Sabtu, 21 Februari 2009

Untuk Seorang Sahabat

“Seorang sahabat adalah: seseorang yang datang sementara seluruh dunia meninggalkanmu, sesorang yang selalu melihat yang terbaik darimu dan melupakan yang buruk, seseorang yang tidak pernah terlalu sibuk untuk mendengarkan dan mengerti masalahmu seseorang yang akan mengundang engkau makan bersama tanpa harus menunggu hari uang tahunnya”.


Aku masih ingat kapan terakhir kali kamu datang ke sini.
Saat itu kamu membawakan kebahagiaan yang jarang kurasakan. Dan benar, kehadiranmu sahabat, amat kurindukan.
Kesepian terus membayangiku
Menghabiskan keceriaanku,
Menguras kasih dan cintaku pada sebuah rindu.
Lama ku menunggu,
Lelah ku mencari tanpa batas waktu
Cara paling mudah memuaskan kebutuhan itu
adalah pergi dari rumah ini.
Berkeliling kota, sedikit tebar pesona
Sembari mengumbar mata yang beringas mencari keindahan berharap seseorang kutemukan
dan mau berbagi denganku, siapa pun.
Sahabat adalah tempat yang paling indah untuk berbagi.
Kamu adalah sahabatku, meski tak terlalu kerap bertemu,
Tiga tahun kebersamaan kita telah kujaga
Bahkan ku letakkan dalam ruang istimewa
Dalam pigura istimewa
Dari dedaunan seroja dan wewangian ala eropa
Persahabatan tetap ku jaga.
Tak terbuang dalam pikirku, tak pernah.
Bersamamu adalah kegembiraanku.

SenJa (BerDua) BerSaManYa

Siang itu, 07 Januari 2008, gerimis melanda kota. Langit begitu hitam menghadirkan mega-mega mendung yang surutkan teriknya matahari, yang semestinya bersinar terang hari ini. Tidak seperti biasanya, siang ini ada hati seorang pria yang mengalami kegelisahan. Gelisah atas hujan yang turun tanpa henti. Padahal tidak seperti hujan-hujan sebelumnya. Ia tidak pernah merasa peduli dengan hujan atau tidak. Selain itu, dalam hatinya berkecamuk sejumlah perasaan yang belum pernah ia rasakan pula. Yang jelas, satu sisi ia merasa gelisah dan cemas atas hujan ini namun sekaligus ia pun merasakan ada getar-getar kegembiraan yang tidak pernah ia rasakan dan temukan sebelumnya.
Sesudah makan siang, gerimis masih saja melanda kota ini. Tanah-tanah basah. Dedaunan pun basah. Semua basah. Hawa dingin pun menusuk tulang membuat rasa malas untuk melakukan aktivitas apapun. Ia pun mengalami hal yang sama. Ia langsung menuju kamar, tempat istimewa, tempat yang paling ia suka. Tak lama kemudian komputer dinyalakan dan diputarnya tembang-tembang cinta, seolah mau mengungkapkan perasaannya. Memang, banyak orang bilang, kalau lagu-lagu mampu mewakili perasaan seseorang. Entah bahagia maupun sedih. Pokoknya, lagu-lagu itu mampu merangkumkan perasaan seseorang yang tidak terungkapkan dengan kalimat-kalimat lugas lainnya. Mungkin inilah yang tengah dialami oleh pria itu. Ia mengalami hal yang sama sebagaimana kebanyakan orang alami, yakni ada sejumlah perasaan yang tak mampu terungkapkan dan cukup terwakili dengan sekedar kata-kata gembira, atau senang dan lain sebagainya. Ah, mungkinkah pria itu sedang jatuh cinta?.
Tak lama kemudia handphonenya bergetar. Ada pesan masuk. Tertulis dalam pesan itu sebuah nama yang amat ia kenal. Tak menunggu lama, ia langsung mengambil handphone itu dan membacanya perlahan.
“udan-ne jadi ga?”
Tanpa maksud menjawab secara langsung, ia menuliskan begini :
“ Engga pa2. Hjan’a ga bsar koq. Smoga ntar dah reda. U dah bawa helm to?. Oh ya Tp, mnurtmu sndr bgaimn?” tanpa pikir panjang dan banyak pertimbangan ia langsung sending saja pesan itu.
“Ya Bawalah, ya kalo Nindya cih ga mslh santai getoloh, tapi ntar plge Nindya anter ke t4 krj q lag ya cz jam 08.30 ad tmn mau ket4 krj ok”
“Yap”. Akhirnya jadi juga kami bertemu senja nanti. Meskipun hari masih dilanda gerimis dan langit tampak tidak begitu ceria. Tapi hatinya sendiri tak menampakkan hal itu. Ia tampak bahagia. Dan telah mempersiapkan segalanya dengan sempurna. Sepeda motor di tangan. Uang dikantong. Dan segenggam keberanian telah menggumpal menjadi sebentuk hasrat yang mesti ditumpahkan. Inilah sebuah peristiwa yang telah lama ia nanti. Dinner bersama seorang gadis yang sangat ia sayang, berdua. Sebagaimana ia kerap membayangkannya setiap malam. Ini adalah hari kebahagiaan baginya. Yang mungkin tak akan bisa ia lupakan.
Siang ini, ia menghabiskan waktu bersama lagu-lagu cinta. Ia mencoba membangun suasana yang romantis dalam dirinya. Maklum ia sendiri cukup gugup apabila bicara soal cinta. Ia ingin menghadapi senja ini berdua seperti dalam sinetron-sinetron yang pernah ia lihat atau kisah percintaan ala korea yang tak jarang membuatnya “mupeng”. Ia tidak tidur siang. Ini beda dari biasanya. Maklum, kalau soal tidur ia jagonya, sampai tak tau waktu. Bisa-bisa ia kebablasan sampai malam dan tak jadilah kencannya senja ini. Ia telah mengambil keputusan itu dengan tepat. Tanpa berpikir-pikir lagi , ia habiskan waktu dalam kesendirian sampai waktu yang ia nantikan mendekati dirinya.
Angannya telah merangkak jauh, sejauh terik yang berganti senja. Lama tetapi pasti. Berbagai macam cerita telah ia persiapkan. Berbagai bahan obrolan telah ia rancang. Ia beranggapan bahwa jangan sampai dalam perjalanan bersama dengannya berlalu dengan sia-sia. Jangan sampai sedetikpun berlalu tanpa menyisakan kenangan. Ia telah merencanakan semuanya dengan mantap. Ya…mungkin inilah gejolak kawula muda yang dilanda cinta dan akan berkencan bersama seorang gadis yang sangat ia sayang dan cinta.
Berulang kali tangannya mengambil handphone yang tersanding di depannya. Apa yang ia lihat. Oh, ternyata masih satu jam lagi. Demikian ia lakukan berulang kali. Tak sabar rasanya menunggu sampai jam 16.30. dan matanya pun berulang kali mengamat-amati weker yang ada di depannya, tepat di bawah komputer miilknya. Seakan ingin memastikan kembali, apakah waktu yang ditunjukan dalam handphone benar adanya.
“Huuuh…” sesekali ia menghela nafas panjang. Setelah mengetahui bahwa waktu yang ia tunggu masih begitu lama. Ia jadi tahu bagaimana rasanya menunggu. Mungkin benar kata orang, menunggu adalah saat-saat yang membosankan.
“Nanti lwt per4an bangjo kekanan trs nnt ad per3an ambil kanan lagi trs ad per4an kecil ambil kanan dikit tar dikiri jln ad ruko planet square yg ad pohn palm’a”. sebuah pesan kembali masuk.
“Ok…ntar aq sms u. U aktifkan trs hp u ya”. Sebagai balasan dengan harapan ia akan dapat menemukan tempatnya dengan segera. Maklum ini adalah kali pertama ia menuju tempat Nindya bekerja. Semenjak ia tahu bahwa Nindya bekerja di situ. Tak pernah sekalipun ia menyempatkan waktu mengunjunginya. Senja ini adalah kesempatan terbaik baginya untuk bertandang menemuinya.
Benar juga sebagaimana ia harapkan. Gerimis perlahan mereda meski masih menyisakan mendung pada langit-langitnya. Dedaunan mulai mengering, tinggal sisa tetesnya saja yang berguliran menuju tanah. Tanah-tanah basah dan penuh genangan air perlahan-lahan pun mengering. Airnya menyusut dan menyisakan bopeng, seperti tato emping alias panu yang menempel pada kulit manusia, pada bekas genangan. Haha…...lucu juga membayangkan genangan itu seperti tato emping. Hujan telah reda. Hatinya kian bahagia-berbunga-bunga. Semangatnya berbinar dan tak kalah degup jantungnya pun berlarian mengucurkan peluh kecemasan (alias grogi).
Waktu telah menunjukan pukul 16.30 WIB. Disambanya handuk yang nangkring di gantungan dekat pintu masuk kamarnya beserta alat mandinya. Bergegas menuju kamar mandi. Ia tidak ingin kalau Nindya menunggu terlalu lama. Maka, tidak beberapa lama kemudian, ia telah keluar dari kamar mandi dan sedikit berlari menuju kamar untuk berganti pakaian. Waktu masih cukup baginya untuk berdandan mempersiapkan segala supaya terlihat pantas dipandang. Sekedar parfum ia semprotkan ke tubuhnya.
"emm....wangi....." gumamnya dalam hati.
Tidak lama kemudian, berangkatlah ia dengan semangat dengan motor pinjaman bahkan tanpa surat-surat yang lengkap. Ya, terang saja, STNK motor itu sedang diperpanjang. Dengan modal nekat, ia memberanikan diri untuk tetap berangkat dengan motor tanpa surat-surat itu. Dengan harapan akan berjalan aman-aman saja. Kendati sebelumnya, ia pun telah meminjam kepada salah seorang temannya yang lain. Tapi, ia tak menghiraukannya lagi. Ia telah memutuskan untuk menanggung segala resiko yang akan ia hadapi.
“Ketilang yo wis” begitu gumamnya dalam hati saat dalam perjalanan menuju tempat Nindya.
Keberangkatannya berjalan lancer. Kendati sempat kesasar juga. Namun dengan segera ia menemukan tempat yang mereka sepakati.
“Nindya aq dah di dpn planet square. U dimn?” Ia menuliskan pesan itu untuk Nindya. Dan tak berapa lama kemudian, seorang perempuan keluar dari sebuah coffee caffe. Senyum terpancar dari wajahnya yang manis, sembari melambaikan tangan mulusnya. Ia pun tersenyum, malu. Jantungnya berdetak semakin keras.
“Gila..semakin cantik saja dia. Rambutnya ia ikat rapi. Tak lupa tas hitam yang ia suka melekat ditubuhnya”. Gumamnya dalam hati sembari mendekati Nindya.
“hai….koq cepet banget tahu tempat ini, ter”
“ya iyalah. Aq gituloh. Aku kan sering main, dolan-dolan”
“Nindy….mau kemana niech..?” Ia sedikit bingung untuk mengawali pembicaraan ini. Ternyata engga mudah saat bertemu langsung dengan orangnya. Berbagai macam rencana yang telah ia persiapkan berlalu begitu saja. Untuk itu, ungkapan-ungkapan spontan lebih kerap muncul. Dan ini benar-benar mengagumkan, bahwa akhirnya mereka bisa berbincang bersama dengan asyiknya.
Ia dan Nindya pergi berdua. Mereka pergi menuju tempat yang sangat istimewa. Hanya berdua.

Jogja, 10 Januari 2008
atas sebuah kisah yang pernah terjadi pada 07 Januari 2008

Sekedar luka hati

Tuhan,
Aku terlalu payah untuk melayaniMu,
Litani keluhan malah kerap terlontar dari mulutku,
bahkan menghiasi benak terdalamku.

Aku tidak begitu gampang memaafkan orang lain
Aku lebih gampang mencela, mencaci atau mengkoreksi,
Tapi terkadang tidak pernah terlontar,
Sebatas emosi di dada
Yang …..tidak tahu bagaimana mengungkapkannya.

Tuhan,
Aku terlalu payah untuk melayaniMu,
Ternyata aku sibuk dengan diriku sendiri,
Apakah demikian?
Kadang aku malah melawan, berontak…
Ah, tidak. Aku sudah cukup mau berbagi dengan orang lain
Bahkan aku mengorbankan kepentinganku sendiri untuk mereka,
Aku mengorbankan waktu untuk berjalan dari pintu ke pintu
Aku mengetok dari hati ke hati
Dan berjumpa dengan wajah-wajah kemalasan
Ah, Tuhan
Aku terlalu payah untuk melayaniMu,
Mungkin karena aku belum mengenal Mu
Mungkin aku terlalu menutup diri dariMu
Tapi, mau bagaimana lagi,
Terkadang pengalaman berbicara, bahwa Engkau
Tidak b egitu akrab dengan aku.

Tuhan,
Mengapa kita tidak bisa akrab.
Kita kerap kali bertengkar,
Kita kerap kali berbeda pendapat,
Aku ingin ini, sementara kamu ingin itu
Akibatnya, aku menjadi kurang suka denganMu.

Saat Ku SenDirI

KeCemAsan keRap MembAyanGi
TErMasuK MalaM ini
Lagi-laGi….
sAat ku seNdiRi

KenTungAn, 25 SepTember 2007

Mimpi

Tepat hari Rabu saat fajar telah merekah
Tepat tanggal 05 Maret 2008
Dia bermimpi...
Aku pergi dari seminari....

Kentungan, 06 Maret 2008

Ketakutan manusia

Tebal debu ini mengotori lembar demi lembar
Menyuramkan keindahan dan lekak-lekuknya, unik sekali
Hati-hati
Jangan sentuh
Jangan ditiup
Ia terbang
Ia bisa membuatmu buta
Ia bisa membuatmu menangis
Dan bahkan batuk berdahak

Tebal debu ini mengotori lembar demi lembar
Perjalanan dulu hingga kini
Telah lama

Sebuah perhelatan malam

Terhenyak bangun dari tidurku,
yang diselingi tanya di hati
Dalam gelap malam dirimu hadir
Menangis sendu sedan bimbangkan seluruh malam
Kita berdua ada pada satu poros
Berjubel-jubel mata mengawasi
Tingkah manjamu yang menggoyang-goyangkan tubuh tegasku
Aneh…
Berjubel-jubel mata itu,
tidak mau pergi mengawasi
tidak mau berhenti menilai
Mata keheranan, penuh waspada
Serta aba-aba mendesak terus kebebasanku
Ah, mengapa mereka mengawasi kita???
Mata-mata berselimutkan serba putih
Berawal ujung rambut sampai kaki
Serba putih dan putih
Dalam gelap malam ketika bersama denganmu


Kentungan, April 2005

Mengapa kamu menangis ?

Semalam kamu hadir
Saat kusendiri
Di kesunyian
Airmata membasahi pundakku
Tangan halusmu mencengkeram tubuhku
Sesak napasmu risaukan hatiku
“Mengapa kamu menangis”?


Kentungan, April 2005

Sendumu

Datang tiba-tiba,
dalam kebimbangan.
Lalu isak tangis bersambung tanya,
yang dengan keras kamu luapkan,
yang dengan deras kamu alirkan.
Pada tubuhku kaku,
yang terbingkai erat tubuhmu.
Aku menyentuh tubuhmu,
laluku seka genangan pada lekak-lekukmu
Sembari berkata “Sudahi saja sendumu”
Sungguh airmatamu membuatku
Ngilu rindu hadirmu
Ketika fajar baru belingsatan mencari jalannya

Kentungan, April 2005

Marilah Kita Mencoba

Perhelatan anak manusia baru mulai,
kegelisahan sesekali menyelimuti diri
setelah lama berlari
bermimpi menggapai keberhasilan yang selama ini pergi.
Fisik bukanlah apa-apa,
Aku masih bisa berlari jika hatiku bersemi
Aku akan memenuhi segala janji jika kau tak enggan menerima cinta
Teman, perjuangan kita belumlah usai
akan aku perkenalkan kau pada dunia
dan setidaknya kau mau mencoba.
Jangan katakan nanti,
jangan katakan tidak mau.
Tapi cobalah untuk mengerti
Hargailah usaha yang telah dibangun,
supaya kita saling mengerti,
supaya kita bisa saling melengkapi.
Teman,
Jangan sekali-kali menyisakan kesempatan baik bagi kita
Jangan pernah mengulang kegagalan yang sama
aku ingin kita semua berkembang
Aku ingin kau dan aku maju bersama
Jangan katakan tidak,
marilah kita coba

Kentungan, 12 April 2005

Akan Kubangun Menara Itu

Mungkin usia mengantar diri pada kedewasaan
Yang merubah pandanganku pada kehidupan.
Mungkin kegelisahan juga sedikit mendongkrak semangat
supaya kegagalan tertepis
sejauh langkah kaki melangkah.
Kemalasan yang selama ini ada tengah beralih.
Memang, semangat kerja inilah yang kubangun
Untuk membangun menara impian.
Biar kutunjukan,
Tak selamanya roda kesengsaraan melanda,
akan kubangun menara ini untukmu,
akan kutunjukan pada dunia impian sesungguhnya.
Tanpa kamu menara-pun dapat kubangun
Tak lagi bergantung padamu,
karena dirimu telah andil pula merobohkan menara impian,
ketika keputusan terucap sebagai kata terakhir darimu.
Kentungan, 3 April 2005

Indahnya Persahabatan

Dua hari menjelang keberangkatanku menuju Jogja
Penuh dengan tawa.
Dua hari menjelang keberangkatanku menuju Jogja
Penuh dengan kebahagiaan.
Dua hari menjelang keberangkatanku menuju Jogja
Enggan untuk kulupakan
Bahkan rasanya ingin selalu demikian.
Hari pertama sebelum keber
angkatanku menuju Jogja
Telah terjadi janji antar manusia yang lama tak jumpa
Mungkin telah bertahun-tahun bergulat dengan cinta dan cita
Tapi kini bertemu dalam keberasamaan penuh cinta
Hari pertama ku
habiskan waktu bersama mereka
Semenjak matahari belum nangkring di atas kepala
Sampai ia masuk dalam peraduannya yang amat ia suka
Aku masih ada bersama mereka
Hari pertama sebelum keberangkatanku menuju Jogja
Enggan untuk kulepaskan.
Hari kedua sebelum keberangkatanku menuju Jogja

Purbalingga, 27 Oktober 2006

Pesan Kosong


Siang itu matahari bersinar terik.
Padahal ia belum bertengger di atas kepala, tapi rasanya sudah terbakar.
Tubuhku penuh keringat, pakaianku basah, dan tenggorokan amat nafsu menelan serpihan-serpihan es batu yang perlahan mencair.
Siang ini matahari bersinar terik.
Seluruh hari-pun terasa kering kerontang, bagai dedaunan
di sepanjang jalan kenangan kering, layu tanpa air.
Siang ini matahari bersinar terik.
Dan aku beringasan mencari penghiburan.
Entah apa yang akan ku lakukan,
tapi ditanganku telah ada handphone merah muda, romantis, dan feminin.
Memang, si empunya enggan mengganti casing.
Ia lebih suka apa adanya.
Ya sudah, akupun tak begitu malu menggunakannya.
Tanganku mulai menari di atas tuts handphone merah muda, milik adikku.
Tapi sebentar, ia berhenti saat selesai menekan 0 8 5 6...
Jari-jarinya berhenti bergerak,
Sebentar kemudian jari telunjuknya menekan tuts C.
Layar kosong tanpa angka

Kentungan, November 2006

Janji

Tak usah berjanji
Daripada berjanji tidak menepati
Siapapun tak suka dusta
Daripada dusta lebih baik luka
Hindarkanlah lidah yang bersilat
Karena akan mengantarkan diri kepada dosa
Mulut siapa yang berdusta
Tak bakal dipercaya
Karena semua orang tak suka dusta
Kendati mereka sendiri tak bisa hindari dusta

(inspirasi dari Pengkotbah)
Kentungan, 16 April 2007

Pintaku Satu, Ijinkan aku.....

Ijinkan ku duduk di sini
Dalam kegelapan senja
Saat orang-orang tak lagi bercanda,
Saat suara burung-burung tak lagi ramai terdengar,
Saat bunga-bunga pun menutup diri
Kembali meringkuk dalam pelukan malam
Yang tak bersahabat

Pesan Singkat

Hai teman,
“Dia telah memiliki surga, tetapi ia memilih golgota
Ia ingin berbagi cinta bagi kita’.
Met paskah…..
Semoga paskah membawa kebangkitan bagimu.
Serangkai kata ku kirim kan lewat SMS
Untukmu……..
Sahabatku yang pernah kucinta
Bahkan untuk selamanya, dirimu tak bisa ku lupa
Entah mengapa…..??
Tak lama kemudian, handphone ku berbunyi…
“Kristus udah menderita, mati, dan Ia udah bangkit.
Semua adalah untuk kita. Semangatlah dalam hidup.
Bangkitlah bersama Kristus yang Bangkit”. Met paskah ‘ter…
Kubaca berulang kali
Biar meresap dan tinggal dalam hati
Ia menyemangatiku.
Aku pun tersenyum sendiri
Sementara jariku telah bergulir di atas tuts handphone
Merangkai kata-kata balasan untukmu, sahabat yang pernah
Tinggal dalam hatiku.


Kentungan, 12 April 2007

Sendiri

Tempat ini terlalu sunyi
Aku tidak kerasan.
Aku ingin pergi untuk sekedar
mencari teman bicara.
Dan malam ini tak bisa kuhindari
Hingga keterpaksaanlah yang mendiamkanku di sini
dalam sepi sendiri.

Kentungan, 12 April 2007

Ingatkah Kamu

Ingatkah kamu……
kapan terakhir kalinya aku berbincang denganmu
saat malam beranjak larut,
Binatang riuh bernyanyi
Dingin malam enggan berkompromi
Dan kesepian perlahan pergi

Kentungan, 12 April 2007

Fajar Di Kaki Sindoro-Sumbing



Diluar sana begitu gelap. Matahari belum keluar dari peraduan, seakan enggan bersaing dengan kabut-kabut pegunungan pagi ini. Burung-burung enggan keluar dari sarangnya. Sekedar binatang malam, yang mbandel, masih terlihat nongkrong beberapa di pinggir jalan sembari melakukan peregangan, mengusir dingin yang menggigilkan tubuhnya.
Tak terlihat ramai, seperti hari-hari sebelumnya. Ada apa? Tampaknya, orang-orang di pegunungan ini masih asyik bercengkerama dalam kehangatan dan balutan tubuh yang bergelayut di atas kasur empuk. Menggiurkan. Ah...gila.......!!.
Tetes embun bergulir membasahi bumi, dan kabut pagi terus selimuti kota kecil di kaki Sindoro-Sumbing. Aku masih menelungkup diri di bawah lindungan selimut tipis lorek-lorek hitam, malas.
Tak kubiarkan kesepian melandaku pagi ini. Kusambar diskman di sampingku dan kuputar lagu melo keras-keras. Kulanjutkan kembali tidurku, setengah sadar, sembari mendengarkan lagu dan mengikutinya dengan seksama.
Kutuliskan kesedihan semua tak bisa kau tinggalkan
Bahkan kutakkan bicara dengar Hatiku
Buang semua puisi antara kita berdua
Kau butuh dia sesuatu yang kusebut itu cinta
Yakinkan aku Tuhan, dia bukan milikku
Biarkan waktu, waktu hapus aku
Sadarkan aku Tuhan, dia bukan milikku
Biarkan waktu, waktu hapus aku
Ku tuliskan kesedihan
semua tak bisa kau tunjukan
bahkan ku takkan bicara dengar jiwaku
Satu persatu lagu-lagu Nidji menemaniku pagi ini. Di luar sana, matahari sudah tak tahan lagi bersembunyi dari sarangnya. Satu persatu sinarnya menembus korden jendela kamarku seperti lampu sorot, saat pesta sekaten di Jogja. Bersilangan, dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Terang sekali. Salah satu sinarnya berhasil menembus selimut tipis lorek-lorek hitamku. Aku kesal dibuatnya. Habis, pagi ini, rasanya ingin kuhabiskan saja di atas tempat tidur.
Belum selesai dengan rasa kesalku, tiba-tiba terdengar gaduh di luar sana. Pikirku langsung tertuju pada Sapta. Kursi-kursi digeser, tidak diangkat, alhasil suara tak nyaman terdengar ditelinga.
“Srrrttt..ngiiiiiitt.”
“Waduh, dasar Sapta. Pagi-pagi udah bikin gaduh, bikin pusing aja” keluhku dalam hati, sembari kulipat selimut tipis lorek-lorek kesayanganku.
“Sapta...., diangkat dong kursinya”
“Berisik tahu!!”
“Eh....bangun. Matahari udah di atas kepala, tuch. Nyapu-nyapu-ke”
Sapta membalas teguranku dengan sedikit marah. Sembari melempar kursi-kursi dengan kerasnya.
Oh, ya omong-omong soal selimut. Aku jadi ingat Nindya. Waktu itu, aku mo pergi ikut kegiatan sekolah, home stay, di lereng Merapi-Merbabu. Satu hari sebelum keberangkatanku bersama rombongan, rencananya ada 2 bis, Nindya ngasih bingkisan kecil, berwarna merah muda, bermotif bunga.
“Jaga diri baik-baik ya”
“Buka hadiah ini, saat kamu mau tidur. Ingat!! Sebelum tidur.”
Aku mengamat-amati bingkisan kecil, berwarna merah muda, dan bermotif bunga dalam tanganku. Aku tersenyum kecil.
“Terima kasih, Nindya...”
“Aku akan membuka bingkisan ini sebelum aku tidur, seperti yang kamu minta”
Kami berpandangan, tersenyum dan kemudian melangkahkan kaki menuju warung di pinggir sawah, dan persis dibawahnya sungai mengalir jernih. Gemericik air mengiringi percakapan kami yang ndhledhek kemana-mana, sesekali gelak tawa mengisi kesendirian bunyi air di bawah kami.
***
Sebenarnya, aku belum begitu mengenal Nindya. Aneh juga, saat pertama kali ketemu dia. Tak ada perasaan apa-apa. Mungkin, lantaran sering berjumpa, menyapa dalam kegiatan yang sama, aku menjadi akrab dengannya. Keceriaan yang selalu tampak dari wajah sederhananya, membuatku turut merasakannya. Keceriaannya membuat banyak lelaki jatuh hati kepadanya. Jujur saja. Ia anak yang gaul. Teman-temannya bilang begini ;
“Nindya itu ODI…”
Aku terkejut mendengar pernyataan itu.
“O..D…I..?”.
“Maksudmu….?”, dengan beban tanya menggelayut dalam pikirku. Berharap dengan segera mendapatkan jawabnya.
“Eh..ODI itu..Ora Duwe Isin…ha..ha,..ha”, temanku menjawab dengan girang disambut dengan tawa lepas yang keras, membuat heran beberapa orang yang lewat di sekitar kami.
“Tapi..emang benar…Nindya itu ora duwe isin”.
“kemana-mana maunya melucu..guyon..dan membuat sesuatu yang aneh, nganeh-anehi, ngono-lah”.
“Tapi anehnya, banyak orang yang suka sama dia. Mungkin karena sikapnya yang los, lepas dan enak diajak berteman kali”.
“EH, tapi….ada apa ya..jangan-jangan..”, temanku mulai curiga dengan sikapku yang seakan menyelidik segala sesuatu tentang NIndya. Tangannya menuding-nuding dan disambung dengan tawa lepas yang keras lagi.
***

Bulan dan bintang
temani aku malam ini
ku ingin nyanyikan sebuah lagu
tentang kisah cintaku dengannya
Hari-hari yang kujalani
bersamanya berwarna dan bermakna
cinta yang pernah kurasakan dulu
tak seperti cintaku saat ini
Andai aku menjadi malaikat cinta bersayap
akan kubawa kau terbang
menuju taman bunga cinta yang sedang bersemi

Tapi, aku belum mengatakannya. Aku belum cukup berani untuk mengatakannya. Biarlah rasa ini kupendam dalam hati, hingga saat yang tepat telah tiba.

“Sapta....diangkat dong kursinya..!!”
“Berisik tahu!” (to be continued)

Surat Kepada Malam


Senja begitu muram. Tetangga-tetangga tidak begitu ramai bercakap. Sepi. Persis 17.30 di hari MInggu, jika tidak salah tanggal 13 bulan ke delapan tahun 2006, aku sendiri. Mataku sayu. Tubuhku lemas.


Dan kini, Sabtu malam minggu masih dalam bulan ke delapan tahun yang sama. Sepi menyelimuti kotaku lagi. Tak seperti malam minggu sebelumnya. Aku bermuram durja. Tanpa mengajak teman, aku pergi menuju angkringan, persis sebelum aku menuangkan kegelisahanku dalam tulisan ini. Kuhabiskan segelas the-jahe panas dan tempe goring khas Jogja, yang kini telah menjadi makanan kesukaanku. Hampir setiap rabu dan minggu malam, kuhabiskan waktuku hanya untuk sekedar minum the-jahe dan beberapa tempe goreng yang bakar. Tak jarang sembari menikmati enaknya makanan ala angkringan, dan kesendirian yang menemani membuatku betah berlama-lama nongkrong di sana.
“Malam ini sendiri”, gumamku dalam hati.
“Seandainya......”, pikirku mulai nakal terinspirasi perempuan-perempuan lajang, berbadan sexy dan sedikit mengundang birahi. Ah bukan itu maksudku. Kok seronok banget. Maksudku, perempuan-perempuan laksana bunga, wangi, harum, dan membuat senang siapa saja yang memilikinya. Oh, gila ibarat orang bercinta, dunia seakan milik berdua. Akupun ingin seperti itu, Ingin kucintai salah satu dari sekian juta perempuan di dunia. Satu saja. Tidak usah banyak-banyak, biar pun satu, tapi dia akan kuikat erat dalam hati bahkan kubawa sampai mati. Kata orang, apa yang sudah disatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusa. Rasanya, kalimat itu cukup membuatku berani untuk mengatakan bahwa satu orang perempuan dalam hidupku adalah cukup adanya.
Tapi, mungkin aku terlalu berkhayal. Bagai pungguk merindukan bulan. Rasanya anganku terlalu berlebihan. Salama ini, aku sendiri selalu mengundurkan diri, mengasingkan diri hingga para perempuan tak sempat mengenalku lebih dalam. Apakah aku takut?. Tidak. Bukan atas dasar ketakutan aku menjauhi mereka, tapi pada...... Ah , tidak jelas. Aku malas membicarakannya. Lebih baik, lupakan saja tulisanku di atas tadi. Aku terlalu berlebihan menilai diriku, lagian aku tak ingin begitu terbuka pada kalian semua. Ada ruang privacy yang mesti terkunci, dan tak seorangpun boleh membuka atau memasukinya, alias rahasia.
Malam semakin kelam. Angkringan pun semakin sepi pengunjung…….(to be continued)

Metamorfosa Diri



Legio Mariae Ratu Para Saksi Iman Kota Baru
13 September 2006, 17.00 wib

Yak 3:16-4:3

Salam dari Yakobus,

Aku membayangkan pada hari ini kudapatkan sepucuk surat dari Yakobus. Dia seorang Hamba Allah dan Tuhan Yesus Kristus. Ada perasaan berkecamuk dalam diriku. Kira-kira apa yang ia maksudkan dalam surat tadi.
Perlahan aku mulai membaca surat itu dan ternyata sebuah nasehat atau mungkin peringatan yang ia tujukan kepadaku.
Pada ayat sebelumnya ay. 13 yang ia tulis, dia bertanya kepadaku “ Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan”. Spontan perasaan yang muncul adalah bingung? Kenapa ia bertanya seperti itu? Apakah ia meragukan hidupku, Apalah ia mengajakku untuk berefleksi tentang hidupku. Benarkah aku sudah bijak dan berbudi?
Lalu dalam kalimat berikutnya ia cantumkan begini “sebab dimana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat”.

Metamorfosa Diri

Pada mulanya, manusia tercipta baik adanya. Benar kata Kitab Kejadian yang mangatakan “segala sesuatu diciptakan Tuhan baik adanya”. Demikian manusia, diciptakan paling sempurna dibanding dari mahluk-mahluk ciptaanNya di dunia. DiberiNya hak untuk menguasai dan menggunakan isii dunia untuk kesejahteraan dirinya. Serta beranak cucu mengisi dunia. Tak pernah puas menikmati segala sesuatu yang ada adalah salah satu ciri manusia sekarang ini. Sejatinya, manusia menginginkan kesempurnaan dalam hidupnya. Tidak pernah puas akan apa yang telah diperoleh. Seandainya bisa mendapatkan dua mengapa harus satu.

Sejak saat itulah, persaingan marak mewarnai dunia. Homo homini lupus Kata itu tak asing di telinga kita. Manusia tega memakan sesamanya. Mungkin rasa cinta, kemanusiaan telah tertanggalkan dari benaknya, sehingga sesama tak lagi dianggap ada. Tak peduli lagi rasa kemanusiaan, tak ingat bahwa saling tercipta dari keberasalan yang sama. Makna kuasailah dunia menjadi berganti amat pribadi, sehingga terbuka persaingan untuk saling menjatuhkan satu sama lain demi sejengkal kekuasaan yang tak kan pernah mampu puaskan hati.

Terkadang aku heran bahwa sekarang ini manusia telah memaklumkan persaingan yang saling menjatuhkan. Dan mungkin, aku sendiri telah turut serta mengabadikannaya dalam pergaulan sehari-hari. Lihat saja, bunuh membunuh selalu mengintai di sekitar kita, pertikaian antar suku, daerah, bahkan sampai agama mewarnai hidup kita sekarang ini. Sebenarnya, inti persoalan itu apa? Memang, kita tak dapat menyimpulkan begitu saja pada satu titik persoalan. Ada serentetan peristiwa yang tidak begitu saja dapat disimpulkan, bahkan cenderung tak memberikan kesimpulan alias tidak jelas.

Aku mencoba memilahkan pendorong ketidakharmonisan dalam masyarakat yang kerap kita temui sekarang ini. Bukan hal baru, namun sekedar menampilkan kembali supaya kita kembali tersadar bahwa persoalan kita sama. Dan ada akar permasalahan yang selalu sama meski kadarnya berbeda. Iri hati. Wah kata ini kiranya sangat lekat dengan kehidupan kita. Semenjak kita kecil, kita telah dijejali oleh istilah tersebut. Yang terkadang menkondisikan kita hidup dalam rasa perasaan semacam itu. Tentu kita tak bisa menyalaahka siapa penyebab munculnya rasa iri hati. Bahwa manusia memiliki iri hati dalam hatinya adalah benar adanya. Dan kita mengakui kebenarannya. Kendati tak semua, dari kita, memiliki kadar yang sama.
Ya, iri hati, egoisme....itu biasa, wajar sebagai manusia normal. Eksistensiku sebagai manusia mesti ada. Aku mesti diakui oleh orang lain. Aku tidak mau hidup dalam kekurangan, sekali lagi aku tegaskan, jika bisa memiliki AB mengapa mesti punya B. Sebab dalam kekurangan terkadang aku merasa minder, takut bergaul dengan orang lain. Untuk itu aku lebih tertantang untuk memiliki apa yang orang lain punya untuk ku miliki pula.
Sejenak aku berpikir....apakah benar permenunganku tadi?

Sesaat aku sadar. Betul juga. Iri hati disebabkan dari ketidakmampuan diriku untuk mencapai sesuatu dan aku begitu berhasrat untuk memilikinya, sementara orang lain mampu meraihnya. Iri hati bisa lahir dari rasa tidak suka, tidak terima atas sesuatu yang orang lain miliki. Entah itu pekerjaan, kehormatan, popularitas, kekayaan, dan lain sebagainya. Iri hati membuatku menjadi tidak mengenal diriku sendiri, oleh karena terlalu diperbudak oleh prestise dan harga diri. Bahkan iri hati membuatku menutup diri dari orang lain. Sehingga tidak sedikit, orang lain mengacuhkanku. Terkadang aku menjadi begitu sulit untuk diajak terbuka. Aku takut jika orang lain tahu siapa diriku yang sebenarnya. Aku yang penuh dengan kekurangan. Reaksi penolakan ku secara spontan adalah marah, tidak terima apabila orang lain mengusik ketenangan batinku yang penuh lubang-lubang kebobrokan. Ya, surat ini cukup membuatku luka. Membuatku kembali berpikir akan sikap ku yang telah lalu.

Kesadaranku ini kembali diteguhkan saat membaca kalimat berikutnya : “Ingat, hikmat yang datang dari atas adalah pertama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, belas kasih, tidak memihak dan tidak munafik.

Benar juga, bagi Allah jelas tidak mungkin akan memberikan sesuatu melampaui batas kemampuanku. Keras kepalaku saja sebagai manusia, yang akhirnya mengikatku dalam keangkuhan, lupa bahwa, Ia telah mempertimbangkan segala sesuatunya dengan amat bijaksana. Yakobus mengingatkanku bahwa Allah tetap memberikan yang terbaik bagiku dengan segala keterbatasan yang kumiliki. Aku menjadi sadar bahwa aku bukan asal mula dan tujuan akhir. Dan tidak ada seorangpun dapat berdiri di atas kakinya sendiri.
Allah tidak akan pernah membuat umatNya jatuh. Seluruh usahaNya terhadap manusia menunjukan kesaksian yang tak tergoyahkan atas kesetianNya. Ia hanya minta ketetapan hati, kesetiaanku. Allah tak pernah terkalahkan. kemenanganNya pasti.
Aku jadi ingat pesan kitab suci begini “Cukuplah karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna”.

Mengenal dan menerima kerapuhan diri merupakan sikap benar di hadapan Tuhan, yang membuat orang mau menerima kekecilan, yang memerlukan uluran tangan Tuhan. Disposisi kita berhadapan dengan karya rahmat Allah. Dari situ dapat ditemukan pergulatan kita berhadapan dengan rahmat Allah dalam diri Yesus Kristus.

Marilah kita memerangi relasi emosional dalam diri kita. Nafsu-nafsu yang menghambat relasi kita dalam kelompok, masyarakat dan dengan Tuhan sendiri.
Marilah kita memerangi permusuhan emosional kita. Sikap ini manghalangi damai, cinta dalam diri kita. Bagaimana kita bisa belajar kecuali melalui beberapa kesalahan dan kegagalan?

Renungan:
Apakah terasa ada kekuatan untuk lebih berani mempercayakan diri kepada Tuhan, sehingga kuatlah harapan, iman dan kasih? Memiliki optimisme sekaligus realistis terhadap kenyataan diri, karena percaya akan kuasa rahmat Allah?
Apakah dorongan kehendak untuk maju dalam perkara rohani semakin tumbuh?

Aku semakin yakin sesungguhnya dalam setiap ciptaan terkandung keistimewaan. Yang mana kelebihan dan kekurangan adalah isinya. Aku ingat saat pastur pendampingku berkata : “pada prinsipnya, mawar adalah mawar. Yo wis aku ki mawar. Aku gak bakal bisa menjadi melati, bunga terompet atau yang lain. Demikian melati, tak bisa menjadi mawar, terompet. Atau bunga yang lainnya”. Bahwa bunga-bunga itu dapat menjadi indah karena ia bertumbuh menjadi dirinya. Ia tak pernah membayangkan diri atau bermimpi menjadi bunga yang lain.


Kesejatiannya ada pada identitas dirinya. Demikian setiap dari kita adalah insan yang istimewa. Kita tak perlu bermimpi untuk menjadi orang lain. Tetapi cukuplah menjadi diri sendiri dengan segala kepenuhannya (Pendamping Rohani, Tri Kusuma)



Mengenang Jiwa-jiwa Orang Beriman

Alukusio

Legio Mariae Ratu Para Saksi Iman Kota Baru

1 Januari 2008

Mengenang Jiwa-jiwa Orang Beriman dalam Keabadian Surga

Sugeng Kondur, romo yang baik. You are my good teacher, you are my good friend, but, above all, you are my inspiration. The inspiration of how to live the life. Selamat mengiringi misa requiem Sri Paus di Sorga sana dengan jari-jarimu di atas tuts. Aku ingin jadi tukang parkir saja kalau sorga memerlukannya, sebab mungkin belum ada sampai jumpa lagi -- Rudi Hardono, Pr -

Selamat jalan Romo M. Sampai jumpa di tanah terjanji. Sekarang kami berdoa untuk Romo. Dan kalau Romo sudah bertemu dengan Tuhan, doakan kami semua. Salam dan doa dari kami semua, teman-teman Romo – E. John Paul Tarigan –

Saya terharu,
Saya tidak tega lihat foto yang dikirim Putut kemarin. Saya ingat nabi Ayub dan hari ini Tuhan berkenan memanggil Romo M. Tuhan terimalah dia di sisi-Mu. Berilah kekuatan untuk keluarganya, banyak sekali teladan baik yang telah Romo M berikan kepada kami semua. Selamat jalan Romo. Selamat bertemu dengan yang empunya hidup. Selamat istirahat dalam damai. Selamat bertemu dengan saudara-saudara Romo yang telah lebih dulu dipanggil Tuhan.
Romo, bila bertemu Bapa, ingatlah kami yang masih di dunia. –HB.Sapto Nugroho--.

Bacaan 2 Kor 4: 14 – 5:10 Hari Arwah Semua Orang Beriman.

A. Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus
§ Paulus tidak menyampaikan secara langsung kepada Korintus, tapi ia menitipkannya pada Titus. Maklum saat itu,Paulus dan Jemaat Korintus baru mengalami pertikaian, perpecahan. Tidak damai.
§ Surat itu berupa surat rujukan untuk jemaat Korintus.
Isi Rujukan : Supaya tidak tawar hati dalam menghadapi hidup. Ia menawarkan sebuah keyakinan iman yang semakin mendalam kepada Yesus Kristus. Itulah sebabnya Paulus sendiri tidak putus asa dalam penderitaan karena ia mempunyai harapan akan kekuatan dan kuasa Allah. Penderitaan itu bahkan mengubah dirinya dalam kemuliaan. Intinya adalah adanya Pembaharuan Batin (Keyakinan iman akan Yesus Kristus yang semakin mendalam).


Sementara berhubungan dengan hari Arwah yang kita peringati esok hari yaitu 02 November 2006, dimana jiwa-jiwa orang hidup telah kembali kepada pencipta abadi, kita kenangkan dan doakan mereka. Bahwa setiap manusia mengalami kematian itu benar dan pasti. Kita akan mati. Tapi tak tahu kapan itu terjadi?. Kita tidak pernah bisa mengetahuinya.
Aneh.......Apakah kematian itu aneh?

Memang, Rasanya tidak adil bahwa kita harus kehilangan orang-orang yang kita sayangi. Dan rasanya kematian itu menyedihkan bagi kita yang ditinggalkan. Saya teringat saat lebaran kemarin. Rasa kehilangan orang yang disayangi begitu saya rasakan. Sewaktu nenek masih hidup, lebaran adalah saat istimewa bagi keluarga kami untuk datang berkunjung ke rumah nenek (satu keluarga), Jalan kaki. Sesampai di rumah nenek, kami selalu membuat acara istimewa dengan keluarga lain. Meskipun kami Katolik sendiri, tapi kedekatan dengan nenek amat terasa bagi kami.

Lebaran kemarin sepi. Ada yang kurang. Meskipun saudara-saudara datang, tetapi kami tetap tak bisa berjumpa dengan nenek. Sadarlah saya, bahwa nenek telah meninggal. Tapi, meskipun nenek telah tiada tapi kehadirannya masih terus saya rasakan.

Mari kita lihat, bayangkan peristiwa di Baturaden. Ibu hamil, anak-pemuda, bapak meninggal tanpa di duga. Tiba-tiba. Amat gampang, kematian itu ada. Kebahagiaan berganti tangis, banjir air mata serta jeritan histeris membuat rasa perasaan kitapun tak tega melihatnya.
Tapi apakah kita akan menghindari kematian? Pasti tidak. Kematian bukan peristiwa yang perlu dihindari/takuti. Melainkan diterima/dilakoni sebagai bagian dari perjalanan hidup kita. Kematian sebagai bagian rencara Tuhan.

Satu keyakinan kita bahwa Bagaimana pun di dalam peristiwa itu ada Tuhan. Tuhan punya rencana yang melampaui umur hidup manusia di atas bumi. Dan kita mesti melihat kematian sebagai rencana Tuhan. Keyakinan Paulus sendiri bisa kita teladani bahwa Ia amat yakin bahwa Allah mampu membangkitkan hidup dari kematian. (Terjadi dalam Yesus Kristus). Kitapun mesti yakin bahwa kematian bukan hal yang buruk bagi orang yang mati itu sendiri.
Kita hening sebentar...mendoakan jiwa saudara-saudara, teman, keluarga yang telah mendahului kita. Semoga jiwa-jiwa arwah orang beriman diterima dalam kebahagiaan kekal bersama Bapa di Surga. Dan semoga kitapun senantiasa dilimpahi berkat oleh Tuhan dalam melakoni peziarahan kita di dunia (Pendamping Rohani, Tri Kusuma)



Jangan Memberi Label


Alukusio

Legio Mariae Ratu Para Saksi Iman Kota Baru


Kita pasti akan lebih gampang, mudah percaya atau menilai bahwa dari seekor ulat bulu yang jelek itu bisa lahir seekor kupu-kupu yang indah, juga tidak sulit bagi kita menerima bahwa dari sebuah telur yang kecil itu, akan menetas seekor burung perkasa, tapi sulit bagi kita melihat potensi seorang yang baik, dalam diri orang yang kita anggap musuh, orang biasa atau tidak kita kenal.


Seperti satu titik hitam yang menodai selembar kertas putih polos, akan begitu jelas dan gampang kita lihat hitamnya. Jika di tanya ada apa di selembar kertas ini? Pasti langsung dijawab titik hitam. Demikian sisi negatif itu lebih gampang kita lihat dalam diri orang lain. Dan sekali kita mencap seseorang itu secara negatif, maka tak akan sedemikian mudah kita menemukan sisi positif dalam dirinya. Label. Mungkin kita lebih gampang memasang label pada seseorang.

Saat kita berbelanja kita akan melihat label harga menempel di baju..150.000 (waduh mahal), 75.000 (lumayan murah tapi...bahannya jelek), 25.000 (wallah tipis sekali, nanti kelihatan dong kalau pake). Demikian pula terhadap orang lain, “ooo..si A itu malesan, si B gak bisa dipercaya, sementara si C orangnya sulit diajak kerjasama, individualis, egois, Nah kalau si D itu sombong. Gila... mentang-mentang dia punya ..bla..bla ..bla dan lain sebagainya.”

Label-label yang telah terpasang ini secara otomatis akan mewarnai mempengaruhi pandangan kita terhadap orang lain. Mungkin kita akan selalu berhati-hati dalam bergaul dengan orang yang ber”label” itu, atau malah mungkin menjauhinya sama sekali. Label-label ini tak sepenuhnya baik. Mungkin benar, bahwa tiap orang tidak akan pernah lepas dari label, tapi bagaimana kita memberi label positif itu lah yang penting. Bagaimana kita menemukan unsur positif dalam diri seseorang yang kita anggap malesan, ember, tak bisa dipercaya dan lain sebagainya?

Refleksi kita bahwa semua orang adalah citra Allah. Sangat tidak mungkin jika tak ada kebaikan dalam dirinya. Ada seorang tokoh Iris Murdoch mengatakan bahwa dengan memandang seseorang, sesuatu, atau situasi dengan penuh kasih-perhatian, orang semakin mencapai pengertian yang sungguh-sungguh dan karenanya ia seolah-olah dengan sendirinya tahu bagaimana harus bersikap. Ide “Yang Baik” telah ada dalam pikiran kita. Jika telah terjadi demikian, maka tidak akan gampang kita memberi label pada seseorang, atau menilai seseorang. Bahwa kebaikan itu ada merupakan sebuah kepastian yang harus kita perjuangkan. Dan jika kita telah berani dan mau terus berusaha memandang secara positif maka, tidak hanya ulat bulu yang jelek lalu menjadi kupu-kupu saja yang mudah, gampang kita lihat, tetapi dalam diri orang “yang berlabel negatif” itupun akan kita temukan kebaikan.

Marilah kita mencoba tebarkan sisi positif dan cinta untuk orang lain yang kita anggap “jelek, negatif”. Paul Coelho mengatakan dalam novel Di Tepi Sungai Piedra bahwa semakin banyak kita memberi cinta, semakin dekatlah kita pada pengalaman spiritual. Berarti kita semakin mencinta dan menemukan serpihan Tuhan dalam diri mereka. Semoga demikian. (Pendamping Rohani, Tri Kusuma)

Bunda Maria, Penjaga Pintu Surgawi


Alukusio
Legio Maria Ratu Para Saksi Iman Kota Baru
04 Oktober 2006


Bacaan : Luk 1 : 46 – 56 “Nyanyian Pujian Maria”

Ya, Kata itu terlontar dari mulut Maria atas kesanggupanNya menerima Roh Kudus dalam diriNya. Istilah latinnya fiat. Jawaban Maria setidaknya memberi inspirasi bagi kita untuk juga menanggapi segala sesuatunya dengan “Ya”.

Dalam rahim Marialah Sang Sabda menjadi Daging!. Maria mau menanggapinya dengan tulus. Fiatnya terlontar :”Jadilah padaku menurut perkataanMu itu”. (dalam bab sebelumnya). Ia mengungkapkan fiatnya dalam iman. Menyerahkan diri kepada Allah.
Keterlibatan Maria dalam mengandung Yesus, melahirkan, membesarkan, dan menghadapkannya kepada Bapa di Kenisah, serta ikut menderita dengan PuteraNya yang wafat di kayu salib, Ia sungguh istimewa bekerja sama dengan karya juru selamat, dengan ketaatannya, iman, dan pengharapan serta cinta kasihNya yang berkobar.
Ya-Nya adalah bentuk keterlibatannya dalam karya keselamatan.
Nah, peran Maria dalam keselamatan bagaimana : Memang tidak lepas dari Yesus sendiri. Ia melahirkan juru selamat, Yesus, dan berkat Yesus, Maria turut terlibat dalam karya keselamatan. Peran Maria dalam karya penebusan berkisar pada tugasnya sebagai ibu Yesus. Partisipasi lain tampak dalam saliib Kristus.

Gambaran Maria tampak jelas dalam kidung pujian Marianya. Ia amat mengagungkan Allah yang telah berkarya dalam dirinya. Setidaknya kitapun bisa belajar dariNya: Apa yang bisa kita belajar:
1. Kesediaan Maria menjadi tempat lahirnya Yesus, Juru selamat. Bagaimana dengan kita? Apakah kitapun telah bersedia menjadi tempat Allah dalam mewartakan keselamatan bagi orang lain? Atau kita cenderung mengabaikannya?
2. Kesetiaan Maria dalam mengikuti Kristus.
3. Kelemahlembutan Maria adalah cinta dan belas kasihan. Ia amat memiliki kasih sayang.
Perawan Maria menempatkan dirinya di antara PutraNya dan manusia. Semakin berdosa kita, semakin besar kelemahlembutan dan belaskasihan yang ia berikan bagi kita
Yesus, anaknya yang menyebabkan Maria meneteskan paling banyak air mata adalah anak yang paling dicintainya. Tidakkah seorang ibu senantiasa bergegas menolong anaknya yang paling lemah dan paling rentan terhadap bahaya? Tidakkah seorang dokter di rumah sakit lebih memperhatikan mereka yang menderita sakit yang paling serius? Hati Bunda Maria begitu lemah lembut terhadap kita, hingga andai saja hati segenap ibu di seluruh dunia digabung menjadi satu akan serupa sekeping es saja dibandingkan dengan hatinya. Lihat, betapa amat baiknya Perawan Tersuci! Hambanya yang mengagumkan, St. Bernardus, biasa menyapanya, “Salam bagimu, Maria”. Suatu hari, Bunda yang baik ini menjawabnya, “Salam bagimu, puteraku Bernardus.” Mungkin kita juga??????

Semua orang kudus memiliki devosi yang mendalam kepada Bunda Maria; tak ada rahmat datang dari surga tanpa melalui tangan-tangannya. Kita tak akan dapat masuk ke dalam rumah tanpa berbicara kepada penjaga pintunya; nah, Perawan Tersuci adalah penjaga pintu Surgawi.
Segala yang diminta Putra dari Bapa diberikan kepada-Nya. Segala yang diminta Bunda dari Putra, demikian juga, diberikan kepadanya. Jika kita menggenggam sesuatu yang harum, maka tangan kita akan mengharumkan apa saja yang disentuhnya: biarlah doa-doa kita melewati tangan-tangan Perawan Tersuci; ia akan mengharumkan doa-doa kita. Aku pikir bahwa pada akhir dunia Perawan Tersuci akan sangat tenang dan damai; tetapi sementara dunia berakhir, kita menarik-nariknya ke segala penjuru …. Perawan Tersuci bagaikan seorang ibunda dengan begitu banyak anak - ia terus-menerus sibuk memeriksa dan memelihara anak-anaknya satu persatu (Pendamping Rohani, Tri Kusuma)

Aku Ingin Bertemu

Sebenarnya aku kangen dengan sahabatku
Aku ingin berbincang melepas kerinduan
Kerinduan yang selama ini terpendam,
Menjadi seonggok sampah di pembuangan
Aku ingin bertemu
Sekedar berbincang melepas kerinduan


Kentungan, 12 April 2007

MewarTakan KisaH KrisTus

1. Pengantar
Kenaikan BBM yang terjadi pada tanggal 23 Mei 2008 menjadi keprihatinan bagi sebagian besar orang Indonesia[1]. Efeknya sangat besar dan menyengsarakan: Kenaikan harga bahan pokok, kenaikan tarif angkutan umum, dsb. Semuanya disebabkan kenaikan harga BBM. Namun kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM adalah hal yang tak dapat dihindarkan lagi. Pemberian subsidi BBM memang harus dikurangi sehingga roda ekonomi masih terus dapat berjalan. Situasi lokal ini sebenarnya berelasi dengan situasi global, yaitu kenaikan harga minyak per barel. Maka dapat dikatakan: penderitaan ini adalah milik dunia! Gelombang protes dan demonstrasi, menentang kenaikan harga minyak dunia, membahana di mana-mana. Hampir seluruh dunia menjerit

Ada peristiwa apa dibalik melonjaknya harga minyak dunia? Jelas bahwa ada permainan tertentu dari spekulan pemain pasar komoditas dunia. Mereka diuntungkan dengan melonjaknya harga tersebut karena strategi penyimpanan “barang” yang telah dilakukan. Maka sebagian kecil golongan sangat diuntungkan dengan penderitaan hampir seluruh umat manusia.
Kenaikan harga BBM dan penderitaan yang dihasilkannya bagi banyak orang adalah realitas sejarah dunia. Situasi dan kondisi riil ini adalah konteks terkini di dalam masyarakat tempat kita hidup. Pertanyaannya adalah: Bagaimana kita dapat mewartakan kisah Kristus dalam realitas tersebut? Inilah tema besar yang hendak dijawab dalam tulisan ini.

2. Mewartakan Kisah Kristus: Belajar dari Sejumlah Tokoh dan Peristiwa
Usaha untuk mewartakan kisah Kristus adalah sebuah usaha untuk membahasakan iman. Dengan kata lain menyajikan sebuah doktrin dalam kehidupan. Menurut John Henry Newman, doktrin itu bukanlah sesuatu yang baku dan statis, melainkan dinamis dan berkembang; sesuai dengan hakekat kekristenan, yaitu perkembangan dalam sejarah. Inilah realitas sejarah yang dihadapi: penderitaan. Maka dalam situasi ini, doktrin yang kami tampilkan berciri profetis: memaklumkan keterlibatan Allah dan dikemukakan tuntutan iman. Singkatnya, doktrin menjadi petunjuk arah dalam situasi kegamangan (akibat penderitaan) yang dihadapi, seperti: apa yang harus dilakukan? Bagaimana Kritus tetap diimani dalam situasi tersebut? Dalam kaitan dengan usaha menampilkan doktrin yang profetis di tengah situasi penderitaan yang dialami, ada beberapa tokoh dan peristiwa yang akan kami jadikan sebagai sumber pembelajaran: John Henry Newmann, Dietrich Bonhoffer, Konsili Vatikan II.

2.1 John Henry Newman
Berbicara mengenai keterlibatan Allah dalam sejarah, nama John Henry Newman tidak boleh dilewatkan. Tesis utamanya adalah penjelmaan Allah dalam diri Yesus Kristus, dalam sejarah. Sejarah itu sendiri senantiasa berkembang, maka kristianitas pun hakekatnya adalah perkembangan. Identitas dan gerak perkembangan itu bukanlah hak dan tugas ekslusif kaum berjubah, melainkan menjadi milik dan tugas seluruh umat Kristiani. Maka peran kaum awam dinilai dengan sangat berarti. Newman juga menegaskan bahwa “kristianitas punya eksistensi obyektif, yaitu terjun diri dalam pergulatan besar umat manusia. Tanah Airnya adalah dunia, dan untuk mengerti kristianitas yang nyata, kita mesti mencarinya di dunia dan mendengar bagaimana dunia bicara mengenai dia”[2]. Dalam konteks pertumbuhan iman personal, Newman mengedepankan peran dan kepekaan suara hati manusia dalam setiap situasi konkret. Suara hati ini harus senantiasa diasah sehingga peka terhadap segala krisis dan dapat menyuarakan kebenaran. Di sini, lembaga pendidikan (universitas) hadir sebagai wadah untuk mendidik dan mengembangkan suara hati manusia.

Dari serpihan pemikiran Newman di atas, kelihatan bahwa Gereja senantiasa didorong untuk terlibat dalam sejarah perjuangan hidup manusia. Jika terjadi ketidakadilan yang menyebabkan penderitaan, maka Gereja harus senantiasa bersuara menentangnya. Permainan para spekulan pasar harus dikritik. Mengapa mereka begitu tega bergembira di atas penderitaan jutaan orang? Dari ini bisa ditarik garis lurus pertanyaan dan arahan peran keluarga dan lembaga pendidikan sebagai “padepokan” pembinaan suara hati. Apakah pelbagai kegiatan pembinaan dan ilmu yang diajarkan hanya mampu menghasilkan pribadi yang pandai secara intelektual namun lemah secara moral? Hal ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi kaum religius dan awam yang bergerak di bidang pendidikan.

Gereja adalah umat Allah (baca: awam), maka awam pun harus terlibat dalam gerakan perjuangan melawan ketidakadilan. Ini adalah gerakan bersama. Di lain tempat, para politikus dan penentu kebijakan ekonomi sudah selayaknya bekerja dengan hati nurani yang tajam dengan berorientasi pada kemanusiaan, bukan profit dan kuasa. Mereka yang punya hak dan kesempatan dalam menentukan kebijakan (entah dalam lembaga legislatif ataupun eksekutif), hendaknya memperjuangkan nilai-nilai yang luhur dan membela mereka yang miskin dan tertindas. Dalam tataran praktis, setiap orang Kristen -selain punya hak untuk bersuara dan melawan ketidakadilan- juga wajib bertindak bijak dalam penggunaan BBM: hemat dan seperlunya, sehingga beban hidup dapat diminimalisir.

Dalam tataran pewartaan, di setiap mimbar, dalam setiap ekaristi, para imam tidak lagi cukup dengan hanya berkotbah tentang tema salib, cobaan dan kepasrahan dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan di dunia. Ada nilai kehidupan yang harus diperjuangkan oleh semua orang bersama Gereja. Perjuangan ini tidak berasal dari usaha manusia sendiri tapi digerakkan oleh keterlibatan Allah yang hadir dalam sejarah. Allah senantiasa hadir dan selalu (tidak hanya pernah) terlibat dalam sejarah untuk menentang ketidakadilan. Gambaran Allah yang menentang ketidakadilan dapat dilihat dalam kisah hidup Yesus yang senantiasa meluangkan waktu dan karyanya bagi mereka yang lemah, miskin, dan tertindas.

2.2 Dietrich Bonhoeffer
Selain Newman, pemikiran lain tentang tema ini disuarakan juga oleh Dietrich Bonhoeffer. Ia hidup dalam zaman di mana Kristianitas tidak lagi memegang kendali dunia tetapi lebih sebagai paguyuban kecil di tengah dunia yang pluralis dan terus berkembang tanpa bisa dikendalikan. Bonhoeffer mengkritik Gereja Lutheran yang berafiliasi dengan Nazi yang memimpin pemerintahan. Ia juga mengkritik Gereja Katolik yang “diam” terhadap pembantaian enam juta orang Yahudi. Bonhoeffer terlibat secara dekat dalam usaha untuk menggulingkan pemerintahan Hitler yang kejam, sebagai usaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana manusia dewasa ini berjumpa dengan Allah yang merahmatinya. Kesaksian dan perjuangan teologi-sosial-politiknya menghantar orang pada keyakinan bahwa Allah hadir dalam kondisi dunia yang penuh penderitaan dan keterhimpitan hidup. Bonhoeffer membayar mahalnya rahmat Allah dalam perjuangan itu dengan nyawanya sendiri. Ia dihukum mati (rahmat Allah).

Bagi Bonhoeffer, dalam diri Yesus, Allah menjadi riil dalam dunia. Maka Yesus menjadi pusat hidup kita kalau kita terlibat dalam usaha agar Allah menjadi real di dunia. Menjadi orang Kristen menurut Bonhoffer berarti menjadi kristosentrik dalam praksis; Kristus hanyalah pusat hidup dalam keterlibatan konkret.

Bagaimana dengan Gereja Katolik Indonesia Apakah sudah cukup bersuara dan mengambil sikap atas krisis kenaikan BBM yang merugikan orang miskin? Atau masih saja sibuk dengan Kongres Ekaristi, Nota Pastoral Remaja-Anak-anak dan Lingkungan Hidup. Bukankah ini saatnya untuk berbagi Lima Roti dan Dua Ikan dari Tuhan itu kepada yang sungguh-sungguh membutuhkannya? Bersama Bonhoeffer kita bisa bertanya, dalam situasi seperti ini, adakah Allah hadir dan berperan di dalamnya(etsi deus non daretur: seakan-akan Allah tidak ada)? Ia meminta Gereja bukan hanya merawat para korban yang tergilas roda kekerasan melainkan juga bertugas untuk melibatkan tangannya pada jeruji-jeruji roda kekerasan politik dan menghentikannya. Turun tangan seperti itu adalah politik langsung dan Gereja hanya boleh dan harus bertindak seperti itu kalau Gereja melihat bahwa negara gagal dalam tugasnya untuk mewujudkan keadilan dan ketertiban.

2.3 Konsili Vatikan II
Dalam Konsili Vatikan II, Gereja melihat keberadaannya di dunia ini: bagaimana dirinya terlibat dalam masalah-masalah utama zaman ini, terutama yang berkaitan dengan hidup konkrit manusia. Gereja menjadi sarana kehadiran Kristus di dunia ini. Kristus yang menyampaikan kabar gembira keselamatan bagi semua orang. Untuk itu, Gereja tampil sebagai sakramen keselamatan manusia (LG art 1, 9, 48). Keselamatan itu bersifat universal, maka Gereja diutus untuk melibatkan diri dalam dunia/masyarakat melalui pelayanan dalam pemenuhan keselamatan pada akhir jaman, "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru" (Why 21:5).
Dalam situasi dan kondisi masyarakat Indonesia dengan kenaikan BBM, Gereja dituntut untuk hadir, terlibat serta memberikan kegembiaraan dan harapan bagi umat manusia, khususnya mereka yang menderita akibat kebijakan politik ini. (Gaudium et Spes art 1). Di sini menghadirkan karya keselamatan-Nya bagi siapa saja di dunia. Gereja mengejawatahkan keterlibatan Allah dalam peristiwa hidup manusia. Allah adalah Allah yang terlibat dalam sejarah manusia. Hal ini berarti bahwa Allah bertindak bersama dan dengan umat-Nya di dunia, supaya semua umat Allah masuk dalam kesatuannya dengan Allah (GS art 40).
Siapakah Gereja yang harus terlibat itu? Gereja adalah seluruh umat Allah yang hidup dan dipersatukan oleh Roh Kudus. Gereja menjadi realitas nyata kehadiran Kristus dalam dunia, sekaligus dipanggil untuk melanjutkan karya-Nya di dunia sesuai dengan konteks zaman. Inilah peran Gereja sebagai persekutuan umat Allah yang hidup dalam dunia, serta terlibat dalam dunia. Mereka, umat Allah, menjalankan segala macam tugas dan pekerjaan duniawi di tengah-tengah realitas sosial mereka sesuai dengan kompetensi, kharisma-kharisma pribadi sebagai karunia Allah (LG art 31, 36). Keterlibatan itu merupakan suatu panggilan sebagaimana mereka tercipta melulu demi kemuliaan Allah. Demikian keterlibatan mereka lahir dari keselarasan suara hati, sebagai bagian Gereja dan dunia, supaya perutusan Gereja dalam dunia semakin nyata bersentuhan dengan realitas yang hidup di dalamnya (LG art 36).

Dalam konteks sosial masyarakat Indonesia sekarang ini, kenaikan BBM menyisakan persoalan dalam kehidupan masyarakat. Entah munculnya demo, kenaikan harga tiket angkutan, maupun harga sembako. Tentu saja hal ini merepotkan masyarakat yang miskin. Mungkin di sinilah muncul ketidakadilan. Siapa yang paling merasakan ketidakadilan ini tidak lain adalah masyarakat miskin. Gereja setidaknya memberikan penyadaran dan pembelaan terhadap mereka, sejauh kapasitas Gereja sendiri. Apabila masyarakat sadar dengan realitas ketidakadilan yang mereka alami, setidaknya mereka akan terpacu untuk memperjuangkan hidup supaya lebih baik, serta berkehendak menciptakan tatanan dunia yang baru demi kemuliaan Allah.

3. Tesis
Kisah Kristus yang hendak kami wartakan di tengah situasi penderitaan ini adalah Kristus yang senantisa berjuang mewartakan Kerajaan Allah dan menentang ketidakadilan (Mt 6:33). Ini menjadi tanda keterlibatan Allah dalam sejarah dunia. Dengan ini orang Kristen diajak untuk bersikap tegas dalam melawan ketidakadilan yang berakibat pada penderitaan. Allah menjadi sumber penggerak sekaligus yang terlibat, Dia pulalah yang memberikan harapan akan masa depan yang lebih baik.











[1] Sumber: Tempo Edisi 26 Mei – 1 Juni 2008. Harga baru premium Rp. 6.000,- (dari Rp. 4.500,-); solar Rp. 5.500,- (dari Rp. 4.300,-); dan minyak tanah Rp. 2.500,- (dari Rp. 1500 ).
[2] Lih. JH. Newman, The Development of Christian Doctrine, dikutip dalam: Beriman Sungguh-Sejarah Doktrin Gereja, (diktat oleh Bernhard Kieser SJ,), Yogyakarta, 2001, hlm 142.

Kristianitas yang “Katolik” dan menyejarah

Pertanyaan Mendasar:
Dalam kajian tentang pemikiran John Henry Newman ini, kami hendak mengajukan tiga buah rumusan pertanyaan yang hendak dijawab dalam tulisan ini.
1. Bagaimana Orang Kristen dapat mengenal Allah secara personal untuk kemudian mengungkapkan dan membahasakan imannya dengan tepat di tengah dunia yang terus menerus berubah?
2. Bagaimana Orang Kristen dapat bersikap terbuka terhadap perkembangan zaman sambil terus memperhatikan dan setia pada pelbagai ajaran Gereja yang sudah ada?
3. Apa yang dimaksud dengan Katolisitas dalam perkembangan sebagai wujud Gereja yang sejati?

A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang
1. KELUARGA DAN PENDIDIKAN
John Henry Newman (1801-1890) lahir di London, dalam keluarga Anglikan sebagai anak sulung dari enam bersaudara. Ayahnya bernama John Newman yang adalah pemilik bank. Ia merupakan anggota Gereja Anglikan. Beliau meninggal pada tahun 1824. Sedangkan ibunya -Jemima Fourdrinier- berasal dari keluarga Protestan-Kalvinis Perancis yang dengan getol mendidik Newman dengan ‘agama kitab suci’ (Protestan). Beliau meninggal tahun 1836.
Ketika berumur tujuh tahun, Newman disekolahkan secara privat di Ealing milik Dr. Nicholas. Newman mempunyai kegemaran membaca Kitab Suci, roman Walter Scott. Dia juga gemar membaca buku-buku karangan Paine, Hume dan bahkan Voltaire yang beraliran skeptis. Buku-buku itu rupanya memberi pengaruh bagi pemikirannya. Pada usia 15 tahun, Newman mengalami pertobatan eksistensial mendalam: kesadaran bahwa hanya ada Aku dan Penciptaku.

Kegembiraan masa kecil Newman rupanya diwarnai dengan situasi yang tidak mengenakkan. Maret 1816, bank milik ayahnya harus tutup karena adanya (dan akibat) perang yang dilakukan oleh Napoleon. Tutupnya bank tersebut membuat perekonomian keluarga menjadi kacau. Masa krisis ini menyebabkan Newman tetap tinggal di sekolah meskipun dalam masa liburan. Newman mencoba mengambil hikmahnya dengan adanya peristiwa ini. Peristiwa ini dianggap sebagai salah satu yang sudah ditakdirkan Tuhan bagi hidupnya. Perubahan pandangan Newman ini di bawah bimbingan Rev Walter Mayers yang nantinya mengarahkan Newman pada aliran Kalvinis-evangelis.

Pada tanggal 4 Desember 1816, Newman diterima di Trinity College, Oxford. Memang dari segi biaya Newman mengalami ketersendatan. Tetapi kecerdasannya melebihi teman-temannya sehingga dia mendapat beasiswa. Dan pada tahun 1823, Newman mampu menyelesaikan itu semua.

2. IMAM: DARI ANGLIKAN KE KATOLIK SAMPAI MATI
Pada tahun 1825, newman ditahbiskan menjadi imam Anglikan. Setahun berikutnya ia menjadi pengajar dan pendidik di Oxford dan pengkhotbah di gereja universitas. Khotbah dan renungan-renungannya membuat Newman menjadi terkenal di dalam gerejanya. Gambaran gereja yang diperoleh melalui studi para Bapa Gereja membuat dirinya tertekan dan sedih karena gambaran yang dia punyai berlainan dengan dengan gereja yang aktual. Tahun 1983 dia bersama rekan-rekannya melihat Gereja Katolik secara lebih detail dan mereka menilai bahwa Gereja Katolik juga jauh dari gereja sejati. Newman semakin menyadari tugasnya yang tidak mudah yaitu mengadakan pembaharuan hidup gereja sejati. Ia mendirikan gerakan pembaharuan itu dikemudian hari disebut dengan Gerakan Oxford.[1] Tahun 1839, Newman mencapai puncak kegelisahan pemikiran dalam gereja. Ia mulai meragukan asas Gereja Anglikan yang melihat gereja bapa-bapa gereja sebagai asasnya[2]. Tahun 1843 Newman meletakkan jabatannya sebagai imam dan juga berhenti sebagai dosen dan pengkhotbah.
8 Oktober 1845 Newman beralih ke Gereja Katolik. Dan pada tahun 1847, dia ditahbiskan sebagai imam katolik. Dia mencoba untuk membina iman dalam katolisitas atau universalitas sejati. Tahun 1854 Newman merintis dan mendirikan Universitas Katolik di Dublin / Irlandia. Baginya, pendidikan di universitas yang bersifat terbuka memampukan orang kristiani untuk hidup beriman dalam dunia. 1879 ia diangkat sebagai kardinal oleh Paus Leo XIII. Perjalanan panjangnya berakhir ketika ia wafat pada 11 Agustus 1890. Pada tahun 1991, ia mendapat gelar Venerable (“Yang Dimuliakan”) dari tahta suci dan kini proses beatifikasinya masih terus berlanjut.

Hidup Newman meliputi hampir seluruh abad 19.; mulai dari zaman Napoleon yang membawa Revolusi Perancis ke semua negara Eropa, lewat masa ‘romantik’ budaya dan religius, lewat puncak zaman kolonial dan lewat revolusi industri, lewat masa awal demokrasi sampai puncak kuasa negara-negara nasional, pada ambang masa Perang Dunia Pertama. Di masa yang sama, Gereja Katolik, melalui Paus Pius VII (1800-1823), mengadakan pembaharuan dengan lahirnya banyak kongregasi membiara (terutama untuk memberantas kemiskinan dan untuk karya misi di wilayah penjajahan); ada Paus Gregorius XVI (1831-1846) dan Paus Pius IX (1846-1878) yang membela tahta suci dan membentengi gereja melawan dunia yang bermusuhan; dan ada Paus Leo XIII (1878-1903) ingin membawa warta gembira dalam dunia yang tidak lagi peka terhadap kehadiran rahmat.

Salah satu paham yang mewarnai kehidupan jaman itu adalah liberalisme (iman) yang menekankan kebebasan berpikir dalam beriman yang tidak terkungkung pada ajaran otoritas tertentu. Walau pandangannya terkesan progresif, namun Newman (saat masih berada di Gereja Anglikan) melawan liberalisme iman dengan menegaskan bahwa iman kristiani mengandalkan pokok-pokok iman yang terumus dalam syahadat, dan gereja merupakan paguyuban tertata di bawah pimpinan uskup[3].

B. POKOK-POKOK PEMIKIRAN
1. Pewahyuan dan kesetujuan iman
a. Allah Hadir dalam Sejarah dan Menjadi Manusia: Ide Dasar Kristianitas
Bagi Newman, kristianitas merupakan suatu fakta sejarah dan dapat menjadi pokok penelitian dari penalaran[4]. Maksudnya Newman melihat bahwa kristianitas bermula dari peristiwa Allah yang menyejarah: menjadi manusia, hadir dalam sejarah hidup manusia dalam diri Yesus. Inilah ide awal kekristenan.

Pandangan kristianitas yang menyejarah itu tidak datang begitu saja. Newman mendasarkan pandangan itu pada pengalaman hidupnya: Pertama, pada saat ia belajar di Trinity-College di Oxford. Ia mulai tertarik terhadap “kehidupan gereja para bapa gereja serta keyakinan akan gereja sebagai paguyuban iman yang katolik, yang universal sepanjang masa”. Pemahaman ini mengarahkan dirinya dalam pergulatan hidup yang senantiasa mengalami perkembangan. Perkembangan inilah tanda sejati bagi kehidupan. Kedua, saat ia mempelajari Konsili Khalkedon, ia melihat bagaimana para teolog serta uskup dari alexandria (yang monofisit[5]) terus-menerus mengacu pada “ajaran kuno”, yakni ajaran tradisi lama. Tindakan para teolog dan uskup tersebut merupakan usaha untuk membela pendapat mereka melawan Paus Leo I serta menantang rumus Konsili Khalkedon. Sementara dalam perjalanan waktu, Gereja Katolik, Anglikan, maupun protestan mengakui isi dari Konsili Khalkedon[6].

Dari dua pengalaman itu, Newman melihat bahwa kristianitas itu menyejarah dan berkembang. Dan hal tersebut bisa dianalogikan dengan perumpamaan biji sesawi. Biji sesawi adalah biji yang paling kecil. Namun manakala ditaburkan, ia akan bertumbuh menjadi pohon besar yang dapat memberikan perlindungan bagi mahluk lain di sekitarnya. Analogi “biji sesawi’ ini sangat tepat kiranya untuk menggambarkan adanya perkembangan yang bertahap dalam Gereja. Biji sesawi yang dimaksud adalah Kehadiran Allah dalam diri Yesus. Inilah ide awal-dasariah yang senantiasa direfleksikan oleh Gereja sesuai dengan konteks zamannya. Contoh nyata dari perkembangan refleksi Gereja akan Yesus adalah Gereja para rasul, Gereja Patristik, Skolastik, Trente, Vatikan I, Vatikan II sampai pada akhir zaman.

b. Suara Hati Sebagai Sumber Kesetujuan Iman[7]
Kristianitas yang menyejarah merupakan hasil refleksi dan buah kesetujuan iman Gereja. Iman terus mengalami perkembangan dan tidak akan pernah mandeg untuk digali. Newman melihat bahwa manusia mampu berefleksi tentang Allah karena Allah menganugerahkan daya imajinasi religious kepada diri manusia.
“Allah sebagai kenyataan yang hidup kita kenal dengan daya imajinasi religious, dan diyakini sebagai kebenaran melalui penalaran teologis. Bukan seakan-akan ada pemisahan tegas antara dua cara kesetujuan itu, antara yang teologis dan yang religius. Semua orang punya penalaran dan semua punya imajinasi; demikian pula semua orang-dalam arti tertentu- berteologi. Dan teologi hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan daya awal dan daya dorong dari religiositas yang hidup”[8]

Sedangkan refleksi manusia akan Allah itu tidaklah sempurna karena keterbatasan manusia dalam membahasakan imannya. Oleh karena itu, Newman berpendapat bahwa refleksi iman yang telah terbahasakan tersebut dapat selalu direfleksikan lagi sesuai dengan konteks zamannya.
“Semua manusia berakal budi dan mengerti, namun tidak semua orang merefleksikan pengertian mereka, apalagi dapat berefleksi tepat dan cermat, sehingga mereka dapat menjelaskan pendapat mereka. Dengan kata lain, semua manusia punya alasan namun tidak semua orang dapat menjelaskan pengertian mereka dengan alasan ……..”[9]

Dalam refleksi iman ini, Newman membedakannya adanya 2 kategori kesetujuan untuk membentuk iman yang berkembang, yaitu :
1. Real Assent (kesetujuan real): merupakan kesadaran pada pusat pribadi manusia yang menangkap hidup dalam sejarah dan juga menangkap Dia sebagai Tuhan kita. Kesadaran ini ada dalam diri manusia yang berasal dari suara hati saat menangkap suatu realitas, sehingga mengantar pada suatu kesetujuan pribadi. Fokus perhatiannya pada iman yang hidup. Iman bukanlah suatu sikap yang tidak bisa berubah, iman lebih dari sekedar ajaran tertentu, tetapi iman merupakan kesetujuan dari suara hati yang hidup dalam hati setiap manusia dan mengarahkan diri kepada Allah.
2. Notional Assent adalah kesetujuan iman yang diterima secara kritis. Iman tidak sekedar kesetujuan tanpa nalar, tetapi diterima dengan konsep logika yang benar. “Tanpa pengalaman, iman tidak kredibel, tanpa usaha nalar, iman tidak konsisten”[10]. Iman lahir dari kejujuran setiap pribadi yang ingin beriman.

Dapat dikatakan bahwa Notional assent merupakan pemahaman kritis akan iman dalam pemikiran teologi, ajaran/dogma dll, sementara real assent adalah kesetujuan iman berdasarkan pengalaman hidup yang direfleksikan. Dasar refleksi itu adalah suara hati yang mengarahkan manusia kepada Allah[11]. Pengalaman hidup yang diterima oleh panca indra dan diolah akal budi. Pengalaman itu kemudian dituliskan dalam gagasan teologi yang bersifat terbatas. Hal itu dikarenakan iman selalu bisa berkembang dan selalu bisa didialogkan dengan pengalaman seseorang.

Dinamika untuk melihat peran suara hati dalam kaitannya dengan real assent dan notional assent dapat digambarkan sebagai berikut : ide awal mengenai Yesus direfleksikan oleh Gereja yang dikontraskan dengan pengalaman pribadi. Dari sini suara hati mulai berbicara apakah refleksi mengenai Yesus, yang telah dibahasakan dalam doktrin oleh Gereja, sambung atau tidak dengan pengalaman hidup. Jika doktrin Gereja tersebut tidak sambung dengan pengalaman hidup, akhirnya suara hati turut berperan untuk merefleksikan kembali doktrin tersebut. Contoh sederhana untuk menggambarkan peran suara hati dalam mengambil keputusan konkret adalah ketajaman hati dan pemahaman yang menyeluruh ketika menghadapi gencarnya tuntutan legalisasi aborsi di jaman ini.

Pembahasan tentang suara hati dalam kerangka kesetujuan iman mengungkapkan asumsi antropologis Newman tentang manusia: pribadi yang merdeka dan otonom terhadap segala macam ketentuan dari luar. Dengan suara hati[12], manusia menyatakan kesetujuan iman. Dalam kesungguhan suara hati, manusia berjumpa dengan Allah sendiri. Dalam nuansa moral, Newman melihat suara hati sebagai pengarah dan pengatur tindakan manusia, yang menunjukkan eksistensinya dalam partikularitas. Artinya: menyajikan apa yang harus diperbuat, mana yang benar atau salah, dalam situasi konkret. Partikularitas inilah yang mendasari argumennya bahwa suara hati tidak dapat terlibat dalam pertentangan dengan ajaran Gereja (khususnya infalibilitas)[13], karena keduanya memiliki wilayah cakupan yang berbeda. Bagi Newman, suara hati juga bersifat imperatif: ada di dalam setiap pribadi dan menjadi pengarah yang bersifat memaksa[14].

c. Pendidikan Suara Hati
Suara hati yang berperan dalam merefleksikan iman Gereja secara jujur membutuhkan sarana. Sarana tersebut adalah pendidikan. Di sini Newman melihat bahwa pendidikan amat penting untuk terbentuknya suara hati yang jujur. Dengan pendidikan, suara hati diajar untuk mengenal nilai-nilai moral, baik dan buruk, sehingga suara hati semakin murni dalam melihat, menilai dan mengambil keputusan. Suara hati juga diasah untuk berkembang, khususnya ketika berhadapan dengan dunia yang juga berkembang. Jadi, suara hati tidak hanya terbelenggu pada fanatisme, tetapi mau melihat pelbagai ajaran yang ada (baca:doktrin) tersebut secara jujur.

2. Iman dan Pembahasaannya yang Berkembang
Kristianitas adalah agama yang menyejarah. Dan sejarah itu tidak hanya bermakna sebagai kemunculannya di masa lampau namun juga perkembangannya ke masa depan. Sifat menyejarah itu mencakup pula perkembangan iman dan doktrin: untuk dapat membahasakan dan mengungkapkan iman yang hidup secara terus menerus. Pengungkapan iman juga didorong oleh situasi zaman yang terus berubah. Maka pembahasaan iman juga merupakan respon terhadap tuntutan zaman. Dengannya terungkap iman yang senantiasa teraktualisasi untuk hidup di sini dan saat ini (hic et nunc).

Dalam kaitan dengan budi manusia, Newman mengungkapkan alasan terjadinya perkembangan iman yaitu budi manusia yang menangkap, mengolah, dan mengembangkan ide (obyek tentang kristianitas) yang ia terima[15]. Dan karena hakekat kristianitas adalah Allah yang terlibat dalam sejarah, maka perkembangan adalah suatu hal yang normal dan (bahkan) dibutuhkan demi pencapaian ide yang utuh tentang Kristianitas. Hal ini tidak pertama-tama dimengerti sebagai hasil diskusi yang panjang, melainkan lahir dari proses kehidupan dalam Gereja[16].
Studinya mengenai sejarah dan pemikiran Bapa-bapa Gereja membuatnya semakin yakin bahwa selain ide perkembangan, kriteria kebenaran iman juga ditentukan oleh Katolisitas. Kata ini mengisyaratkan tema keterbukaan dan universalitas, artinya terbuka terhadap perkembangan dan merangkum perjalanan umat Allah sebagai satu kesatuan yang memberi bentuk bagi doktrin dan hidup gereja, tidak hanya ditentukan oleh hirarki. Maka bagi Newman, “katolisitas dalam perkembangan” adalah wujud Gereja sejati.

Newman menjadi Katolik (1845) ketika sedang bergumul dalam pembuatan buku Essay on the Development of Christian Doctrine, dan pergumulan itu pulalah yang akhirnya mengantar dia untuk bergabung dengan Katolik Roma. Konversinya ini tidak dilihatnya sebagai perubahan, melainkan perkembangan Penelitiannya terhadap sejarah Kristen memaksanya untuk mengakui bahwa semua hal berkembang dan berubah dalam waktu, termasuk Gereja. Baik institusi maupun ide kekristenan telah berkembang. Dan ia melihat bahwa secara bertahap, Gereja Katolik Roma telah mengalami perkembangan tersebut selama berabad-abad, menjadi sebuah entitas yang berbeda dengan Gereja patristik. Namun garis perkembangan itu tetap bersifat kontinyu[17].

a. Tujuh Kriteria: perkembangan atau kemerosotan
Dalam Essay on the Development of Christian Doctrine, Newman melihat bahwa perkembangan doktrin kristinanitas dalam sejarah bukanlah tanpa batasan, di mana setiap perubahan-gerakan dapat dipandang sebagai perkembangan. Newman membedakan antara perkembangan dengan kemerosotan. Dan untuk melihatnya sebagai perkembangan, ada tujuh kriteria yang menjadi batasan untuk melihat suatu perubahan sebagai perkembangan.
1. Setia pada ide awali
2. Nampaklah kontinuitas dalam asas-asas
3. Mampu mengasimilasi ide-ide dari luar
4. Ajaran ini di kemudian hari dikenal kembali dalam ajaran kuno
5. Penelitian membuktikan kesinambungan
6. Ajaran kuno dipelihara utuh dalam doktrin di kemudian hari.
7. Hidup iman penuh gairah berlangsung terus
Ketujuh kriteria ini memegang peranan penting dalam ide “perkembangan”, bahwa ada inti yang terus menerus menetap ada dalam gerakan tersebut, namun ada juga yang senantiasa bergerak atau dengan kata lain berkembang. Maka tidak boleh ada kemandegan dalam doktrin iman. Metafor yang dapat digunakan dalam menggambarkan perjalanan doktrin kekristenan adalah bola salju. Di dalam bola salju ada inti terdalam yang terus menerus ada dan menetap. Namun bola salju itu terus bergerak dari waktu ke waktu, maka ada yang senantiasa yang berkembang

b. Konsekuensi dari Gerak Perkembangan Iman dan Doktrin
Pertanyaan yang layak ditujukan dalam mencermati teori tentang perkembangan ini adalah Jika kristianitas adalah satu dan berpijak pada peristiwa Allah yang menyejarah, maka dari mana asalnya pelbagai macam perbedaan dalam pengungkapan dan pembahasaan iman? Sejarah gereja telah mencatat lembaran-lembaran “hitam” disintegrasi dalam Gereja, tidak hanya dalam aneka disiplin namun juga pada teologi dan pengungkapan imannya. Apakah ini konsekuensi logis dari gerak perkembangan iman ini?
Dari perspektif Newman, ketujuh kriteria yang dibuatnya menjadi patokan untuk melihat hal tersebut. Namun fakta bahwa ada disput dan perpecahan dalam Gereja yang menyejarah, tidak adil bila rasanya istilah “kemerosotan” diarahkan pada mereka. Secara lebih positif mungkin dapat dikatakan bahwa pembahasaan iman yang berbeda timbul dari suatu doktrin yang diekstrimkan. Bila suatu doktrin menjadi ekstrim, mutlak; maka hal yang berkebalikan akan juga muncul dan berupaya menyeimbangkannya.

Hakekat waktu menjadi sangat vital, karena kebenaran iman yang sejati tertuang dalam perkembangan, konkretnya dalam sejarah. Maka setiap gerak perkembangan kekristenan harus dilihat dalam konteks waktu. Terlihat bahwa Newman yakin: kebenaran ternyata dalam (lanjutan) waktu: Praevalebit Veritas[18]

C. Relevansi dan Sumbangan Pemikiran Newman[19]
Newman menekankan pentingnya melihat sejarah dalam konteks pembahasaan iman yang terus berkembang. Kata “sejarah” mengandaikan adanya pangkal, proses, dan tujuan. Demikian juga kristianitas. Pangkalnya adalah penyataan diri Allah dalam Yesus Kristus. Proses perkembangannya dapat terlihat dari potret sejarah Gereja. Sedangkan tujuannya adalah mencapai kebenaran, berjumpa dengan Allah sendiri. Maka tidak ada harga mati dalam suatu doktrin. Demikian juga ajaran Gereja bukanlah kata akhir. Namun kebenaran iman ditangkap dalam sikap bersejarah, yaitu dalam keterbukaan pada masa depan, di mana waktu menjadi penguji sah doktrin iman.

Metode teologi Newman, yang senantiasa berpijak dari sejarah, membuatnya layak disebut teolog historis. Keyakinan iman yang dipegang adalah Allah (senantiasa) bertindak, bersama dan dengan umat Allah, dalam sejarah umat manusia (GS 40). Iman itu pun berkembang kalau umat menyeluruh (baca:katolik) terbuka dalam melibatkan diri untuk perjuangan hidup manusia. Newman mengatakan pula bahwa “tanah air” kekristenan adalah dunia. Eksistensi obyektif kristianitas adalah terjun dalam pergulatan umat manusia[20].

Selain itu, Newman memberi tempat bagi peran masing-masing pribadi dalam menghayati dan membahasakan iman, yaitu kesungguhan suara hati. Otonomi dan kebebasan manusia Kristen diungkapkan dengan kesetujuan real untuk beriman (DV 5) pada tindakan Allah dalam sejarah, khususnya dalam diri Yesus Kristus (DV 4). Newman membantu orang untuk menjadi semakin beriman, mengiyakan Allah dalam hidupnya secara eksistensial. Iman bukan hanya ketaatan buta pada sejumlah ajaran, tapi harus berpijak pada pengalaman dan diuji secara nalar[21].
Tema kesetujuan iman masing-masing pribadi dalam menghayati hidup dan menangkap Allah, memberi kredit tersendiri bagi peran kaum awam dalam membentuk dan mengembangkan doktrin kekristenan. Dalam salah satu karangannya[22], ia mengingatkan bahwa katolisitas dari iman Kristiani yang utuh itu dipercayakan pada seluruh Gereja dan diungkapkan oleh pewartaan Uskup, pengajaran para teolog dan juga oleh keyakinan umat. Secara bersama-sama, mereka mewujudkan perkembangan Kristianitas[23]. Tema katolisitas juga menekankan pentingnya peran awam dalam hidup menggereja. Gereja adalah sakramen dan pertama-tama Umat Allah (bdk LG 9, 10-12).

Ide katolisitas juga diungkapkan dengan tepat, khususnya ketika banyak sikap resisten bermunculan dengan dogma infalibilitas Paus. Newman menjawab resistensi itu[24] dengan menyatakan bahwa infalibilitas Paus dimengerti dalam rangka infalibilitas iman seluruh Gereja, dan terutama infalibilitas Paus mengandalkan dan mengandaikan kebebasan dan tanggungjawab suara hari setiap orang beriman dan sama sekali tidak dapat membatalkannya[25].
Sumbangsih yang tak kalah pentingnya hadir dalam pemikirannya tentang peran pendidikan bagi perkembangan kekristenan. Dalam sejarah hidupnya, ia banyak bergulat dengan bidang pendidikan[26]. Dalam tulisannya yang berjudul The Idea of University, ia menekankan peran penting yang seharusnya tampil dari universitas (lembaga pendidikan), yaitu mempersiapkan orang-orang dari dunia bagi dunia. Di dalamnya, aneka pemikiran kritis dari dunia modern harus dikaji, bukan diabaikan. Selain itu, pelbagai ilmu dikaji secara mendalam, aneka metode diajarkan, sehingga menghasilkan studi yang berbuah bagi kehidupan[27]. Baginya jelas bahwa daya intelektual manusia dipertajam dengan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan dengan iman dan kesetujuan suara hati, pendidikan berperan dalam menyajikan sarana untuk membentuk iman yang terbuka dan berkembang dalam dunia. Dalam konteks doktrin, pendidikan juga mengasah suara hati untuk tidak terbelenggu pada fanatisme dan kekakuan, tetapi mau melihat kembali doktrin-doktrin tersebut secara jujur, sehingga dapat berkembang. Doktrin dan perumusan iman harus ditafsirkan secara terbuka, seluas mungkin bagi umat manusia.

Penutup
Newman hadir di saat tepat, di masa Gereja sedang mengalami transisi. Ia memperantarai kekakuan pembahasaan iman yang tertuang dalam Konsili Vatikan I dan pemikirannya menjadi benih-benih yang meramalkan Konsili Vatikan II[28], di mana salah satu gagasan dasariahnya adalah keterbukaan. Sebutan tokoh ekumenis juga disematkan pada dirinya. Salah satu sebabnya adalah bahwa ketika ia bergabung dengan Gereja Katolik (tahun 1845), ia membawa warisan “protestannya” dan tidak membuangnya[29]. Baginya konversinya pada Gereja Katolik Roma adalah sebuah perkembangan. Selain itu, ide katolisitas dan keterbukaan dalam penafsiran rumus iman, yang bertujuan agar penghayatannya merangkum seluas mungkin orang, memperkuat posisinya sebagai tokoh ekumenis. Ia menjelajahi katolisitas iman yang terdapat dalam Gereja Katolik, namun tidak terbatas hanya pada Gereja Katolik[30].
Hidup orang beriman adalah usaha untuk mencari kebenaran. Ini jugalah yang mendorongnya untuk senantiasa terbuka pada perkembangan dalam doktrin. Termasyur pula semboyan atas makamnya ex umbris et imaginibus in Veritatem (dari bayangan dan gambaran menuju sampai kebenaran) mengungkapkan bahwa gambaran tidak sama dengan kebenaran. Pelbagai ajaran Gereja bukanlah kata akhir, bukanlah Tuhan sendiri. Perjalanan hidup Newman adalah untuk mencari kebenaran[31]. Demikianlah setiap doktrin senantiasa berkembang dalam sejarah. Pemikirannya telah mengajak kita terus berproses untuk senantiasa membahasakan iman dalam konteks yang tepat dalam sejarah, senantiasa berkembang, namun tetap setia pada ide awalnya: Kehadiran dan keterlibatan Allah dalam sejarah, terutama dalam diri Yesus Kristus.


Daftar Pustaka:
Kieser, Bernhard. Beriman Sungguh Sejarah Doktrin Gereja, (Diktat) FTW, Yogyakarta, 2001
Grave, SA. Conscience in Newman’s Thought, Clarendon Press, Oxford, 1989
Martin, Brian. John Henry Newman-His Life and Works, Chatto and Windus, London, 1982
Tablet, vol 262, Januari 2008
R. Boudens, Growth” A Key Concept in Understanding Newman, dalam Ephemeridhes Theoloogicae Lovanenses, Vol. 69, 1993


Catur Priyo Utomo
Dandi Sebastian
Eko Wahyu
Raka Setiaji
Tri Kusuma
Ulun Ismoyo

[1] Gerakan Oxford adalah gerakan pembaharuan suatu gereja yang independen dari penguasa politik sebagai paguyuban orang beriman yang mendapat wewenangnya dari para rasul, bukan dari raja atau dari DPR.
[2] Karangan brosur “Beberapa catatan mengenai bagian dari 39 Artikel”, yakni artikel dalam Prayer Book (Syahadat Resmi Gereja Anglikan), menghasilkan konflik dengan sejumlah uskup dan awam terkemuka dalam Gereja Anglikan. Dalam karangan ini, Newman memperlihatkan bahwa ke-39 artikel ini dapat dan harus diartikan secara Katolik.
[3] Lih. Bernard Kieser, SJ, Beriman Sungguh : Sejarah Doktrin Gereja, Yogyakarta, hlm 141
[4] Disadurkan dari J.H.Newman, An Essay on the Development of Christian Doctrine. The Edition 1845. Edited with an introduction by J. M. Cameron, Pinguin Books, 1974. Kutipan diambil dari Chapter II, On The Development Christian Ideas, Antecedently Considered Section I. On The Probability of Development In Christianity, 148-165, sebagaimana dikutip oleh Bernard Kieser, SJ, Beriman Sungguh : Sejarah Doktrin Gereja, Yogyakarta, 150.
[5] Gereja-Gereja besar yang tidak menerima rumus iman dari Khalkedon, yaitu mengenai rumus trinitaris dan kristologis, adalah Gereja monofisit koptik di Mesir, Syria Barat, dan Gereja Armenia dan Georgia.
[6] Isi dari Konsili Khalkedon adalah adanya pengakuan bahwa Tuhan kita Yesus Kristus adalah Anak yang satu dan sama, sebagai begitu sempurna dalam keallahan dan sempurna dalam kemanusiaan, Yesus adalah sungguh Allah-sungguh manusia.
[7] John Henry Newman (1801-1890) memandang suara hati adalah kesadaran untuk tak tergoyahkan, tanpa menghiraukan segala macam pertimbangan dan kepentingan kita sendiri. Jadi, ada kemutlakan tuntutan untuk melakukan apa yang disadari sebagai kewajiban dirinya sebagai manusia.
[8] Kutipan dari Essay in aid of a grammar of assent…….” dalam Bernard Kieser, SJ, Beriman Sungguh : Sejarah Doktrin Gereja, hlm. 145
[9] Bernard Kieser, SJ, Diktat Iman Wahyu, hlm.42.
[10] Bernard Kieser, SJ, Beriman Sungguh : Sejarah Doktrin Gereja, Yogyakarta, 145.
[11] Maka kesetujuan iman adalah gerak perkembangan terus menerus antara real assent dan Notional Assent.
[12] Istilah “suara hati” khas Newman sendiri memiliki dua nuansa: moral dan otoritas tertinggi manusia. Suara hati juga ditampilkan sebagai “tindakan”, yang “memberikan pegangan tertentu”, “ketentuan”, dan juga “perasaan” Lih. SA Grave, Conscience in Newman’s Thought, p. 30, 60
[13] Tema tentang infalibiltas ini akan dikupas lebih lanjut dalam bagian penutup
[14] Lih. SA Grave, Opcit, hlm 179
[15] Obyek ini tidak pernah menjadi suatu ide yang utuh dalam budi manusia, dan bahkan menantang budi manusia untuk mencari dan melengkapinya dalam perkembangan.
[16] R. Boudens, “Growth” A Key Concept in Understanding Newman, dalam Ephemeridhes Theoloogicae Lovanenses, Vol. 69, 1993.
[17] Lih. Brian Martin, Opcit, hlm 75
[18] Lih. Bernhard Kieser, Opcit, hlm. 145
[19] Dalam pembahasan ini, kami melihat bagaimana pemikiran Newman menjadi benih-benih (sesuai dengan) ide yang dihasilkan Konsili Vatikan II. Maka beberapa sumbangan pemikiran, dikaitkan dengan pelbagai dokumen hasil konsili tersebut. Lih juga. B. Kieser, hlm 146-147
[20] Sebagaimana dikutip dalam B. Kieser, Opcit, hlm. 142
[21] Dapat dikatakan bahwa ide tentang suara hati dalam kaitan dengan hidup beriman, hendak memberi “jalan tengah” antara rasionalisme (yang melulu mengandalkan akal budi) dengan fideisme (yang melulu mengandalkan pengalaman iman)
[22] On Consulting the Faithful in Matters of Doctrine
[23] Ia juga menambahkan dengan memberi contoh bahwa di masa Arianisme, iman akan Yesus Kristus sebagai Anak Allah diwartakan, diteguhkan, dan dipelihara lebih oleh kaum awam dibandingkan para uskup.
[24] Salah satunya: Letter to the Duke of Norfolk, di mana ia menjawab tuduhan PM Inggris, Gladstone yang mencela orang Katolik bahwa ketaatan pada Paus berlawanan dengan loyalitas pada negara.
[25] Lih. Bernhard Kieser, Opcit, hlm. 144.
[26] Ia sendiri mengurus dan mendirikan sejumlah lembaga pendidikan: Oratori di Birmingham dan London, Universitas Katolik di Dublin. Lih. Tablet, vol 262, Januari 2008, p. 6
[27] Untuk pembahasan tentang peran dan hakekat universitas ini, Lih. Brian Martin, John Henry Newman-His Life and Works, p. 144-146
[28] Benih pemikirannya dan metode teologinya yang mengantisipasi Konsili Vatikan II membuatnya dijuluki: “The Father of Vatican II”. Lih. Iar Kerr, Newman, The Councils, dan Vatican II, in Communio vol 28, 2001, p. 723
[29] Salah satu warisan tersebut adalah pengenalan Kitab Suci yang mendalam: “Kalau ingin mengenal Kristus, harus mengenal Kitab Suci”. Kontak dengan tokoh-tokoh teologi lberal dalam Gereja Anglikan membuatnya belajar untuk “belajar berpikir sendiri”. Selain itu nuansa ekumenis dimunculkan pula dengan pandangannya tentang “pertobatan terus menerus” untuk dapat berjumpa dengan Kristus.Lih. B. Kieser, Opcit, hlm. 146
[30] Lih. Bernhard Kieser SJ, Beriman Sungguh : Sejarah Doktrin Gereja, hlm. 139
[31] Sebagaimana diungkapkan dalam Apologia Pro Vita Sua (1863), di mana Newman mencoba menjawab tuduhan dari Charles Kingsley: bahwa klerus Katolik mempermainkan kebenaran