Jumat, 22 Oktober 2010

Bercermin pada Bunda Theresa

Bacaan Rohani : 1 Yohanes 4 : 16b – 21

“Sebab yang terpenting bukanlah berapa banyak yang kita perbuat, melainkan seberapa banyak cinta yang kita hayati”
Sebuah inspirasi yang saya dapat dari Bunda Theresa. Bunda Theresa memusatkan perhatian dan karya pelayanannya pada mereka yang paling miskin diantara yang termiskin.
Ditelinganya selalu terdengar suara “Aku lapar...aku harus..sakit,...dingin.. dan itu cukup menggerakkan hatinya untuk memberikan pelayanan kepada mereka. Prinsip hidup yang sangat saya kagumi adalah “Berikanlah..sampai kamu tak sanggup lagi”.
“Aku hanya ingin membagikan secuil cinta pada hidup saudaraku yang singkat ini, sehingga dia pernah mengalami dan merasakan cinta dan dicintai”.
Kisah Bunda Theresa ini mengantar kita untuk melihat kekaguman kita pada Yesus Kristus, Allah sendiri. Bunda Theresa mampu memberikan kasih kepada orang lain apalagi Allah, Sang Empunya hidup. Tidak usah kita ragukan lagi.
Dalam bacaan tadi kita mendengar “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita..”. Tampaknya Kitab Suci sendiri mau menegaskan, bahwa kitapun mesti berbuat kasih. Allah telah mengasihi kita, dan konsekuensinya, kita sebagai ciptaan-Nya pun harus mengasihi sesama.
Beberapa ahli tafsir kitab suci menggunakan istilah lain, bukan ”karena” tetapi ”seperti”. Bahasa Yunani ”Kathos” lebih tepat diartikan sebagai ”seperti” bukan ”karena”, dan tampaknya mau menekankan bahwa, kita pun seharusnya sama seperti Kristus telah mengasihi. Bukan semata-mata karena kita dikasihi Allah. Tetapi seperti Allah mengasihi. ”Karena” masih menunjukan adanya keterbatasan, dan ada alasan untuk tidak memberikan kasih.
Amin.

07 Maret 2007: 17.00 Wib.

“Persembahan Janda Miskin”


Lukas 21 : 41 – 44

Alukusio

Beliau adalah Bapak Ignatius Suwandi. Beliau tinggal di Mlati, dusun Pajangan. Kesehariannya sebagai seorang lelaki yang mulai beranjak tua, hampir sama dengan lelaki umumnya. Tetapi, jangan kaget, apabila dari sosok sederhana itu, dia telah mengisi gereja kita dengan lagu-lagunya yang menentramkan hati.
Bapak Suwandi adalah pencipta lagu “Nata Agung” yang kerap kita pakai dalam Kidung Adi.
Memang, kecintaannya pada lagu telah membuatnya menjadi Katolik. Katanya : “Saya jadi Katolik karena mendengarkan lagu di gereja. Waktu itu lagunya “Kyrie de Angelis”. Keterpikatan itu mendorong saya untuk menjadi Katolik. Bersyukur bahwa kemudian saya banyak dikenalkan dengan lagu-lagu gereja.
Kecintaan saya pada lagu semakin dalam. Malam, saat yang lain tidur, saya masih berjaga. Apalagi kalau ada inspirasi yang mengganjal dihati. Rasanya harus ditumpahkan.
Saya terharu dan tidak menyangka, tepat saat ada kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1989, lagu Mangga samya sowan dinyanyikan dengan merdu dan syahdunya. Saya sangat terharu dan eeee..mong atase aku kok bisa seperti ini………….
Suwandi menggambarkan dirinya laksana sebutir pasir di pantai, tetapi ternyata memberi peran, bisa berguna bagi orang lain. Dan syukur pula bahwa semua yang saya perbuat , saya persembahkan untuk TUhan. Inilah yang bisa saya persembahkan.

CintA DaMai

-CoKlaT-

BiRuNya LaNgiT beRi ArTi
DaMai daN TentRaM neGrI Ini
BeRatNya cObAan
Ku AkaN bErTaHan

BeRjuTa iNsAn baNgsa iNi
SaLing bErBakTi uNtuK NegRi
Tak Ada RasA MenGhaMpiRi
SgalA PeRbedAaN TeguH BerPegaNgaN

cInTa TaNah aiRkU

CiNta DaMaI nEgRiku
jaGa SlaLu NaMamU
CiNTakU kEpAdAmu…InDoNesiA

“Berkibarlah bendera bangsaku di langit biru....”
Merdeka!!!
Sesaat lagi Indonesia akan merayakan ulang tahunnya yang ke-65. Hampir setiap tahun pada bulan Agustus, kemeriahan itu tampak nyata di berbagai wilayah, daerah di Indonesia. Jelas terlihat dari asesoris-asesoris yang terpajang di pinggir jalan maupun depan tiap-tiap rumah. Tak heran pula para pedagang- pedagang dadakan berjejer menjajakan bendera dan segala macam pernak-pernik yang turut menyemarakkannya. Tak hanya mereka, setiap keluarga pun sibuk mempersiapkan hari kemerdekaan ini dengan bermacam acara. Ada yang ngecat gapura, mengadakan lomba-lomba (panjat pinang, balap karung, grak jalan dsb).
Tak ketinggalan salah satu keluarga di Purbalingga pun turut sibuk menyambut 17 Agustus mendatang. Pada suatu pagi, seorang lelaki tengah sibuk menebang beberapa pohon bamboo, sendiri. Suara berisik yang terdengar dari belakang rumah memikat perhatianku untuk melihat dan memastikannya. Ternyata, kudapati bapak tengah asyik bersama senjatanya tengah menebang bamboo. Singkat kata, bamboo itu digunakan untuk memasang layur, dan bendera. Melihat itu, aku jadi tertarik untuk ikut nimbrung membersihkan bamboo yang sudah ditebang.
Omong-omong tentang hari kemerdekaan yang akan kita rayakan besok hari jumat, rasanya tak bisa meninggalkan peran para pendahulu yang dengan rela berjuang mempertahankan Indonesia. Perayaan ini menjadi saat bagi kita untuk mengenang, mengingat kembali segala pengalaman kita akan Indonesia. Ini menjadi sebentuk penghargaan istimewa, bahwa perjuangan mereka pun tetapi kita hargai dan hormati. Sekedar rasa syukur, bangga dan terimakasih atas perjuangan mereka (para pendahlu).
Mgr. Soegiyopranoto pernah menghimbau pada kita semua “JadiLaH oRaNg yAnG 100% WaRga GeReJa daN 100% waRgANeGaRA”. Ini menimbulkan pertanyaan refleksi bagi saya : “Lalu : bagaimana atau apa yang bisa kuperbuat”?
Bacaan kita sore ini pun sengaja saya ambil dari Matius mengenai MemBaYaR pAjAk kePaDA KaISaR. “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”. Semoga Rahmat kemerdekaan Indonesia yang ke-65 ini membawa buah-buah yang berlimpah bagi kebaikan kita bersama. Sehingga segala sesuatunya menjadi semakin baik untuk yang terbaik.