosa atas nama Kristus tidak sungguh-sungguh terjadi. Menurut mereka, penitensi yang benar adalah iman dalam Kristus dan hidup yang baik.

7 Diskusi Kelompok
7.1 Apa yang dilakukan oleh Yudas Iskariot, bunuh diri, menjadi representasi manusia yang putus asa, kehilangan harapan. Apa yang dilakukan oleh Yudas berlawanan dengan konsep kehidupan yang merupakan rahmat Tuhan sendiri. Bagaimana Gereja menanggapi realitas bunuh diri tersebut, dan bagaimana pengampunan itu bisa terjadi bagi mereka yang bunuh diri?
Untuk menjawab persoalan tersebut, dapat digunakan dasar dari Katekismus Gereja Katolik yang menyatakan bahwa tindakan bunuh diri adalah bertentangan dengan kasih Allah dan manusia (Katekismus Gereja Katolik no. 2281-2282).
“Everyone is responsible for his life before God who has given it to him. It is God who remains the sovereign Master of life. We are obliged to accept life gratefully and preserve it for his honor and the salvation of our souls. We are stewards, not owners, of the life God has entrusted to us. It is not ours to dispose of” (The Cathecism of the Catholic Church, no. 2280).
Tiap orang semestinya bertanggungjawab atas kehidupannya, sebab Allah telah memberikan hidup kepadanya. Kewajiban manusia ialah untuk tetap menjaga hidup dengan mempertahankan hidup demi kehormatanNya dan demi keselamatan jiwa. Dengan demikian bunuh diri bertentangan sekali dengan kodrati manusia yang merupakan anugerah Cuma-Cuma dari Allah. Bunuh diri berarti menghilangkan kehidupan yang semestinya dipelihara dan dipertahankan. Gereja tidak setuju terhadap tindakan bunuh diri ini, sebab bunuh diri berarti menghilangkan kehidupan, bertentangan dengan konsep cinta kepada Allah yang hidup.
“Suicide contradicts the natural inclination of the human being to preserve and perpetuate his life. It is gravely contrary to the just love of self. It likewise offends love of neighbor because it unjustly breaks the ties of solidarity with family, nation, and other human societies to which we continue to have obligations. Suicide is contrary to love for the living God”. (The Cathecism of the Catholic Church, no. 2281).
Mereka yang melakukan bunuh diri, berdosa. Bahwa mereka yang terlibat atau mendukung peristiwa bunuh diri juga berdosa. Kedosaan tersebut akan menjadi penuh pada saat peristiwa tersebut dilakukan dengan penuh kebebasan (The Cathecism of Catholic Church, 2282). Bunuh diri adalah berdosa. Secara pastoral, berat dan ringan kedosaan itu dilihat kasus per kasus, atau tergantung dari kebebasan di pelaku. Pertanyaan selanjutnya adalah Apakah orang yang bunuh diri akan mendapatkan pengampunan juga dari Allah? Allah adalah kasih. Ia lebih dulu mengampuni, dan akan selalu mengampuni. Orang yang bunuh diri, menurut Gereja, akan mendapatkan pengampunan jika pada saat-saat terakhirnya itu, ia menyatakan kedosaannya. Bagi keluarga yang ditinggalkan, seorang imam pun mestinya mewartakan kabar sukacita dimana keselamatan itu akan selalu datang dan dialami oleh siapapun. Allah masih memberikan kesempatan untuk adanya keselamatan abadi.
We should not despair of the eternal salvation of persons who have taken their own lives. By ways known to him alone, God can provide the opportunity for salutary repentance. The Church prays for persons who have taken their own lives. (The Cathecism of the Catholic Church, no. 2283)
Dalam berpastoral, Gereja menggemakan kabar pengharapan bagi mereka yang telah meninggal. Orang tidak boleh kehilangan harapan akan keselamatan abadi bagi mereka yang telah mengakhiri kehidupannya. Allah sendiri masih memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat supaya diselamatkan. Gereja tetap berdoa bagi mereka yang telah mengakhiri kehidupannya. Demikian Gereja tetap memberikan pengharapan bagi mereka yang telah meninggal, dan teristimewa keluarga yang ditinggalkan.

7.2 Bagaimana pelayanan pastoral bagi keluarga yang meninggal karena bunuh diri. Apakah boleh diadakan misa bagi keluarga yang meninggal karena bunuh diri?
Dalam kasus-kasus tertentu, perayaan ekaristi tetap bisa diadakan untuk mendoakan jiwa orang yang telah meninggal. Gereja tetap memberikan dukungan doa bagi mereka, teristimewa keluarga yang ditinggalkan. Dalam konteks pastoral, komuni dalam ekaristipun tetap dapat diberikan kepada keluarga yang bersangkutan (yang bunuh diri) selama keluarga tidak terlibat dalam peristiwa bunuh diri tersebut. Intinya, Gereja secara pastoral tetap memberikan dukungan doa bagi orang yang meninggal maupun keluarga yang ditinggalkan. Namun begitu, Gereja tidak bisa menyamaratakan langkah pastoral ini secara menyeluruh, sebab berbagai peristiwa harus dilihat kasus-kasusnya terlebih dahulu. Maka Gereja harus mempertimbangkan apakah ekaristi tersebut menjadi batu sandungan bagi masyarakat lain atau tidak. Oleh karena itu, Gereja harus memperhatikan segala sesuatunya secara kompleks.

7.3 Yesus mewartakan Kabar Gembira bagi banyak orang. Mengapa Yesus membawa warta Kabar Gembira?
Yesus mewartakan kabar gembira menjadi tekanan dalam Perjanjian Baru. melalui pewartaan Kabar Gembira tersebut, tekanan pengampunan dalam Perjanjian Baru menjadi nyata. Ada perubahan paradigma dan nilai dari Perjanjian Lama, yakni konsep mata ganti mata, gigi ganti gigi, “Tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak” (Kel 21:23-25). Paradigma baru berkembang dalam Injil, dimana Injil menjadi Injil karena ada pengampunan, yakni orang yang bertobat diampuni. Inilah yang menjadi kekhasan kristiani. Pengampunan bukan saja karakter iman tapi inti iman Kristiani.
Apabila dibandingkan dengan Paulus mengenai iustifikasi. Sebenarnya tidak bisa dipisahkan antara iustifikasi dan pengampunan karena pembenaran dilakukan dengan pembenaran, dan tidak ada pengampunan tanpa pembenaran. Sementara persoalan Protestan dan Katolik adalah soal bagaimana cara iustifikasi tersebut? Apakah iustifikasi tersebut berasal dari perbuatan manusia itu sendiri atau semata-mata dari Allah (perlu Allah). Menurut Katolik, iustifikasi semakin benar dengan perbuatan.

8 Penutup
Yesus mewartakan supaya bertobat. Seruan ini adalah bagian hakiki dari pewartaan Kerajaan Allah, “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk 1:15). Seruan pertobatan pertama ditujukan bagi mereka yang berlum mengenal Kristus, dan dalam pertobatan kedua, ditujukan bagi mereka orang-orang Kristen. Demikian Gereja selalu menjalankan pertobatan dan pembaharuan terus menerus (LG 8).
Pertobatan pertama-tama adalah karya rahmat Allah, yang membalikkan hati manusia kepadaNya. Demikian pula pengampunan menjadi milik Allah yang hadir dalam diri Yesus yang mendapat kuasa untuk mengampuni (Mrk 2:10), bahkan berkat otoritas ilahiNya, Ia memberi kuasa tersebut kepada manusia, supaya merekapun melaksanakannya atas namanya. Inilah yang dapat disimpulkan, tentu saja dari kacamata kristiani, bahwa Allah senantiasa berbelaskasih kepada manusia, melalui pengampunan yang dilimpahkannya kepada manusia.

Daftar Pustaka
___”____, Kitab Hukum Kanonik, Roma, 1983
___”____, The Cathecism of the Catholic Church, Vatican, 1997
Bash, Anthony, Forgiveness and Christian Ethics, Cambridge University Press, New York, 2007.
Griffin, James A, Ringkasan Katekismus Katolik Yang Baru, Penerbit Obor: Jakarta, 1996
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 1996.
Mali, Matheus, Diktat Moral Dasar, Fakultas Teologi Kepausan Wedhabakti; Yogyakarta
Martasudjita, E, Sakramen-sakramen Gereja, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003.
Sujoko, Albertus, MSC, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik : Tinjauan Historis, dogmatis, dan pastoral, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2008.

Prasetya Handaya Wicaksana, Ignatius
Tri Kusuma, Albertus

Jumat, 30 April 2010

Keterlibatan hati dengan orang sakit

A. Sebuah Kisah Perjumpaanku dengan Bapak Mohammad
Keterlibatan hati dengan orang sakit


Hari beranjak siang, aku telah mondar-mandir, longak-longok ke ruang pasien serta menyapa mereka, pasien, yang terbaring di atas tempat tidurnya di bangsal Elisabeth satu. Elisabeth satu terbagi dalam dua kelas, yaitu kelas dua dan tiga. Aku memasuki hampir semua ruang dan bertegur sapa dengan hampir semua pasien dan keluarganya. Ruang 108 adalah salah satu ruangan yang aku tengok. Namanya Bpk Mohammad Mudiarjo.
Dalam perbincangan aku menjadi tahu bahwa dia sakit batu ginjal. Dalam riwayat sakitnya, dia pernah dioperasi dengan penyakit yang sama kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Dan kali ini dia harus menjalani operasi batu ginjal lagi. Mohammad Mudiarjo tinggal di daerah Pancingan, Umbulharjo. Dia tinggal bersama istri sementara anak-anaknya telah berumahtangga dan memberikan dua cucu, dan masih menunggu kelahiran satu cucu lagi. Mohammad Mudiarjo bercerita dengan semangat tentang keluarga dan asal-usulnya. Ternyata dia asli berasal dari Bumiayu, Purwokerto. Tidak heran apabila dia bisa menggunakan bahasa banyumasan dengan baik. Suasana bertambah hangat ketika aku memperkenalkan diri, aku berasal dari Purbalingga. Dia langsung merespon, “lah dénéng tanggané dhéwék. Bu, kiyé, mas Tri sekang Purbalingga. Lah ketemu seduluré dhéwék kiyé” dengan logat banyumasan yang kental.
Batu ginjal telah diambil, tanda bahwa dia telah melewati operasi dengan baik. Hal ini aku ketahui saat aku berkunjung menemui dia. Yang terlihat olehku adalah tubuh Mohammad yang lemas, dan sesekali dia merintih kesakitan. Istrinya bilang, “ini loh mas, bapaké réwél terus. Perawat sudah ngomong sabar pak, sabar. Tapi dia tetep ngéyél”. Saat dia merintih kesakitan, aku berada disampingnya, berulang kali ia merintih dan mengeluh, dan aku tidak tahu harus mengatakan apa, “mas Tri, dénéng lara temen, kepriwé kiyé mas. Aduh..aduh.. dénéng lara temen mas”. Aku hanya menemani, memegang tangan, dan sesekali menghibur dengan cerita-cerita dengan harapan bisa mengalihkan rasa sakitnya. Namun toh dia tetap merasakan sakit, “sabar ya mas, ngomong sih gampang, tapi angél mas, angél banget nglakoniné. Lara banget mas”. Aku hanya menjawab, “iya pak, iya. Tidak apa-apa. Pasti akan sembuh”. Aku sungguh semakin tergerak untuk menemani dia dalam sakitnya. Saat kesakitan ia merintih dan tangannya memegang erat tanganku. Aku menyahutnya dengan genggaman yang erat pula, tanda bahwa aku ada disampingnya dan menemaninya.
Aku hanya berharap bahwa keberadaanku di sampingnya bisa membuat dia sedikit lebih tenang, kendati tidak banyak yang aku lakukan. Aku terus menemaninya dengan sabar, dan diapun merasa senang saat aku menemaninya. Memang dia sedikit berlebihan dalam bersikap. Ia selalu menguras perhatian para perawat dan karena itulah ia dipindahkan ruang, dari 108 ke ruang 101. Akupun heran melihat tingkah Mohammad yang hiper menarik perhatian para perawat, dalam hatiku menjawab, “mungkin dia ingin selalu ditemani”. Di ruang 101, ia telah mengalami banyak perkembangan. Ia bisa kencing tanpa menggunakan cateter, tapi menggunakan alat lain, semacam tempat kencing (pispot). Ia sering kencing, dan setiap kencing ia merintih kesakitan, “aduh lara banget mas, kencingnya ésih metu ora mas, lara mas”. Bahkan ia sempat putus asa, ingin mati saja daripada menahan sakit yang tidak kunjung reda. Aku menemaninya dan mendukungnya dengan sabar. Sesekali aku masih membuang air kencing yang telah penuh di pispot. Kendati sedikit risih, tapi tak ada pilihan lain selain aku harus melakukannya, dan aku menjadi biasa. Perasaan yang muncul adalah rasa tulus dan senang karena bisa membantu meringankan kesulitannya.
Aku menemaninya berjam-jam dan aku tetap berada disampingnya tanpa meninggalkan sedikitpun. Sesekali aku duduk dan berdiri dengan tangan tetap memegang erat tangannya, atau bahkan berdiri terpaku, diam hanya memandang wajahnya saat Mohammad memejamkan mata. Aku sungguh ingin menemani dia dalam sakitnya, apalagi istrinya berpesan padaku kalau dia merasa tenang dan senang ditemani olehku, “iki pak, mas tri wis teka”. Aku merasa senang dan bahagia bisa menemaninya. Dalam pikirku, aku merasakan kedekatan dengannya. Aku merasakan yang dia rasakan. Bagaimana dalam sakitnya, ia membutuhkan seseorang yang berada disampingnya dan mendukungnya. Inilah yang menguatkanku bertahan menemani dan menghiburnya. Mohammad menjadi pribadi yang hadir dan menggerakkanku untuk terlibat merasakan sakitnya. Melalui penghiburan-perhatian kecil, aku merasa bisa menjadi sahabat baginya. Sebagaimana dia pun merasakan nyaman dengan kehadiranku berada di sampingnya. Inilah yang menggerakkanku untuk terlibat dalam pergulatan sakit Mohammad. Bahwa ia manusia yang ingin diperhatikan, ditemani, didukung oleh yang lain, dan aku melakukan itu sebagai pribadi yang memperhatikan dan menemaninya.
Pengalaman bersahabat dengan orang sakit memunculkan perasaan dan suatu penyikapan akan apa yang harus aku lakukan. Tentu pertama-tama bukan sekedar mau menghibur, apalagi menasehati, tetapi sungguh ingin menemani, berjalan bersama dia yang sedang sakit, dan keluarganya. Mohammad membutuhkan perhatian sebagai pribadi yang utuh, dan melalui perhatian serta perlakuan manusiawi itulah ia merasa nyaman dengan hidupnya yang sedang sakit. Aku kira Mohammad tidak sekedar butuh diberi obat atau makanan saja, tetapi butuh disapa, ditemani dalam sakit yang ia derita. Melalui pengalaman tersebut, aku ingin meringkaskan pengalaman bersahabat dengan orang sakit dengan “Keterlibatan hati untuk mau hadir, menemani, dan merasakan apa yang dirasakan orang sakit merupakan perwujudan iman akan Allah yang menyelamatkan dalam Yesus Kristus”

B. Tesis :
Pengalaman live-in di rumah sakit Panti Rapih selama kurang lebih 9 hari menjadi sahabat orang sakit dan keluarganya, memberi kesan mendalam bagiku. Kesan itu tergoreskan melalui pengalaman eksistensial dimana aku sungguh mengalami perjumpaan bahkan keterlibatan langsung dengan mereka, orang sakit dan keluarganya. Keterlibatan yang mewujudkan imanku secara personal kepada Allah. Keterlibatan yang menghormati, menghargai mereka sebagai pribadi yang utuh, nguwongke, sebab mereka adalah manusia yang bermartabat, gambar dan citra Allah yang merupakan anak Allah sendiri. (Martabat hidup manusia datang dari Allah, dan akan kembali kepda Allah (Evangelium Vitae, 11)
Keterlibatan personal menjadi sahabat orang sakit mengajakku bertanya, Apa yang mendorongku melakukan itu? Pertanyaan ini mengantarku untuk berefleksi bahwa kehadiran dan penyerahan diri yang penuh cinta adalah jawabnya. Tentu saja terinsipirasi dari Yesus sendiri yang menampilkan kehadiran dan penyerahan diri-Nya yang penuh cinta dalam mengasihi orang lain (Mat 8:1-4, 9:1-10; Yesus yang hadir menyembuhkan lumpuh, sakit kusta). Bentuk kehadiran yang melibatkan diri dengan menyerahkan diri penuh cinta inilah yang menggerakanku terlibat dengan mereka.
Untuk itu aku rumuskan dalam sebuah tesis :

“Melalui kehadiran dan penyerahan diri yang penuh cinta menjadi sabahat orang sakit, aku dipanggil untuk terlibat dalam usaha meneruskan karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus yang bersolider dengan manusia”

Tesis ini menguraikan dinamika iman yang mewujud dalam tindakan praktis sehingga iman menjadi kongkret. Kehadiran dan penyerahan diri yang penuh cinta menjadi sahabat orang sakit merupakan bentuk keterlibatan hati yang nyata, sekaligus wujud ambil bagian dalam penderitaan Yesus Kristus yang disalib (Bdk. Kis 5:41,“Para rasul bergembira karena mereka telah dianggap layak menderita oleh karena nama Yesus Kristus”) sebagai penerusan akan karya keselamatan Allah yang berlangsung dalam Yesus Kristus yang bersolider dengan manusia. Konsili Vatikan II mengartikan ini sebagai wahyu, yakni pemberian diri Allah dan misteri kehendak-Nya kepada manusia (Ef 1: 9 “Sebab Ia telah mnyatakan rahasia kehendaknya kepada kita, sesuai dengan rencana keselaanNya yaitu kerelaan yang dari semula ditetapkannay dalam Kristus; DV 2) yang berpuncak pada Yesus Kristus (DV 4). Dengan kata lain, Allah menyapaku melalui pemberian diri Allah yang berpuncak dalam Yesus Kristus (DV 2), dan aku menyatakan “ketaatan iman” kepada Allah (DV 5). Inilah relasi wahyu dan iman, dimana Allah menyapaku dan aku menanggapi tawaran Allah yang telah melibatkan hidup-Nya dalam kehidupan manusia secara bebas dan merdeka. Maka tesis ini dimaksudkan bahwa Allahlah yang pertama-tama berinisiatif dan aku tergerak untuk menanggapinya dengan bebas dan terwujud dalam tindakan moral yakni kehadiran dan penyerahan diri yang penuh cinta menjadi sahabat orang sakit.

Karya Keselamatan Allah dalam Yesus Kristus yang bersolider dengan manusia
Keselamatan yang dikerjakan Allah dalam Yesus Kristus, merupakan suatu keterlibatan dinamis kedua pihak, yakni bahwa hidup dan usaha manusia tidak mungkin dipisahkan dari kehendak dan usaha Allah (rahmat). Allah telah terlibat dalam sejarah dan telah memanggil manusia supaya ikut berjerih-payah bagi keselamatan semua orang (DV 2), maka dengan kepercayaan dasar dan usaha, orang memberikan jawaban pada Allah (DV 5). Allah telah berulang kali dan dengan berbagai cara berbicara dengan nenek moyang kita dengan perantaraan para nabi, pada zaman akhir ini berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya (Ibr 1:1, “setelah pada zaman dahulu Allah ebrulang kali dan dalam perbagai cara berbicara kepada nenk morayng kita dengan perantaraan para nabinya”). Dalam Kristus, Allah telah melibatkan diri dengan hidup dan sejarah manusia, “sebab Ia mengutus Putera-Nya, yakni Sabda kekal, supaya tinggal di tengah umat manusia (Yoh 1:1-8), dan menyelesaikan karya penyelamatan (Yoh 5:36 “segala pekerjaan yng diserahkan Bapa kepadaku, paya aku melaksanakan pekerjaaan itu, itulah yang memberi kesaksian bahwa Bapalah yang megnutus Aku, 17:4, “Aku mempermuliakan Engkau dengan jalan menyelesaikan pekerjaan di bumi”) (DV 4).
Peran Yesus sebagai pengantara dan jaminan perjanjian baru dilaksanakan dalam solidaritas dan penebusannya. Antara Yesus dan manusia terjalinlah solidaritas. Yesus menjadi senasib dengan manusia berdosa dan malang, dan manusia dapat menjadi senasib dengan Yesus Kristus oleh Allah diselamatkan dan selanjutnya dapat ikut serta menikmati keselamatan itu. Rencana dan maksud Allah itu tertuju kepada keselamatan manusia berdosa, “Allah mengutus Anak-Nya” Yesus Kristus (Yoh 3:17”Yesus datang ke dunia bukan u menghakimi, tp meyelamatkan dalam nama Dia”; 17:18, “Engkau utus Aku, Aku utus mereka”; 1 Yoh 4:9.10, Gal 4:4, Rm 8:3,”mengutus anaknya sendiri dalam daging”). Apa yang dialami dan dibuat Yesus terjadi menurut “kehendak Allah” (Kis 2:23, “Dia yang telah diserahkan Allah mnrt mksud dan rencnya, tlah km salibkan..dst”; 4:28; Gal 1:4, “Yang telah serahkan diriNya karena dosa2kita, tuk lepaskan kita dari ygjaht, mnr kehenk Bapa”; Luk 24:26), bahkan adalah karya Allah (Yoh 4:34; 5:36; 10:37; 14:10). Yesus pun dengan rela dan taat melaksanakan “rencana dan kehendak Allah” itu (Flp 2:8, “Allah adalah saksiku..ds”t; Yoh 4:34, “Makanaku ialah melakukan kehendak Bapa, selesikannya pula”; 5:30; Rm 5:19, Ibr 5:8, Mat 16:21; Yoh 3:14). Oleh karena itu solidaritas timbal balik atara Yesus dan manusia sesuai dengan “rencana kehendak Allah”. Solidaritas itu hadir bagi Kristus dengan menerima kemanusiaan sepenuhnya, senasib dengan manusia (Flp 2:1-11,”merendahkan diri seperti Kristus”). Allah menjadi senasib dengan manusia, Allah membiarkan diri dibatasi oleh situasi konkret manusia, jerih payah hidup, penderitaan dll. Jurgen Moltmann membahasakan keterlibatan Allah dalam hidup manusia itu dengan bentuk Allah yang peduli (Allah yang pathos). Para nabi merefleksikan bahwa Allah adalah Allah yang peduli, (dalam konteks Israel) Allah yang peduli (pathos) terhadap bangsa Israel (situation of God). Melalui pathos, Allah memperhatikan dan masuk secara mendalam ke dalam situasi umat yang Ia pilih. Dengan demikian, pengalaman, tindakan dan penderitaan umat-Nya mempengaruhi Allah. Kasih Allah itu bukan melulu batiniah semata, tetapi terwujud dalam tindakan konkret dalam keterlibatan-Nya dengan penderitaan umat-Nya.
Untuk itu, dalam pandangan teologi moral, segala usaha hanya berarti bila dikerjakan di dalam Kristus. Orang mengikat diri pada Kristus dan pada saat yang sama mengharapkan keselamatan dari Allah lewat Kristus. Yesus senasib dengan manusia-setiakawan dengan kemalangan mausia (Ibr 2:17, “ia dismkan dengan sudara-saudranya”), bahkan sampai harus menderita dan wafat (Rm 6:23, “hidup yang kekal dlam Allah”), inilah Solidaritas negatif. Yesus mau senasib dengan manusia yang dikungkung oleh dosa, meskipun Ia tidak melakukan dosa (2 Kor 5:21, “dia dosa karena kita”). Selain itu, manusia yang berdosa turut serta diselamatkan oleh Yesus Kristus yang selamat.Yesus yang diselamatkan, disempurnakan, dibangkitkan oleh Allah menjadi pokok keselamatan abadi (Ibr 5:9, “sesudah ia mecapai kesempurnaan, ia jdi pokok keselamtan bagi semua orang”) bagi semua manusia, solidaritas positif.

Kehadiran dan Penyerahan diri yang penuh cinta menjadi sahabat orang sakit
Solidaritas Allah dengan manusia merupakan suatu tanda Allah yang menyapa manusia dengan mau terlibat di dalam penderitaan manusia. Dalam pengalaman live-in itu, akupun menanggapi sapaan Allah yang mau menyelamatkan itu dalam bentuk kehadiran dan penyerahan diri yang penuh cinta kepada mereka yang sakit. Perjumpaan dengan mereka yang sakit memanggilku untuk terlibat, sehati seperasaan dengan penderitaan mereka. Ini merupakan tanggapanku atas tawaran Allah yang sungguh telah melibatkan hidup-Nya dalam kehidupan manusia secara bebas dan merdeka. Tindakanku yang hadir dan menyerahkan diri dengan semangat cinta merupakan perwujudan imanku akan Allah yang sungguh mau terlibat dengan manusia.
Karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus yng bersolider dengan manusia memanggilku untuk mau terlibat pula dalam hidup relasiku dengan sesama. Seperti Yesus sendiri yang selalu tampil dalam hidup dan karya-Nya untuk mengasihi sesama, memperjuangkan kehidupan (Yesus memberitakan kabar baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebasan kepada tawanan, penglihatan bagi orang buta dst, bdk Luk 4:18-19). Yesus sungguh tampil untuk memperjuangkan kehidupan. Demikian pula aku melalui keterlibatan secara konkret, aku melibatkan diri dalam karya keselamatan. Dalam pengalaman live-in yang lalu, kehadiran dan penyerahan diri yang penuh cinta menjadi wujud iman yang lahir secara konkret dalam tindakan moral.
Dengan melibatkan diri dalam karya keselamatan Allah di dunia, yang telah terjadi melalui Yesus Kristus, aku pun dipanggil untuk meneruskan misi Yesus yang memperjuangkan kehidupan.

C. Visi, Misi, dan Strategi Pastoral
a. Visi

Rumah Sakit Katolik ikut ambil bagian dalam mewujudkan Kasih Allah terhadap manusia di dunia melalui pelayanannya yang holistik bagi semua orang

b. Misi
1. Menjadi sahabat bagi pasien dan keluarganya dengan didasari cintakasih
2. Memberikan pelayanan yang holistik dengan semangat Kasih bagi semua orang, terutama pasien dan keluarganya
3. Membangun semangat solidaritas umat beriman terutama bagi mereka yang sedang sakit

c. Stategi Pastoral
1. Bidang Rohani dan Kepribadian
1. Menjadi sahabat yang mau terlibat dengan penuh totalitas dalam menghadapi dengan pergulatan pasien dan keluarganya
2. Memberikan pelayanan spiritual bagi pasien dan keluarga yang membutuhkan sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka masing-masing (jejaring dengan tokoh agama lain misalnya imam, kyai dll).
3. Membantu dalam memberikan pelayanan sakramen-sakramen bagi pasien.
4. Memotivasi pasien dan keluarga untuk memperjuangkan kesembuhan

2. Bidang Sosial Ekonomi
1. Memberikan pelayanan yang berkualitas bagi semua pasien
2. Membentuk jaringan kerjasama dengan pihak-pihak tertentu untuk menyediakan dana sosial bagi para pasien tidak mampu

3. Bidang Institusi Rumah Sakit
1. Mengoptimalkan karya pelayanan pastoral care atau unit pastoral sosio-medis dengan melibatkan banyak pihak demi pelayanan yang holistik
2. Membangun kerjasama berbagai pihak (networking) demi peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit.

Daftar Pustaka
· Bernhard Kieser, SJ, Wahyu Ilahi Ditemukan Dalam Penerusan Manusiawi, manuscript, Yogyakarta, 2006
· CB. Kusmaryanto, Etika Medis, manuscript, Yogyakarta, 2009
· Dokumen Konsili Vatikan II
· Groenen, OFM, Soteriologi Alkitabiah, Yogyakarta : Kanisius, 1994
· Jurgen Moltmann, The Crucified God, dalam http://theologytoday.ptsem.edu/apr1974/v31-1-article.htm.





Tri Kusuma, Albertus


Saat Kesepian Datang

Biarlah rasa ini tersimpan rapat dalam sebotol sunyi
menyisakan denting dalam hati lalu sepi.....
yang kemudian hilang bersama terang yang perlahan datang,
yang menawarkan senyum untuk dicecap atau disimpan dalam-dalam
sebagai cadangan saat kesepian itu kembali datang

Selasa, 20 April 2010

Tesis Teologi Sosial

TESIS:
“Bertolak dari Ketidakadilan dalam Dunia Kerja Buruh, Orang Kristiani Dipanggil untuk Terlibat dalam Usaha Memulihkan Keutuhan Martabat Manusia”

Pengantar
Tidak dapat dipungkiri bahwa kerja adalah aspek penting dalam kehidupan. Dengan bekerja dan mendapat upahlah manusia mampu melangsungkan hidupnya, mencukupi semua kebutuhannya. Tapi tidak jarang ditemukan adanya ketidakadilan dalam dunia kerja: PHK semena-mena, THR yang urung diberikan, jaminan kerja yang tidak ada, upah yang rendah, situasi kerja yang tidak manusiawi, jam kerja yang berlebihan, dan seribu satu persoalan lainnya. Berbagai bentuk ketidakadilan itu merendahkan keluhuran martabat manusia dan menantang Gereja untuk tidak tinggal diam.

Ketidakadilan dalam Dunia Kerja Buruh
Selama sepuluh hari live-in di PT. Air Mancur Unit Pelem – Wonogiri, kami berjumpa dengan berbagai bentuk realitas kerja. Di satu sisi, kerja para buruh menampakkan cinta mereka terhadap keluarga dan kelangsungan hidupnya. Di sisi lain, kami berjumpa dengan ketidakadilan dalam dunia kerja buruh. Kebijakan dan aturan perusahaan dibuat oleh perusahaan dengan persetujuan Serikat Pekerja Farkes (SPF) yang pengurusnya dipilih oleh perusahaan. Perusahaan mulai menggunakan buruh kontrak (outsourcing) yang tidak mempunyai perlindungan kerja yang layak . Perusahaan sering menambah jam kerja (lembur) dengan proporsi upah yang tidak sebanding . Gaji buruh yang sedikit di atas UMR tidak mampu memenuhi kesejahteraan buruh; kenaikan gaji tidak sebanding dengan kenaikan inflasi dan harga kebutuhan sehari-hari. Mereka yang mengabdi puluhan tahun mendapat gaji yang kurang dari satu juta. Perusahaan memperlakukan buruh lebih sebagai sarana mengejar target jumlah produk daripada sebagai tujuan mencapai kesejahteraan.
Berbagai ketidakadilan itu berlangsung lama, tidak begitu saja disadari, terstruktur dan dilestarikan dengan berbagai aturan yang memihak perusahaan. Ketidakadilan strutural seperti ini menempatkan orang pada situasi kemiskinan dimana orang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup pokoknya, tidak mempunyai bargaining power, dan tidak otonom untuk menetukan arah dan tujuan hidupnya.

Makna Kerja Manusia
Kerja merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Dalam pandangan Gereja Katolik, kerja bukanlah sekedar cara untuk melangsungkan hidup melainkan rahmat dari Allah . Gereja mendasarkan pandangannya pada kisah penciptaan dimana Allah menciptakan manusia seturut gambar-Nya sendiri dan memberi mereka perintah untuk menaklukkan bumi beserta segala isinya (lih. Kej. 1:28; LE 4). Semuanya itu terwujud dalam dan melalui tindakan kerja (GS 33-34; LE 4, 9) . Melalui kerja manusia mewujudkan dan menyempurnakan martabat dirinya sebagai citra Allah, sebab di sana ia mencerminkan kegiatan Sang Pencipta sendiri (LE 4) dan menjadi partner kerja Allah (LE. 25). Maka, dimensi subjektif kerja (manusia) haruslah lebih diperhatikan dari pada dimensi objektif kerja (teknologi). Kerja adalah pertama-tama demi manusia dan bukan manusia untuk kerja (LE 6)
Selain bersifat pribadi, kerja juga memiliki sifat sosial (QA 69). Orang bekerja dengan sesama dan untuk sesama. Kerja akan menjadi semakin subur dan produktif ketika manusia semakin menyelami potensi produktif sumber daya alam serta semakin memperdalam pemahaman akan kebutuhan sesama, yang memperoleh manfaat dari kerjanya itu (CA 31).
Namun, dalam realitasnya, kerja tidak selalu dimaknai sebagai karya penciptaan (co-creator). Kerja dipandang sekadar job yang berorientasi pada upah, efisiensi dan produktivitas. Para buruh menjadi sarana untuk menghasilkan produk yang sebanyak-banyaknya secara efektif dan efisien. Dengan demikian, berbagai bentuk exploitasi buruh sulit dihindari. Hal ini jelas melukai keluhuran dan keutuhan martabat manusia sebagai partner kerja Allah.

Martabat Manusia
Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah. “Manusia diberi martabat yang sangat luhur, berdasarkan ikatan mesra yang mempersatukannya dengan Sang Pencipta: dalam diri manusia terpancarlah gambar Allah sendiri” (EV 34). Martabat manusia ini bukan hanya dikaitkan dengan asal-usulnya yang berasal dari Allah, tetapi juga dengan tujuan akhir hidupnya, yakni persatuan dengan Allah dalam pengetahuan dan kasih denganNya (EV 38). Martabat manusia itu dijunjung lebih tinggi lagi dengan inkarnasi dan penebusan Kristus. Dengan penebusan Kristus, manusia diangkat menjadi anak-anak Allah (Gal 3:26) .
Martabat manusia itu bersifat intrinsik. Ia hadir bersama existensinya, dan tidak berhubungan sama sekali dengan karya atau prestasi seseorang. Manusia bermartabat karena ia manusia. Karena martabatnya yang sama, manusia tidak pernah boleh ‘digunakan’ sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan . Sebaliknya, tiap orang wajib berbuat baik kepada orang lain; berusaha mempromosikan kesejahteraan; menaruh hormat pada hak-hak manusia; menghindari pencederaan, dan ‘berusaha sejauh mungkin mewujudkan tujuan sesama’. Manusia adalah pelaku rasional, yaitu pelaku-pelaku bebas yang mampu mengambil keputusan untuk mereka sendiri, menempatkan tujuan-tujuan mereka sendiri, dan menuntun perilaku mereka dengan akal budi (Bdk. LE.6).
Martabat manusia erat hubungannya dengan hak asasi manusia. Menjunjung tinggi martabat manusia berarti menghormati hak asasi manusia. Begitupun sebaliknya, pelanggaran terhadap hak asasi manusia akan melukai martabat manusia.

Gereja Dipanggil untuk Terlibat Memulihkan Keutuhan Martabat Manusia
Terhadap praktek ketidakadilan Gereja tidak tinggal diam. Gereja dipanggil untuk terlibat memulihkan keutuhan martabat manusia (SRS 29, 39, 41, 43, 45; CA 34). Alasannya adalah:
1. Alasan Kristologis: Yesus (historis) juga memperjuangkan kebebasan yang menyeluruh dan kepenuhan harapan bagi keselamatan manusia . Yesus berjuang untuk mewartakan keselamatan kepada mereka yang miskin dan tertindas (Mat 9:36; 14:14; 20:34; Mrk 1:41; 6:34; 8:2; Luk 4:18-19; 7:13). Gereja diajak untuk melanjutkan misi Yesus dalam memperjuangkan kebebasan dan kepenuhan harapan bagi keselamatan manusia (AG 1 § 1-2, 5, 8).
2. Alasan Eklesiologis: Panggilan itu muncul dari refleksi Gereja atas dirinya sendiri sebagai sakramen keselamatan (LG 9, 48; GS 45). Gereja adalah tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia (LG 1). Sejak semula, Allah berencana untuk menyelamatkan semua manusia (LG 2). Gereja menjadi wujud nyata tanggapan manusia atas karya keselamatan Allah itu (LG 13). Gereja tidak menikmati keselamatan itu bagi dirinya sendiri, tetapi berbagi dan mengusahakan keselamatan itu bagi semua orang di dunia ini (LG 17).
Realitas ketidakadilan tidak hanya dialami oleh kelompok agama, suku, dan ras tertentu tetapi mencakup semua kelompok. Usaha pemulihan harus melibatkan berbagai pihak. Untuk itu Gereja diajak untuk berdialog dan bekerjasama dengan mereka yang berkehendak baik (GS 31).

Strategi Pastoral
Terhadap ketidakadilan yang kami jumpai dalam PT Air Mancur, kami mengusulkan strategi pastoral untuk menyadarkan dan menguasakan para buruh, yaitu pembentukan komunitas basis. Konkretnya para buruh dibagi dalam kelompok-kelompok kecil 8-10 orang. Pintu masuk kegiatan ini dengan menggunakan waktu arisan yang dilakukan sebulan sekali. Pertemuan tersebut diusahakan secara bertahap memberi kesadaran kepada para buruh bahwa mereka berada pada situasi ketidakadilan. Untuk itu diperlukan program kunjungan terhadap para buruh, sapaan personal, “ruang” untuk mengungkapkan diri, dan dialog untuk melihat realitas ketidakadilan dan menumbuhkan kehendak untuk keluar dari realitas itu. Melalui komunitas basis, mereka mempunyai “kuasa” untuk menyuarakan kepentingan mereka tanpa melalui jalan kekerasan, kebencian, usaha revolusioner yang menciptakan rezim baru yang lebih tidak adil, dan penghancuran kelompok yang lain.
Selain itu, beberapa pihak yang perlu diajak bekerjasama yaitu pengusaha, masyarakat umum, dan pemerintah. Berbagai jalan bisa ditempuh misalnya sarasehan, public control terhadap kebijakan, seruan-seruan melalui media massa, pembentukan divisi atau lembaga yang memperhatikan kehidupan buruh.
Perlu diusahakan juga pembentukan jaringan (serikat) yang lebih luas antar-buruh di berbagai perusahaan sekitar kota Wonogiri-Solo. Jaringan ini bertujuan demi terciptanya kesatuan yang kuat di kalangan kaum buruh dan mengkuasakan. Kerja sama dengan pengusaha perlu ditingkatkan untuk memperjuangkan keadilan dan keseimbangan yang benar, walaupun perbedaan kepentingan akan terjadi dan golongan yang berkuasa sulit membongkar struktur ketidakadilan yang menguntungkan mereka. Kerja sama dengan tokoh-tokoh umat beriman lain (mayoritas buruh di PT Air Mancur Unit Pelem Wonogiri adalah orang Muslim) juga harus diusahakan. Dengan demikian, harapannya semua kalangan yang peduli dan berkehendak baik mendukung usaha kaum buruh menuju kehidupan yang lebih baik sebagai wujud keutuhan martabat manusia.

Kesimpulan
Dunia kerja buruh tidaklah baik-baik saja. Ada berbagai bentuk ketidakadilan yang sering tidak disadari dan terstruktur. Ketidakadilan itu merusak keutuhan martabat manusia. Terhadap praktik ketidakadilan itu, Gereja tidak berpangku tangan. Gereja sebagai bagian dari masyarakat terpanggil untuk terlibat dalam usaha memulihkan keutuhan martabat manusia. Melalui dialog dan kerjasama dengan berbagai pihak yang berkehendak baik Gereja mengusahakan tercapainya kesejahteraan bersama.