Sabtu, 21 Februari 2009

Kristianitas yang “Katolik” dan menyejarah

Pertanyaan Mendasar:
Dalam kajian tentang pemikiran John Henry Newman ini, kami hendak mengajukan tiga buah rumusan pertanyaan yang hendak dijawab dalam tulisan ini.
1. Bagaimana Orang Kristen dapat mengenal Allah secara personal untuk kemudian mengungkapkan dan membahasakan imannya dengan tepat di tengah dunia yang terus menerus berubah?
2. Bagaimana Orang Kristen dapat bersikap terbuka terhadap perkembangan zaman sambil terus memperhatikan dan setia pada pelbagai ajaran Gereja yang sudah ada?
3. Apa yang dimaksud dengan Katolisitas dalam perkembangan sebagai wujud Gereja yang sejati?

A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang
1. KELUARGA DAN PENDIDIKAN
John Henry Newman (1801-1890) lahir di London, dalam keluarga Anglikan sebagai anak sulung dari enam bersaudara. Ayahnya bernama John Newman yang adalah pemilik bank. Ia merupakan anggota Gereja Anglikan. Beliau meninggal pada tahun 1824. Sedangkan ibunya -Jemima Fourdrinier- berasal dari keluarga Protestan-Kalvinis Perancis yang dengan getol mendidik Newman dengan ‘agama kitab suci’ (Protestan). Beliau meninggal tahun 1836.
Ketika berumur tujuh tahun, Newman disekolahkan secara privat di Ealing milik Dr. Nicholas. Newman mempunyai kegemaran membaca Kitab Suci, roman Walter Scott. Dia juga gemar membaca buku-buku karangan Paine, Hume dan bahkan Voltaire yang beraliran skeptis. Buku-buku itu rupanya memberi pengaruh bagi pemikirannya. Pada usia 15 tahun, Newman mengalami pertobatan eksistensial mendalam: kesadaran bahwa hanya ada Aku dan Penciptaku.

Kegembiraan masa kecil Newman rupanya diwarnai dengan situasi yang tidak mengenakkan. Maret 1816, bank milik ayahnya harus tutup karena adanya (dan akibat) perang yang dilakukan oleh Napoleon. Tutupnya bank tersebut membuat perekonomian keluarga menjadi kacau. Masa krisis ini menyebabkan Newman tetap tinggal di sekolah meskipun dalam masa liburan. Newman mencoba mengambil hikmahnya dengan adanya peristiwa ini. Peristiwa ini dianggap sebagai salah satu yang sudah ditakdirkan Tuhan bagi hidupnya. Perubahan pandangan Newman ini di bawah bimbingan Rev Walter Mayers yang nantinya mengarahkan Newman pada aliran Kalvinis-evangelis.

Pada tanggal 4 Desember 1816, Newman diterima di Trinity College, Oxford. Memang dari segi biaya Newman mengalami ketersendatan. Tetapi kecerdasannya melebihi teman-temannya sehingga dia mendapat beasiswa. Dan pada tahun 1823, Newman mampu menyelesaikan itu semua.

2. IMAM: DARI ANGLIKAN KE KATOLIK SAMPAI MATI
Pada tahun 1825, newman ditahbiskan menjadi imam Anglikan. Setahun berikutnya ia menjadi pengajar dan pendidik di Oxford dan pengkhotbah di gereja universitas. Khotbah dan renungan-renungannya membuat Newman menjadi terkenal di dalam gerejanya. Gambaran gereja yang diperoleh melalui studi para Bapa Gereja membuat dirinya tertekan dan sedih karena gambaran yang dia punyai berlainan dengan dengan gereja yang aktual. Tahun 1983 dia bersama rekan-rekannya melihat Gereja Katolik secara lebih detail dan mereka menilai bahwa Gereja Katolik juga jauh dari gereja sejati. Newman semakin menyadari tugasnya yang tidak mudah yaitu mengadakan pembaharuan hidup gereja sejati. Ia mendirikan gerakan pembaharuan itu dikemudian hari disebut dengan Gerakan Oxford.[1] Tahun 1839, Newman mencapai puncak kegelisahan pemikiran dalam gereja. Ia mulai meragukan asas Gereja Anglikan yang melihat gereja bapa-bapa gereja sebagai asasnya[2]. Tahun 1843 Newman meletakkan jabatannya sebagai imam dan juga berhenti sebagai dosen dan pengkhotbah.
8 Oktober 1845 Newman beralih ke Gereja Katolik. Dan pada tahun 1847, dia ditahbiskan sebagai imam katolik. Dia mencoba untuk membina iman dalam katolisitas atau universalitas sejati. Tahun 1854 Newman merintis dan mendirikan Universitas Katolik di Dublin / Irlandia. Baginya, pendidikan di universitas yang bersifat terbuka memampukan orang kristiani untuk hidup beriman dalam dunia. 1879 ia diangkat sebagai kardinal oleh Paus Leo XIII. Perjalanan panjangnya berakhir ketika ia wafat pada 11 Agustus 1890. Pada tahun 1991, ia mendapat gelar Venerable (“Yang Dimuliakan”) dari tahta suci dan kini proses beatifikasinya masih terus berlanjut.

Hidup Newman meliputi hampir seluruh abad 19.; mulai dari zaman Napoleon yang membawa Revolusi Perancis ke semua negara Eropa, lewat masa ‘romantik’ budaya dan religius, lewat puncak zaman kolonial dan lewat revolusi industri, lewat masa awal demokrasi sampai puncak kuasa negara-negara nasional, pada ambang masa Perang Dunia Pertama. Di masa yang sama, Gereja Katolik, melalui Paus Pius VII (1800-1823), mengadakan pembaharuan dengan lahirnya banyak kongregasi membiara (terutama untuk memberantas kemiskinan dan untuk karya misi di wilayah penjajahan); ada Paus Gregorius XVI (1831-1846) dan Paus Pius IX (1846-1878) yang membela tahta suci dan membentengi gereja melawan dunia yang bermusuhan; dan ada Paus Leo XIII (1878-1903) ingin membawa warta gembira dalam dunia yang tidak lagi peka terhadap kehadiran rahmat.

Salah satu paham yang mewarnai kehidupan jaman itu adalah liberalisme (iman) yang menekankan kebebasan berpikir dalam beriman yang tidak terkungkung pada ajaran otoritas tertentu. Walau pandangannya terkesan progresif, namun Newman (saat masih berada di Gereja Anglikan) melawan liberalisme iman dengan menegaskan bahwa iman kristiani mengandalkan pokok-pokok iman yang terumus dalam syahadat, dan gereja merupakan paguyuban tertata di bawah pimpinan uskup[3].

B. POKOK-POKOK PEMIKIRAN
1. Pewahyuan dan kesetujuan iman
a. Allah Hadir dalam Sejarah dan Menjadi Manusia: Ide Dasar Kristianitas
Bagi Newman, kristianitas merupakan suatu fakta sejarah dan dapat menjadi pokok penelitian dari penalaran[4]. Maksudnya Newman melihat bahwa kristianitas bermula dari peristiwa Allah yang menyejarah: menjadi manusia, hadir dalam sejarah hidup manusia dalam diri Yesus. Inilah ide awal kekristenan.

Pandangan kristianitas yang menyejarah itu tidak datang begitu saja. Newman mendasarkan pandangan itu pada pengalaman hidupnya: Pertama, pada saat ia belajar di Trinity-College di Oxford. Ia mulai tertarik terhadap “kehidupan gereja para bapa gereja serta keyakinan akan gereja sebagai paguyuban iman yang katolik, yang universal sepanjang masa”. Pemahaman ini mengarahkan dirinya dalam pergulatan hidup yang senantiasa mengalami perkembangan. Perkembangan inilah tanda sejati bagi kehidupan. Kedua, saat ia mempelajari Konsili Khalkedon, ia melihat bagaimana para teolog serta uskup dari alexandria (yang monofisit[5]) terus-menerus mengacu pada “ajaran kuno”, yakni ajaran tradisi lama. Tindakan para teolog dan uskup tersebut merupakan usaha untuk membela pendapat mereka melawan Paus Leo I serta menantang rumus Konsili Khalkedon. Sementara dalam perjalanan waktu, Gereja Katolik, Anglikan, maupun protestan mengakui isi dari Konsili Khalkedon[6].

Dari dua pengalaman itu, Newman melihat bahwa kristianitas itu menyejarah dan berkembang. Dan hal tersebut bisa dianalogikan dengan perumpamaan biji sesawi. Biji sesawi adalah biji yang paling kecil. Namun manakala ditaburkan, ia akan bertumbuh menjadi pohon besar yang dapat memberikan perlindungan bagi mahluk lain di sekitarnya. Analogi “biji sesawi’ ini sangat tepat kiranya untuk menggambarkan adanya perkembangan yang bertahap dalam Gereja. Biji sesawi yang dimaksud adalah Kehadiran Allah dalam diri Yesus. Inilah ide awal-dasariah yang senantiasa direfleksikan oleh Gereja sesuai dengan konteks zamannya. Contoh nyata dari perkembangan refleksi Gereja akan Yesus adalah Gereja para rasul, Gereja Patristik, Skolastik, Trente, Vatikan I, Vatikan II sampai pada akhir zaman.

b. Suara Hati Sebagai Sumber Kesetujuan Iman[7]
Kristianitas yang menyejarah merupakan hasil refleksi dan buah kesetujuan iman Gereja. Iman terus mengalami perkembangan dan tidak akan pernah mandeg untuk digali. Newman melihat bahwa manusia mampu berefleksi tentang Allah karena Allah menganugerahkan daya imajinasi religious kepada diri manusia.
“Allah sebagai kenyataan yang hidup kita kenal dengan daya imajinasi religious, dan diyakini sebagai kebenaran melalui penalaran teologis. Bukan seakan-akan ada pemisahan tegas antara dua cara kesetujuan itu, antara yang teologis dan yang religius. Semua orang punya penalaran dan semua punya imajinasi; demikian pula semua orang-dalam arti tertentu- berteologi. Dan teologi hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan daya awal dan daya dorong dari religiositas yang hidup”[8]

Sedangkan refleksi manusia akan Allah itu tidaklah sempurna karena keterbatasan manusia dalam membahasakan imannya. Oleh karena itu, Newman berpendapat bahwa refleksi iman yang telah terbahasakan tersebut dapat selalu direfleksikan lagi sesuai dengan konteks zamannya.
“Semua manusia berakal budi dan mengerti, namun tidak semua orang merefleksikan pengertian mereka, apalagi dapat berefleksi tepat dan cermat, sehingga mereka dapat menjelaskan pendapat mereka. Dengan kata lain, semua manusia punya alasan namun tidak semua orang dapat menjelaskan pengertian mereka dengan alasan ……..”[9]

Dalam refleksi iman ini, Newman membedakannya adanya 2 kategori kesetujuan untuk membentuk iman yang berkembang, yaitu :
1. Real Assent (kesetujuan real): merupakan kesadaran pada pusat pribadi manusia yang menangkap hidup dalam sejarah dan juga menangkap Dia sebagai Tuhan kita. Kesadaran ini ada dalam diri manusia yang berasal dari suara hati saat menangkap suatu realitas, sehingga mengantar pada suatu kesetujuan pribadi. Fokus perhatiannya pada iman yang hidup. Iman bukanlah suatu sikap yang tidak bisa berubah, iman lebih dari sekedar ajaran tertentu, tetapi iman merupakan kesetujuan dari suara hati yang hidup dalam hati setiap manusia dan mengarahkan diri kepada Allah.
2. Notional Assent adalah kesetujuan iman yang diterima secara kritis. Iman tidak sekedar kesetujuan tanpa nalar, tetapi diterima dengan konsep logika yang benar. “Tanpa pengalaman, iman tidak kredibel, tanpa usaha nalar, iman tidak konsisten”[10]. Iman lahir dari kejujuran setiap pribadi yang ingin beriman.

Dapat dikatakan bahwa Notional assent merupakan pemahaman kritis akan iman dalam pemikiran teologi, ajaran/dogma dll, sementara real assent adalah kesetujuan iman berdasarkan pengalaman hidup yang direfleksikan. Dasar refleksi itu adalah suara hati yang mengarahkan manusia kepada Allah[11]. Pengalaman hidup yang diterima oleh panca indra dan diolah akal budi. Pengalaman itu kemudian dituliskan dalam gagasan teologi yang bersifat terbatas. Hal itu dikarenakan iman selalu bisa berkembang dan selalu bisa didialogkan dengan pengalaman seseorang.

Dinamika untuk melihat peran suara hati dalam kaitannya dengan real assent dan notional assent dapat digambarkan sebagai berikut : ide awal mengenai Yesus direfleksikan oleh Gereja yang dikontraskan dengan pengalaman pribadi. Dari sini suara hati mulai berbicara apakah refleksi mengenai Yesus, yang telah dibahasakan dalam doktrin oleh Gereja, sambung atau tidak dengan pengalaman hidup. Jika doktrin Gereja tersebut tidak sambung dengan pengalaman hidup, akhirnya suara hati turut berperan untuk merefleksikan kembali doktrin tersebut. Contoh sederhana untuk menggambarkan peran suara hati dalam mengambil keputusan konkret adalah ketajaman hati dan pemahaman yang menyeluruh ketika menghadapi gencarnya tuntutan legalisasi aborsi di jaman ini.

Pembahasan tentang suara hati dalam kerangka kesetujuan iman mengungkapkan asumsi antropologis Newman tentang manusia: pribadi yang merdeka dan otonom terhadap segala macam ketentuan dari luar. Dengan suara hati[12], manusia menyatakan kesetujuan iman. Dalam kesungguhan suara hati, manusia berjumpa dengan Allah sendiri. Dalam nuansa moral, Newman melihat suara hati sebagai pengarah dan pengatur tindakan manusia, yang menunjukkan eksistensinya dalam partikularitas. Artinya: menyajikan apa yang harus diperbuat, mana yang benar atau salah, dalam situasi konkret. Partikularitas inilah yang mendasari argumennya bahwa suara hati tidak dapat terlibat dalam pertentangan dengan ajaran Gereja (khususnya infalibilitas)[13], karena keduanya memiliki wilayah cakupan yang berbeda. Bagi Newman, suara hati juga bersifat imperatif: ada di dalam setiap pribadi dan menjadi pengarah yang bersifat memaksa[14].

c. Pendidikan Suara Hati
Suara hati yang berperan dalam merefleksikan iman Gereja secara jujur membutuhkan sarana. Sarana tersebut adalah pendidikan. Di sini Newman melihat bahwa pendidikan amat penting untuk terbentuknya suara hati yang jujur. Dengan pendidikan, suara hati diajar untuk mengenal nilai-nilai moral, baik dan buruk, sehingga suara hati semakin murni dalam melihat, menilai dan mengambil keputusan. Suara hati juga diasah untuk berkembang, khususnya ketika berhadapan dengan dunia yang juga berkembang. Jadi, suara hati tidak hanya terbelenggu pada fanatisme, tetapi mau melihat pelbagai ajaran yang ada (baca:doktrin) tersebut secara jujur.

2. Iman dan Pembahasaannya yang Berkembang
Kristianitas adalah agama yang menyejarah. Dan sejarah itu tidak hanya bermakna sebagai kemunculannya di masa lampau namun juga perkembangannya ke masa depan. Sifat menyejarah itu mencakup pula perkembangan iman dan doktrin: untuk dapat membahasakan dan mengungkapkan iman yang hidup secara terus menerus. Pengungkapan iman juga didorong oleh situasi zaman yang terus berubah. Maka pembahasaan iman juga merupakan respon terhadap tuntutan zaman. Dengannya terungkap iman yang senantiasa teraktualisasi untuk hidup di sini dan saat ini (hic et nunc).

Dalam kaitan dengan budi manusia, Newman mengungkapkan alasan terjadinya perkembangan iman yaitu budi manusia yang menangkap, mengolah, dan mengembangkan ide (obyek tentang kristianitas) yang ia terima[15]. Dan karena hakekat kristianitas adalah Allah yang terlibat dalam sejarah, maka perkembangan adalah suatu hal yang normal dan (bahkan) dibutuhkan demi pencapaian ide yang utuh tentang Kristianitas. Hal ini tidak pertama-tama dimengerti sebagai hasil diskusi yang panjang, melainkan lahir dari proses kehidupan dalam Gereja[16].
Studinya mengenai sejarah dan pemikiran Bapa-bapa Gereja membuatnya semakin yakin bahwa selain ide perkembangan, kriteria kebenaran iman juga ditentukan oleh Katolisitas. Kata ini mengisyaratkan tema keterbukaan dan universalitas, artinya terbuka terhadap perkembangan dan merangkum perjalanan umat Allah sebagai satu kesatuan yang memberi bentuk bagi doktrin dan hidup gereja, tidak hanya ditentukan oleh hirarki. Maka bagi Newman, “katolisitas dalam perkembangan” adalah wujud Gereja sejati.

Newman menjadi Katolik (1845) ketika sedang bergumul dalam pembuatan buku Essay on the Development of Christian Doctrine, dan pergumulan itu pulalah yang akhirnya mengantar dia untuk bergabung dengan Katolik Roma. Konversinya ini tidak dilihatnya sebagai perubahan, melainkan perkembangan Penelitiannya terhadap sejarah Kristen memaksanya untuk mengakui bahwa semua hal berkembang dan berubah dalam waktu, termasuk Gereja. Baik institusi maupun ide kekristenan telah berkembang. Dan ia melihat bahwa secara bertahap, Gereja Katolik Roma telah mengalami perkembangan tersebut selama berabad-abad, menjadi sebuah entitas yang berbeda dengan Gereja patristik. Namun garis perkembangan itu tetap bersifat kontinyu[17].

a. Tujuh Kriteria: perkembangan atau kemerosotan
Dalam Essay on the Development of Christian Doctrine, Newman melihat bahwa perkembangan doktrin kristinanitas dalam sejarah bukanlah tanpa batasan, di mana setiap perubahan-gerakan dapat dipandang sebagai perkembangan. Newman membedakan antara perkembangan dengan kemerosotan. Dan untuk melihatnya sebagai perkembangan, ada tujuh kriteria yang menjadi batasan untuk melihat suatu perubahan sebagai perkembangan.
1. Setia pada ide awali
2. Nampaklah kontinuitas dalam asas-asas
3. Mampu mengasimilasi ide-ide dari luar
4. Ajaran ini di kemudian hari dikenal kembali dalam ajaran kuno
5. Penelitian membuktikan kesinambungan
6. Ajaran kuno dipelihara utuh dalam doktrin di kemudian hari.
7. Hidup iman penuh gairah berlangsung terus
Ketujuh kriteria ini memegang peranan penting dalam ide “perkembangan”, bahwa ada inti yang terus menerus menetap ada dalam gerakan tersebut, namun ada juga yang senantiasa bergerak atau dengan kata lain berkembang. Maka tidak boleh ada kemandegan dalam doktrin iman. Metafor yang dapat digunakan dalam menggambarkan perjalanan doktrin kekristenan adalah bola salju. Di dalam bola salju ada inti terdalam yang terus menerus ada dan menetap. Namun bola salju itu terus bergerak dari waktu ke waktu, maka ada yang senantiasa yang berkembang

b. Konsekuensi dari Gerak Perkembangan Iman dan Doktrin
Pertanyaan yang layak ditujukan dalam mencermati teori tentang perkembangan ini adalah Jika kristianitas adalah satu dan berpijak pada peristiwa Allah yang menyejarah, maka dari mana asalnya pelbagai macam perbedaan dalam pengungkapan dan pembahasaan iman? Sejarah gereja telah mencatat lembaran-lembaran “hitam” disintegrasi dalam Gereja, tidak hanya dalam aneka disiplin namun juga pada teologi dan pengungkapan imannya. Apakah ini konsekuensi logis dari gerak perkembangan iman ini?
Dari perspektif Newman, ketujuh kriteria yang dibuatnya menjadi patokan untuk melihat hal tersebut. Namun fakta bahwa ada disput dan perpecahan dalam Gereja yang menyejarah, tidak adil bila rasanya istilah “kemerosotan” diarahkan pada mereka. Secara lebih positif mungkin dapat dikatakan bahwa pembahasaan iman yang berbeda timbul dari suatu doktrin yang diekstrimkan. Bila suatu doktrin menjadi ekstrim, mutlak; maka hal yang berkebalikan akan juga muncul dan berupaya menyeimbangkannya.

Hakekat waktu menjadi sangat vital, karena kebenaran iman yang sejati tertuang dalam perkembangan, konkretnya dalam sejarah. Maka setiap gerak perkembangan kekristenan harus dilihat dalam konteks waktu. Terlihat bahwa Newman yakin: kebenaran ternyata dalam (lanjutan) waktu: Praevalebit Veritas[18]

C. Relevansi dan Sumbangan Pemikiran Newman[19]
Newman menekankan pentingnya melihat sejarah dalam konteks pembahasaan iman yang terus berkembang. Kata “sejarah” mengandaikan adanya pangkal, proses, dan tujuan. Demikian juga kristianitas. Pangkalnya adalah penyataan diri Allah dalam Yesus Kristus. Proses perkembangannya dapat terlihat dari potret sejarah Gereja. Sedangkan tujuannya adalah mencapai kebenaran, berjumpa dengan Allah sendiri. Maka tidak ada harga mati dalam suatu doktrin. Demikian juga ajaran Gereja bukanlah kata akhir. Namun kebenaran iman ditangkap dalam sikap bersejarah, yaitu dalam keterbukaan pada masa depan, di mana waktu menjadi penguji sah doktrin iman.

Metode teologi Newman, yang senantiasa berpijak dari sejarah, membuatnya layak disebut teolog historis. Keyakinan iman yang dipegang adalah Allah (senantiasa) bertindak, bersama dan dengan umat Allah, dalam sejarah umat manusia (GS 40). Iman itu pun berkembang kalau umat menyeluruh (baca:katolik) terbuka dalam melibatkan diri untuk perjuangan hidup manusia. Newman mengatakan pula bahwa “tanah air” kekristenan adalah dunia. Eksistensi obyektif kristianitas adalah terjun dalam pergulatan umat manusia[20].

Selain itu, Newman memberi tempat bagi peran masing-masing pribadi dalam menghayati dan membahasakan iman, yaitu kesungguhan suara hati. Otonomi dan kebebasan manusia Kristen diungkapkan dengan kesetujuan real untuk beriman (DV 5) pada tindakan Allah dalam sejarah, khususnya dalam diri Yesus Kristus (DV 4). Newman membantu orang untuk menjadi semakin beriman, mengiyakan Allah dalam hidupnya secara eksistensial. Iman bukan hanya ketaatan buta pada sejumlah ajaran, tapi harus berpijak pada pengalaman dan diuji secara nalar[21].
Tema kesetujuan iman masing-masing pribadi dalam menghayati hidup dan menangkap Allah, memberi kredit tersendiri bagi peran kaum awam dalam membentuk dan mengembangkan doktrin kekristenan. Dalam salah satu karangannya[22], ia mengingatkan bahwa katolisitas dari iman Kristiani yang utuh itu dipercayakan pada seluruh Gereja dan diungkapkan oleh pewartaan Uskup, pengajaran para teolog dan juga oleh keyakinan umat. Secara bersama-sama, mereka mewujudkan perkembangan Kristianitas[23]. Tema katolisitas juga menekankan pentingnya peran awam dalam hidup menggereja. Gereja adalah sakramen dan pertama-tama Umat Allah (bdk LG 9, 10-12).

Ide katolisitas juga diungkapkan dengan tepat, khususnya ketika banyak sikap resisten bermunculan dengan dogma infalibilitas Paus. Newman menjawab resistensi itu[24] dengan menyatakan bahwa infalibilitas Paus dimengerti dalam rangka infalibilitas iman seluruh Gereja, dan terutama infalibilitas Paus mengandalkan dan mengandaikan kebebasan dan tanggungjawab suara hari setiap orang beriman dan sama sekali tidak dapat membatalkannya[25].
Sumbangsih yang tak kalah pentingnya hadir dalam pemikirannya tentang peran pendidikan bagi perkembangan kekristenan. Dalam sejarah hidupnya, ia banyak bergulat dengan bidang pendidikan[26]. Dalam tulisannya yang berjudul The Idea of University, ia menekankan peran penting yang seharusnya tampil dari universitas (lembaga pendidikan), yaitu mempersiapkan orang-orang dari dunia bagi dunia. Di dalamnya, aneka pemikiran kritis dari dunia modern harus dikaji, bukan diabaikan. Selain itu, pelbagai ilmu dikaji secara mendalam, aneka metode diajarkan, sehingga menghasilkan studi yang berbuah bagi kehidupan[27]. Baginya jelas bahwa daya intelektual manusia dipertajam dengan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan dengan iman dan kesetujuan suara hati, pendidikan berperan dalam menyajikan sarana untuk membentuk iman yang terbuka dan berkembang dalam dunia. Dalam konteks doktrin, pendidikan juga mengasah suara hati untuk tidak terbelenggu pada fanatisme dan kekakuan, tetapi mau melihat kembali doktrin-doktrin tersebut secara jujur, sehingga dapat berkembang. Doktrin dan perumusan iman harus ditafsirkan secara terbuka, seluas mungkin bagi umat manusia.

Penutup
Newman hadir di saat tepat, di masa Gereja sedang mengalami transisi. Ia memperantarai kekakuan pembahasaan iman yang tertuang dalam Konsili Vatikan I dan pemikirannya menjadi benih-benih yang meramalkan Konsili Vatikan II[28], di mana salah satu gagasan dasariahnya adalah keterbukaan. Sebutan tokoh ekumenis juga disematkan pada dirinya. Salah satu sebabnya adalah bahwa ketika ia bergabung dengan Gereja Katolik (tahun 1845), ia membawa warisan “protestannya” dan tidak membuangnya[29]. Baginya konversinya pada Gereja Katolik Roma adalah sebuah perkembangan. Selain itu, ide katolisitas dan keterbukaan dalam penafsiran rumus iman, yang bertujuan agar penghayatannya merangkum seluas mungkin orang, memperkuat posisinya sebagai tokoh ekumenis. Ia menjelajahi katolisitas iman yang terdapat dalam Gereja Katolik, namun tidak terbatas hanya pada Gereja Katolik[30].
Hidup orang beriman adalah usaha untuk mencari kebenaran. Ini jugalah yang mendorongnya untuk senantiasa terbuka pada perkembangan dalam doktrin. Termasyur pula semboyan atas makamnya ex umbris et imaginibus in Veritatem (dari bayangan dan gambaran menuju sampai kebenaran) mengungkapkan bahwa gambaran tidak sama dengan kebenaran. Pelbagai ajaran Gereja bukanlah kata akhir, bukanlah Tuhan sendiri. Perjalanan hidup Newman adalah untuk mencari kebenaran[31]. Demikianlah setiap doktrin senantiasa berkembang dalam sejarah. Pemikirannya telah mengajak kita terus berproses untuk senantiasa membahasakan iman dalam konteks yang tepat dalam sejarah, senantiasa berkembang, namun tetap setia pada ide awalnya: Kehadiran dan keterlibatan Allah dalam sejarah, terutama dalam diri Yesus Kristus.


Daftar Pustaka:
Kieser, Bernhard. Beriman Sungguh Sejarah Doktrin Gereja, (Diktat) FTW, Yogyakarta, 2001
Grave, SA. Conscience in Newman’s Thought, Clarendon Press, Oxford, 1989
Martin, Brian. John Henry Newman-His Life and Works, Chatto and Windus, London, 1982
Tablet, vol 262, Januari 2008
R. Boudens, Growth” A Key Concept in Understanding Newman, dalam Ephemeridhes Theoloogicae Lovanenses, Vol. 69, 1993


Catur Priyo Utomo
Dandi Sebastian
Eko Wahyu
Raka Setiaji
Tri Kusuma
Ulun Ismoyo

[1] Gerakan Oxford adalah gerakan pembaharuan suatu gereja yang independen dari penguasa politik sebagai paguyuban orang beriman yang mendapat wewenangnya dari para rasul, bukan dari raja atau dari DPR.
[2] Karangan brosur “Beberapa catatan mengenai bagian dari 39 Artikel”, yakni artikel dalam Prayer Book (Syahadat Resmi Gereja Anglikan), menghasilkan konflik dengan sejumlah uskup dan awam terkemuka dalam Gereja Anglikan. Dalam karangan ini, Newman memperlihatkan bahwa ke-39 artikel ini dapat dan harus diartikan secara Katolik.
[3] Lih. Bernard Kieser, SJ, Beriman Sungguh : Sejarah Doktrin Gereja, Yogyakarta, hlm 141
[4] Disadurkan dari J.H.Newman, An Essay on the Development of Christian Doctrine. The Edition 1845. Edited with an introduction by J. M. Cameron, Pinguin Books, 1974. Kutipan diambil dari Chapter II, On The Development Christian Ideas, Antecedently Considered Section I. On The Probability of Development In Christianity, 148-165, sebagaimana dikutip oleh Bernard Kieser, SJ, Beriman Sungguh : Sejarah Doktrin Gereja, Yogyakarta, 150.
[5] Gereja-Gereja besar yang tidak menerima rumus iman dari Khalkedon, yaitu mengenai rumus trinitaris dan kristologis, adalah Gereja monofisit koptik di Mesir, Syria Barat, dan Gereja Armenia dan Georgia.
[6] Isi dari Konsili Khalkedon adalah adanya pengakuan bahwa Tuhan kita Yesus Kristus adalah Anak yang satu dan sama, sebagai begitu sempurna dalam keallahan dan sempurna dalam kemanusiaan, Yesus adalah sungguh Allah-sungguh manusia.
[7] John Henry Newman (1801-1890) memandang suara hati adalah kesadaran untuk tak tergoyahkan, tanpa menghiraukan segala macam pertimbangan dan kepentingan kita sendiri. Jadi, ada kemutlakan tuntutan untuk melakukan apa yang disadari sebagai kewajiban dirinya sebagai manusia.
[8] Kutipan dari Essay in aid of a grammar of assent…….” dalam Bernard Kieser, SJ, Beriman Sungguh : Sejarah Doktrin Gereja, hlm. 145
[9] Bernard Kieser, SJ, Diktat Iman Wahyu, hlm.42.
[10] Bernard Kieser, SJ, Beriman Sungguh : Sejarah Doktrin Gereja, Yogyakarta, 145.
[11] Maka kesetujuan iman adalah gerak perkembangan terus menerus antara real assent dan Notional Assent.
[12] Istilah “suara hati” khas Newman sendiri memiliki dua nuansa: moral dan otoritas tertinggi manusia. Suara hati juga ditampilkan sebagai “tindakan”, yang “memberikan pegangan tertentu”, “ketentuan”, dan juga “perasaan” Lih. SA Grave, Conscience in Newman’s Thought, p. 30, 60
[13] Tema tentang infalibiltas ini akan dikupas lebih lanjut dalam bagian penutup
[14] Lih. SA Grave, Opcit, hlm 179
[15] Obyek ini tidak pernah menjadi suatu ide yang utuh dalam budi manusia, dan bahkan menantang budi manusia untuk mencari dan melengkapinya dalam perkembangan.
[16] R. Boudens, “Growth” A Key Concept in Understanding Newman, dalam Ephemeridhes Theoloogicae Lovanenses, Vol. 69, 1993.
[17] Lih. Brian Martin, Opcit, hlm 75
[18] Lih. Bernhard Kieser, Opcit, hlm. 145
[19] Dalam pembahasan ini, kami melihat bagaimana pemikiran Newman menjadi benih-benih (sesuai dengan) ide yang dihasilkan Konsili Vatikan II. Maka beberapa sumbangan pemikiran, dikaitkan dengan pelbagai dokumen hasil konsili tersebut. Lih juga. B. Kieser, hlm 146-147
[20] Sebagaimana dikutip dalam B. Kieser, Opcit, hlm. 142
[21] Dapat dikatakan bahwa ide tentang suara hati dalam kaitan dengan hidup beriman, hendak memberi “jalan tengah” antara rasionalisme (yang melulu mengandalkan akal budi) dengan fideisme (yang melulu mengandalkan pengalaman iman)
[22] On Consulting the Faithful in Matters of Doctrine
[23] Ia juga menambahkan dengan memberi contoh bahwa di masa Arianisme, iman akan Yesus Kristus sebagai Anak Allah diwartakan, diteguhkan, dan dipelihara lebih oleh kaum awam dibandingkan para uskup.
[24] Salah satunya: Letter to the Duke of Norfolk, di mana ia menjawab tuduhan PM Inggris, Gladstone yang mencela orang Katolik bahwa ketaatan pada Paus berlawanan dengan loyalitas pada negara.
[25] Lih. Bernhard Kieser, Opcit, hlm. 144.
[26] Ia sendiri mengurus dan mendirikan sejumlah lembaga pendidikan: Oratori di Birmingham dan London, Universitas Katolik di Dublin. Lih. Tablet, vol 262, Januari 2008, p. 6
[27] Untuk pembahasan tentang peran dan hakekat universitas ini, Lih. Brian Martin, John Henry Newman-His Life and Works, p. 144-146
[28] Benih pemikirannya dan metode teologinya yang mengantisipasi Konsili Vatikan II membuatnya dijuluki: “The Father of Vatican II”. Lih. Iar Kerr, Newman, The Councils, dan Vatican II, in Communio vol 28, 2001, p. 723
[29] Salah satu warisan tersebut adalah pengenalan Kitab Suci yang mendalam: “Kalau ingin mengenal Kristus, harus mengenal Kitab Suci”. Kontak dengan tokoh-tokoh teologi lberal dalam Gereja Anglikan membuatnya belajar untuk “belajar berpikir sendiri”. Selain itu nuansa ekumenis dimunculkan pula dengan pandangannya tentang “pertobatan terus menerus” untuk dapat berjumpa dengan Kristus.Lih. B. Kieser, Opcit, hlm. 146
[30] Lih. Bernhard Kieser SJ, Beriman Sungguh : Sejarah Doktrin Gereja, hlm. 139
[31] Sebagaimana diungkapkan dalam Apologia Pro Vita Sua (1863), di mana Newman mencoba menjawab tuduhan dari Charles Kingsley: bahwa klerus Katolik mempermainkan kebenaran

1 komentar: