Jumat, 17 April 2009

bonum commune

Bercermin dari para tokoh katolik dalam
memaknai kembali esensi politik
bonum commune

Manusia adalah zoon politicon kata seorang filsuf Yunani Kuno, Aristoteles. Kata itu mendefinisikan bahwa manusia adalah makhluk yang berpolitik. Ada juga yang mengartikan bahwa manusia tak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Dari ungkapan itu ada kata yang pantas kita cermati bersama, yakni “Politik”. Kata politik mengandung makna sangat luas. Bayangkan peristiwa akhir-akhir ini, bendera-bendera partai terpajang di pinggiran jalan, beramai-ramai orang berkampanye mengumbar janji dan program kerja atas nama bangsa dan negara. Mereka sedang berpolitik. Kata Politik menyiratkan beragam dinamika. Politik bisa menjadi sesuatu yang sangat kejam tapi kita perlukan karena kita tidak bisa hidup tanpa berpolitik dengan orang lain.

Makna politik secara leksikal dipahami sebagai suatu kegiatan dalam negara untuk mengurus kesejahteraan warga negara. Kesejahteraan warga negara itu tampak dalam perwujudan hak-hak seseorang sebagai warga negara. Namun apakah prakteknya demikian? Tujuan etis dari kegiatan politik adalah untuk dehumanisasi (menghumanisasikan hidup). Artinya dengan berkegiatan politik manusia semakin berkembang untuk mewujudkan hak-hak dan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai warga negara[1]. Pemaknaan prinsip dan tujuan politik itu sebenarnya selalu murni. Namun terkadang muncul persepsi lain bahwa politik itu kotor. Apakah benar demikian? Kita tentu tidak bisa menghakimi bahwa politik itu kotor. Tidak ada politik yang kotor. Kita harus membedakan antara politik dalam artian hakiki dengan politikus yang sering menyalahgunakan kekuasaan politisnya. Tujuan politik adalah bonum commune, artinya kesejahteraan bersama (umum). Panggilan sejati seorang politikus adalah menjadi pelayan dalam mengusahakan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum harus menjadi cita-cita yang senantiasa dikejar dan diusahakan. Kesejahteraan umum makin mungkin diwujudkan bila keadilan, kemakmuran dan kedamaian terus menerus direalisasikan.

Gereja berpandangan sama tentang citra politik itu. Politik dalam arti sesungguhnya tidaklah kotor melainkan pelaksana politik itu sendiri yang cenderung kotor. Untuk itu dibutuhkan suatu spiritualitas yang menghidupi saat berkecimpung dalam dunia politik. Spiritualitas yang ditimba dari Yesus dalam mengembangkan bonum commune. Politik harus berpihak kepada manusia. Kesejahteraan umum tidak berarti mengorbankan kepentingan individu. Politik adalah sarana untuk mengangkat (humanisasi) hidup manusia. Inilah politik yang benar yakni membebaskan dan memerdekakan manusia dari segala bentuk penindasan, kekerasan politik, manipulasi, ketidakadilan, kebodohan dan kemiskinan dalam kehidupan bersama.

Umat Katolik Berpolitik
Kita tengok para tokoh Katolik pada dekade sebelum 1990-an yang sangat disegani oleh komunitas non -Katolik karena kejujuran dan integritasnya yang tinggi. Para politisi Katolik yang kini mulai menggeliat untuk tampil di percaturan politik menjelang pemilu 2009 perlu sejenak bercermin pada tokoh-tokoh yang memiliki integritas yang tinggi yang tentu saja mereka ini meneladani Yesus Kristus. Ia adalah I.J. Kasimo Hendrowahyono (1900-1986)[2]. I.J. Kasimo seorang Katolik sekaligus politikus tidak pernah melepaskan dari pikiran dan hatinya filosofi bonum commune dan secara tegas menjauhi praktik homo homini lupus (manusia adalah srigala bagi sesamanya). Ini semua terbentuk karena bimbingan hati nurani dan akal sehatnya sebagai seorang politisi Katolik. Ia meneladani Yesus Kristus yang berjuang juga untuk bonum commune. Satu motto yang Kasimo pegang dalam perjuangannya adalah “Salus Populi Suprema Lex”, keselamatan Bangsa merupakan hukum Tertinggi. Artinya kesejahteraan umum ia pahami dan hayati di atas segala-galanya dalam hidup bermasyarakat. I.J. Kasimo sebagai warga negara Indonesia sekaligus umat Katolik bisa dikatakan tahu letak dan peranannya. Agama bagi dirinya memberi visi hidup, inspirasi, orientasi dan motivasi hidup pribadi dan hidup bermasyarakat bersama[3]. Kasimo tampil sebagai politikus yang berkepribadian dalam politik.

Figure pahlawan Negara dan Gereja Mgr. Soegijopranoto, SJ adalah pribadi istimewa yang pantas kita teladani pula. Ia mengungkapkan pro ecclesia et patria menjadi per Ecclesiam pro patria: menjadi Gereja untuk Negara. Jadilah umat Katolik yang sejati, raihlah masa depanmu sesuai dengan nilai-nilai Injili dan ajaran Gereja untuk mengabdi Gereja dan Negara[4]. Sebagai seorang Katolik, ia memberikan dirinya secara total demi perluasan kasih di muka bumi. Ia amat bijaksana dalam menempatkan diri sebagai warga negara Indonesia sekaligus umat Katolik, seratus persen warga negara dan seratus persen katolik. Tidak ketinggalan tokoh Fransiskus Xaverius Frans Seda. Ia banyak berkecimpung dalam dunia politik dalam rentang waktu yang panjang. Ia pernah berkarya sebagai menteri empat departemen dan dipandang sebagai tokoh awam sejati. Ia dikelompokkan dalam segelintir pemikir bersama kaum Klerus yang turut berkiprah dalam membangun negara dan gereja[5].

Mereka adalah tokoh-tokoh Katolik yang berani dengan lantang memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan diri sebagai warga maupun umat beragama. Mereka merasa peduli untuk membangun bangsa. Mereka terusik untuk meneriakkan kesejahteraan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan semata.

Sense of History, Sense of sacrifice, dan sense of priorities
Sejenak kita bercermin dari para tokoh yang berani berjuang dalam dunia politik, yang mengemban kesejahteraan bersama sebagai prioritas utama. Keterlibatan mereka dalam politik menjadi suatu sikap yang pantas kita renungkan. Keterlibatan mereka memberi warna positif, kehadiran mereka memberi perubahan yang baik bagi jalannya suatu pemerintahan. Lantas bagaimana kita bisa ambil bagian seperti mereka? Kita sadar bahwa kita adalah mahluk yang berpolitik. Mau tidak mau kita senantiasa bersentuhan dengan kehidupan politik. Lantas apa yang bisa kita buat? Kita dapat bercermin dan bertanya kepada hati nurani kita bahwa politik sangat penting dijaga kemurniannya. Kesadaran ini mau menempatkan diri dalam suatu kesadaran sejarah hidup yang penting untuk diperjuangkan. Pernah ada yang mengatakan bahwa seorang yang memiliki kesadaran politik, harus pula memiliki kesadaran sejarah (sense of history). Suatu kesadaran bahwa hari kemarin menentukan hari ini dan hari ini menentukan hari esok dalam suatu proses yang kontinyu. Dan yang menentukan penentuan-penentuan tersebut adalah manusia yang memberi bentuk pada kegiatannya. Sebab itu manusia adalah pelaku sejarah. Baik buruknya suatu proses sejarah tergantung kita, pelaku sejarah, bijaksana atau tidak dalam memperjuangkannya. Kesadaran sejarah ini bisa kita temukan dalam diri I.J. Kasimo, Mgr. Soegijopranoto, SJ dll. Mereka sungguh peduli terhadap bangsa dan negara. Kepedulian mereka memberi nuansa positif bagi perkembangan bangsa.
Perjuangan para tokoh dan kita semua umat beriman yang beritikad baik ini membentuk lembaran sejarah yang baru. Meski tidak selalu mudah untuk merealisasikannya sebab disana-sini terkadang peluh dan ari mata turut mewarnainya. Inilah kesadaran pengurbanan yang harus juga tumbuh. Kesadaran untuk terus berjuang dalam suatu pembentukan sejarah yang baik. Inilah kesadaran pengurbanan (sense of sacrifice). Dalam menemukan kesulitan itu, kita diajak menjadi bijaksana. Bahwa tujuan dan motivasi awal berpolitik adalah demi kesejahteraan bersama harus diprioritaskan (sense of priorities). Jika setiap orang yang bergerak dalam dunia politik tidak peduli terhadap kesejahteraan bersama. Niscaya politik menjadi lembaran hitam yang menyisakan luka bagi banyak jiwa.

Akhirnya, kita semua adalah penentu sejarah itu. Keterlibatan dan kepedulian kita, sebagai warga dan umat beriman, sungguh dibutuhkan. Negara Indonesia membutuhkan kearifan berpolitik dari pengelolanya. Untuk itu nilai-nilai moral mesti dibangun di atas merebaknya perilaku politik demi kepentingan sesaat. Tujuan negara harus diutamakan di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Intinya setiap actor/pelaku, termasuk kita, politik harus mengembalikan esensi politik kepada maknanya yang agung. Caranya adalah berpolitik tanpa dusta. Jujurlah dalam bicara dan berbuat demi kesejahteraan bersama (bonum commune), sebagaimana Mgr. Soegijopranata, SJ tegaskan bahwa tugas membangun Gereja serta bangsa tidak pernah selesai. Kekatolikan dan keindonesiaan selalu ditempatkan dalam proses yang dinamis. Kita semua diajak untuk memperjuangkan kebesaran Gereja dan sekaligus untuk tidak kenal lelah mewujudkan kejayaan bangsa dan negara sebagai suatu panggilan suci yang mesti dihidupi[6].

Hari raya kabar sukacita,
Rabu, 25 Maret 2009
frtri



[1] http://www.balinter.net/Politik dan Godaan Kekuasaan
[2] http://citizennews.suaramerdeka/Kegairahan Politik Katolik.com
[3] Pak Kasimo dan Kita, Mingguan Hidup, Ed. Ulang Tahun ke 80 Bapak I.J. Kasimo, Jakarta, 1980.
[4] http://www.mirifica.net//D. Gusti Bagus Kusumawanta, P
[5] http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/frans-seda
[6] Ed, Mikhael Dua, Febiana R. Kainama, Kasdin Sihotang, “Politik Katolik Politik Kebaikan Bersama”, Obor: Jakarta, 23