Sabtu, 15 Mei 2010

Pengampunan dan Perjanjian Baru

Anthony Bash

1. Pengantar
Dalam paper ini kami mengulas tema Pengampunan dan Perjanjian Baru sebagai bagian dari tulisan Anthony Bash. Tema ini disoroti seorang kristen yang ingin menggali makna pengampunan dalam Perjanjian Baru. Untuk itu, kami ingin menampilkan paper ini dalam dua bagian, yaitu pertama, kami menampilkan isi tulisan Anthony Bash mengenai Pengampunan dan Perjanjian Baru, kedua, tanggapan kelompok terkait dengan paham dan praktek Gereja Katolik mengenai pengampunan.
Pengampunan merupakan karakter iman Kristiani yang bertolak dari Yesus sendiri yang menampilkan pengampunan itu dalam hidupNya, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat“ (Luk 23:34), serta doa yang diajarkan Yesus kepada kita, “ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Mat 6:12; Luk 11:4). Dengan demikian wajar jika mengampuni adalah sikap integral, anjuran moral bagi umat Kristiani dan bahkan menjadi kesadaran umum banyak orang.
Jones memandang pengampunan sebagai yang “melekat” dalam meta-narasi Kitab suci. Ia melihat bahwa mengampuni adalah sifat-yang melekat- pada Tuhan – bagian esensial dalam diri Tuhan- dan adanya manusia. Dengan demikian, adanya manusia ialah untuk memberikan cinta yang menjadi karakter Tuhan. Semua orang saling mengampuni satu samal lain.
Selanjutnya, Bash menunjukan realitas pengampunan itu dalam Perjanjian Baru. Dalam surat Paulus, pengampunan disebutkan beberapa kali. Bagi para penulis Sinoptik, Lukas paling banyak menulis tentang pengampunan, Markus dan Matius hanya mengulas sedikit, sementara Yohanes tidak mengulasnya secara eksplisit.

2. Pertobatan, Yohanes Pembaptis dan Pengampunan
Ada persoalan mengenai makna Baptisan Yohanes, “baptis pertobatan untuk pengampunan dosa” (Mrk 1:4 dan Luk 3:3), bahwa dengan pertobatan dibawalah pengampunan (webb 1991). Baptis merupakan ritus yang menjadi mediasi pengampunan, saluran bagi Tuhan untuk mengampuni dosa dan Yohanes Pembaptis adalah perantara dari pengampunan itu (Webb). Sementara yang sedang dipersoalkan Apakah baptis dan pertobatan ex opere operato membawa pengampunan?.

2.3 Pertobatan dan Pengampunan
Pertobatan dipahami sebagai perubahan sikap dan tindakan “tidak taat” dihadapan Allah. Pertobatan yang dilakukan menghasilkan pemulihan hubungan (seperti hubungan orangtua dan anak) serta menjadi usaha untuk kembali pada “kebijaksanaan yang adil” karena orang telah menyimpang dari kebijaksanaan tersebut (Luk 1:16-18). Contoh desakan Yohanes dalam pertobatan tampak dalam teks Lukas 3:7-14 (dialamatkan untuk banyak orang, penarik pajak, dan para serdadu) dan Matius 3:7-10 (untuk orang Farisi dan Saduki).
Kata pertobatan dalam frase “Baptis pertobatan” dalam Injil Markus (Mrk 1:4) dan Lukas (Luk 3:3) (kata Yunani) menunjuk pada tindakan subyektif (pertobatan orang yang dibaptis). Orang yang dibaptis menampilkan sikap pertobatan mereka dalam hidup harian. Demikian baptis diasosiasikan dengan pertobatan. Dengan pemahaman bahwa orang yang bertobat dibaptis, maka baptis menjadi indikasi pertobatan atau menjadi ungkapan dari pertobatan mereka.
Sementara Injil Matius, mengabaikan frase Baptisan Yohanes (Mat 3:1-6) dalam frase ‘baptis pertobatan untuk pengampunan dosa’ meski Matius menekanan pertobatan dan pengakuan dosa sebagai pusat baptisan Yohanes. Matius menunjuk air Baptis Yohanes sebagai adanya “pertobatan” (Mat 3:11) dengan makna bahwa orang dibaptis karena mereka telah bertobat. Perintahnya sama : Yohanes memanggil orang-orang untuk bertobat (Mat 3:2) dan setelah baptis dilanjutkan dengan pengakuan dosa-dosa (Mat 3:6). Oleh karena itu, tidak ada baptis tanpa pertobatan (lih Mat 3:8 dimana Yohanes menyindir kaum Farisi dan Saduki yang datang minta dibaptis tetapi mereka belum bertobat). Pertanyaannya mengapa Matius mengabaikan frase baptis pertobatan untuk pengampunan dosa? Kemungkinan karena Matius melihat pengampunan dosa itu sebagai berkat dari kematian Yesus (Mat 1:21, 26:28). Selain itu Matius berusaha memfokuskan kembali baptis pada Kedatangan Tuhan, bukan pengampunan datang dari baptis. Sebagaimana dalam Mat 26:28 bahwa pengampunan dosa mengalir dari darah Yesus, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi pengampunan dosa.
Dalam injil sinoptik, pertobatan bukan semata keutamaan moral dan pertobatan tidak berakhir dengan baptis. Baptis sebenarnya mau menegaskan bahwa orang telah siap dan mempersiapkan diri “untuk Tuhan” saat Dia datang. Maka bukanlah baptis dan pertobatan yang membawa pengampunan. Dalam ketiga injil sinoptik, mereka yang menerima “baptis pertobatan” menandakan bahwa mereka telah siap seperti yang Yohanes wartakan. Lukas secara spesifik menyinggung keselamatan Tuhan yang akan datang -termasuk pengampunan– yang akan datang bersama dengan kedatangan Tuhan (Luk 3:6).
Yohanes tidak mengatakan bahwa mereka yang bertobat harus pergi kepada para imam untuk mempersembahkan korban untuk menebus dosa-dosa mereka (Luk 3;10-14). Dari pernyataan itu kemungkinan pengampunan telah datang melalui pertobatan tanpa perlu mempersembahkan korban lagi. Dunn mengiyakan bahwa Yohanes tidak melakukan persembahan korban, sebab Yohanes menawarkan “ritual miliknya sebagai alternatif ritual bait Allah”, dan pertobatan yang diungkapkan melalui baptis menjadi cara efektif untuk mendapat pengampunan atau pembebasan dosa. Alasan lain mengapa orang tidak mempersembahkan korban bagi dosa-dosa mereka adalah pengharapan mereka, Yohanes dan banyak orang, terhadap penebusan dan pengampunan yang datang melalui kedatangan Kerajaan Surga (Mat 3:2), keselamatan Tuhan (Luk 3:6) dan baptis dengan Roh Kudus (Mat 3:11, Mrk 1:8, Luk 3:16). Dengan kata lain persembahan korban dapat mengaburkan orang dari pengenalan akan kebenaran sumber dan tempat harapan eskatologis serta mengalihkan pencarian mereka terhadap kedatangan Yesus yang membawa aphesis (pembebasan, kebebasan, pengampunan).
Bash menghubungkan pertobatan dalam Injil Matius dengan kematian Yudas Iskariot. Pertobatan yang dilakukan oleh Yudas rupanya tidak membawa pengampunan dosa. Yudas mengkhianati Yesus (Mat 26:14-16), dan setelah Yesus ditangkap, Yudas menyadari bahwa dia melakukan kesalahan dan dia sangat menyesali tindakannya. Penyesalan Yudas bisa dikatakan bahwa dia bertobat, karena dia menyadari kesalahan perbuatannya dihadapan Allah, tetapi secara moral Yudas tetap bersalah. Istilah pertobatan dalam Yunani metanoco (KK), atau metanoia (KB). Sementara pertobatan Yudas digunakan istilah metamelomai – Kata yang dipakai Matius untuk menekankan bahwa pertobatan Yudas tidak mendorong pada pengampunan. Bahkan saat Yudas menyadari dirinya berdosa, “aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah” (Mat 27:4) mau menunjukan bahwa dia putus asa terhadap apa yang telah dia perbuat dan dia juga tidak yakin dapat atau akan diampuni. Yudas mengembalikan uang pengkhianatan itu kepada para Imam Kepala dan Penatua tetapi mereka malah bersikap acuh tak acuh; mereka menolak menerima uang itu, dan implikasinya tidak menawarkan absolusi terhadap apa yang telah Yudas perbuat. Dalam Matius 27: 5 dikatakan singkat, setelah itu Yudas bunuh diri, menggantung diri. Tindakan Yudas itu terkadang mengkarakterkan orang yang kehilangan harapan, pertolongan dan pegangan, dan berpikir bahwa tidak ada jalan keluar dari situasi yang tengah mereka hadapi.

2.2 Baptis dan pengampunan
Bagian ini diawali dengan pertanyaan Apakah baptis mengakibatkan pertobatan orang-orang berdosa menjadi diampuni? Anthony Bash melihat ini melewati sejarah, baptis merupakan ritus dalam Kultus Yahudi, dan kini dapat digunakan untuk menginterpretasikan baptisan Yohanes serta menjawab persoalan Apakah Baptis membawa pengampunan dosa? Bash sedikit membanding-bandingkan Baptisan Yohanes dengan praktek yang ada dalam Yahudi
1. Baptisan Yohanes berbeda dengan pencelupan dalam Yahudi
§ Dalam tradisi Yahudi :
1. Pencelupan Yahudi dalam permandian disebut miqueh. Fungsinya untuk pembersihan dari ritual kenajisan dan bagi kaum proselit (abad ke 2).
2. Menurut sistem korban Yahudi, hanya seorang imam yang dapat menebus dosa. Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara ritual kenajisan menurut Kultis Yahudi dan dosa (sanders 1985).
§ Baptisan Yohanes
1. Baptisan Yohanes bukan untuk pembersihan dari ritual kenajisan tetapi suatu ungkapan pertobatan dari dosa.
2. Hubungan (baptisan Yohanes dan pencelupan air) adalah “pencelupan tidak bermakna tanpa pembersihan hati sebelumnya (dari dalam dirinya/inner self) melalui pertobatan dan praktek kebenaran (Taylor). Hubungan ini mungkin sedikit menjelaskan juga inti dasar Baptisan Yohanes, yang pasti bukan ritual kenajisan.
2. Baptisan Yohanes berbeda dengan penyucian air jemaat yang dipraktekkan di Qumran dan tradisi Yahudi lainnya dimana praktek Penyucian air di Qumran dilaksanakan untuk pembersihan dari ritual kenajisan, bukan dosa.
§ Hubungan Baptisan Yohanes dan Praktek penyucian air adalah meresmikan (menginisiasikan) mereka masuk dalam komunitas, serta menunjukan pembalikan dari ketidakbenaran menuju kebenaran, tetapi tidak ada ritus inisiasi ke dalam komunitas yang baru. Pencelupan juga tidak bermakna tanpa membersihkan diri lebih dulu dengan pertobatan dan praktek kebenaran (Taylor).
Baptisan Yohanes menurut Josephus (Ant 18.116-19) membawa pengampunan. Baptisan itu dihubungkan dengan ritual pembersihan yang berfungsi untuk “pembersihan badan”. Pembersihan badan itu terjadi karena “jiwa telah dibersihkan oleh kebenaran” (Ant 18.117). Dia juga menghubungkan Baptisan Yohanes dengan “memaafkan” dosa-dosa (epi tinon hamartadon paraitesei) bagi mereka yang telah dibaptis (Ant 18.117). Pandangan Josephus, “baptis dan berbalik pada kebenaran dapat membatalkan dosa”, terangkum secara sintaksis dan teologis juga dalam kata eis yang terdapat dalam frase “untuk (eis) pengampunan dosa-dosa (bdk Luk 24:47)”. Eis dapat diinterpretasikan dengan maksud tertentu, yairu orang bertobat dengan tujuan pengampunan dosa, dan benar dosa-dosa tersebut akan diampuni, atau dalam hubungan sebab-akibatnya, yaitu orang bertobat karena dosa-dosa mereka akan diampuni. Sementara Turner, eis dalam konteks pengampunan, dengan meringkasnya dalam ide “dengan maksud untuk”, dan membedakan dengan Kis 2:38, dimana pengampunan pada hari Pentakosta adalah dasar dari pengampunan dosa-dosa (sebab akibat).
Menurut Bash interpretasi eis dapat menterjemahkan baptisan Yohanes dalam seting eskatologis dari pengajarannya. “Dengan memaafkan” dosa –pengampunan- sebagaimana diwartakan oleh Yohanes, dan berhubungan dengan masa depan, setelah kematian Yohanes. Untuk itu Bash melihat bahwa makna eis bukan pengampunan sebagai hasil pertobatan dan baptis, tetapi sebagai hasil kedatangan dan pelayanan Yesus sendiri. Bahkan jika arti Eis dimaknai sebagai sebab akibat (dengan indikasi bahwa baptisan Yohanes adalah “karena pengampunan dosa-dosa”), frase ini tetap konsisten dengan gambaran Lukas-Kisah Para Rasul. Baptis mengandaikan pertobatan dari dosa dan orang siap untuk menerima rahmat pengampunan. Lantas muncul pertanyaan terkait dengan kata eis, Apakah eis menunjuk sesuatu yang akan datang, ataukah sesuatu yang telah manusia terima atau alami?.
Uraian diatas, seting telogis dan sosial, mendukung kesimpulan berikut ini:
1. Dalam lingkungan masyarakat Yahudi (dimana Yohanes tinggal) dipahami bahwa kebenaran datang melalui korban di bait Allah, dan bukan melalui pembalikan pada kebenaran.
2. Tidak mungkin umat Kristiani awal akan menghubungkan pengampunan dengan pemaknaan lain selain iman dalam Yesus Kristus.
3. Baptisan Yohanes tidak membawa pengampunan dosa (Penjelasan Lukas). Lukas dan Kisah Para Rasul melihat inti pesan Baptisan Yohanes adalah keselamatan yang sudah ada. Yohanes hanya berperan mempersiapkan banyak orang mengenai keselamatan yang akan datang melalui pengampunan dosa (Luk 1:77). Keselamatan dapat dialami dengan adanya pertobatan (alasan Baptisan Yohanes) dan baptis dalam Roh Kudus (Luk 3:16, Mrk 1:8 dan Mat 3:11). Oleh karena itu Baptisan Yohanes sebenarnya tidak dengan sendirinya membawa pengampunan dosa (Kis 13:24 dan 19:4) karena Baptis pertobatan dapat membawa pengampunan dosa jika mengalir dari Yesus Kristus sendiri (Kis 2:38). Kehadiran Yohanes Pembaptis adalah perintis bagi yang lain. Peran Yohanes bukan untuk mengampuni tetapi untuk pertobatan dan mempersiapkan banyak orang bagi kedatangan Yesus. Hal ini dilihat Lukas dalam air Baptis Yohanes yang tidak menandakan pembersihan dari dosa atau ritual kenajisan tetapi pertobatan. Yesus yang akan datanglah yang menghadirkan “jalan kedamaian”, yaitu rekonsiliasi antara manusia dan Tuhan, dan kedamaian ditengah konflik (Luk 1:79).
Dari uraian tersebut Bash menyatakan bahwa Baptis dalam baptisan Yohanes adalah suatu tanda yang keluar dari pertobatan dari dalam. Baptis mengungkapkan kesiapan orang untuk menerima Yesus. Yesus diyakini sebagai penyelamat Israel yang lama dinanti, yang membawa pengampunan dosa. Maka baptis menurut Injil Sinoptik tidak secara otomatis menghasilkan pengampunan dosa. Mengapa demikian? Pengampunan adalah rahmat Tuhan bagi mereka yang menerima keselamatan dari Yesus. Sementara berdasar pandangan sintaksis dan teologis, pengampunan tidak perlu diberikan dalam membalas baptis dan pertobatan. Bersama Tuhan, yang hadir sebagai manusia, pengampunan adalah rahmat dan tindakan mengampuni bukanlah tugas.
Namun masih ada persoalan, Mengapa Yohanes pembaptis? Mengapa Yohanes memilih ritus baptis yang justru memunculkan banyak interpretasi jika baptis tidak membersihkan dan membawa pengampunan dosa?
Para penulis Injil Sinoptik menjawab persoalan tersebut dengan interpretasi bahwa pelayanan Yohanes adalah untuk mempersiapkan Pribadi yang akan datang, yang akan membaptis bukan dengan air tetapi dengan Roh Kudus dan Api (Luk 3:16, Mat 3:11, Mark 1:8). Baptisan dengan Roh Kudus- disimbolkan air baptis- menunjukan tindakan Tuhan yang mengampuni dosa-dosa manusia. Air baptis menyelubungi pribadi dan membersihkannya dari kekotoran, demikian juga dengan Lukas menyatakan baptis Roh Kudus juga menyelubungi orang (Kis 2:1-4) dan membersihkan dosa karena baptis seperti Api (permurnian) dan angin (yang meniup kotoran) (Yoh 20:22). Berdasarkan interpretasi ini, baik air baptis Yohanes maupun baptis dengan Roh Kudus membawa pengampunan dosa.

3. Yesus, Pertobatan dan Pengampunan
Injil Sinoptik menyatakan pengampunan adalah rahmat Tuhan, berkat yang diberikan bagi mereka yang mencari rahmat Tuhan. Dalam Lukas 18:9-14, orang-orang Farisi yang terlalu menonjolkan doa, tidak diampuni oleh Tuhan, dibandingkan dengan gambaran penarik pajak yang justru diampuni oleh Tuhan.

3.1 Yesus dan Pertobatan
Yesus, seperti Yohanes, mewartakan pertobatan. Dalam pengajaran Yesus, pertobatan dan iman hadir bersama-sama (Mrk 1:15). Pertobatan dan iman menjadi alasan adanya perubahan hidup seseorang, sementara pengampunan menjadi buahnya (Luk 24:47). Kekhususan dalam Kristen dilihat oleh Jones bahwa pertobatan menjadi komponen yang harus ada dari pengampunan (Jones 1995:121). Dan Tuhan seakan membutuhkan suatu perubahan yang harus terjadi dalam diri manusia agar mereka bisa memperoleh pengampunan dan rekonsilliasi (1995:127).
Pertobatan merupakan pesan sentral Yesus dan para muridNya (Mrk 1:15; 6:12, Mat 4:17). Meski begitu, pertobatan yang ditawarkan Yesus dan para murid tidak selalu senada dengan hukum yang berlaku. Pertobatan yang dipahami sebagai suatu tanggapan atas panggilan rahmat Allah, untuk itu korban bait Allah dan keterikatan (taat) pada hukum tidak selalu dibutuhkan untuk menunjukan pertobatan itu. Ada pro-kontra mengenai penting tidaknya tuntutan hukum itu. Beberapa pihak menyetujui pentingnya tuntutan hukum tanpa mempertimbangkan adanya gerakan dari Yesus : Misalnya Zakeus, petugas pajak (Luk 19:1-10). Yesus mengijinkan orang-orang menunjukan pertobatan mereka sesuai dengan gambaran Kerajaan Allah yang pantas (Jones 1995:110). Misalnya, wanita berdosa (Luk 7:36-59), terkait dengan kecaman bagi para murid yang tidak bertobat dan tetap “pendosa’, Yesus mengungkapkan perumpamaan tentang “sukacita di surga (Luk 15:7) dan “sukacita pada malaikat-malaikat Tuhan” (Luk 15:10) karena satu orang yang berdosa bertobat. Perumpamaan lain tentang Anak Sulung yang hidup berfoya-foya, yang menggambarkan sukacaita ayahnya karena pertobatan anak sulungnya (Luk 15:11-32). Sementara Sanders melihat adanya dua pandangan mengenai pertobatan, yakni :
1. Sangat sedikit alasan yang menghubungkan Yesus dengan motif kolektif, pertobatan nasional berdasarkan pandangan eskaton, meskipun Sanders menegaskan bahwa Yesus tidak menolak ide pertobatan, seperti bahan (material) yang telah ditambahkan oleh para penginjil (evangelis). Yesus tidak mewartakan pertobatan “karena Dia memahami bahwa Yohanes melaksanakan tugasnya secara menyeluruh” dengan mempersiapkan orang untuk kerajaan.
2. Untuk pertobatan pribadi (1985), dia berpendapat secara “spekulatif” bahwa “penyerangan” Yesus disebabkan (Mark 2:7 paralel dengan Luk 5:21) karena Yesus berpihak pada pendosa, memasukan mereka dalam Kerajaan. Hal itu dilakukan Yesus karena Dia tidak membutuhkan pertobatan. Dampak yang diterima Yesus kemudian adalah “Dia dianggap menjadi teman para pendosa”. Dengan kata lain, Yesus menyambut dan memasukkan mereka yang membutuhkan-Nya (karena Dia yakin tentang kedekatan masa eskaton) dan tidak membutuhkan pertobatan sebagaimana digambarkan dalam hukum. Yesus menawarkan pertobatan dengan cara yang lebih informal. Selain itu Yohanes Pembaptis, juga yakin tentang kedekatan masa eskaton, mewartakan pertobatan dan kebenaran (tetapi bukan korban di Bait Allah).
Pendapat Sanders dapat disimpulkan, “Yesus menawarkan persahabatan bagi orang-orang jahat israel sebagai suatu tanda bahwa Tuhan akan menyelamatkan mereka, dan keselamatan itu tidak dipengaruhi (tergantung) pada perubahan hukum”. Yesus tidak membutuhkan (memaksa) pendosa untuk mengubah hukum dan bertobat.
Pandangan Sanders bahwa Yesus tidak memanggil untuk pertobatan nasional ditantang 2 alasan yaitu :
1. Pemisahan antara pertobatan nasional dan personal tidak dibenarkan (tidak dimungkinkan),
2. Yesus memanggil untuk pertobatan nasional (Wright 1996).
Disamping itu untuk menghilangkan pertobatan sebagai motif sentral dalam pengajaran Yesus adalah dengan mengeluarkan Yesus dari lingkungan masyarakat Yahudi dan mengabaikan perubahan moral yang dilaksanakan banyak orang yang menanggapi Yesus. Demikian perubahan adalah ungkapan-ungkapan pertobatan, yang sering diekpresikan sesuai hukum, dan hasilnya perjumpaan dengan Yesus.
§ Bersama Yesus, pengampunan bukan merupakan kesatuan atas adanya bentuk-bentuk khusus dari pertobatan atau kepenuhan dari kriteria yang ditetapkan.
§ Bersama Yesus, pengampunan adalah rahmat, menampilkan cinta dan memberikan sesuatu dengan cara-cara yang tidak diharapkan. Sebagaimana terjadi dalam kisah ‘mewarisi hidup abadi” (Mrk 10:17-22, Mat 19:16-22, Luk 18:18-23). Pengampunan bukan upahan, dan tak seorangpun pantas mendapatkannya. Pengampunan adalah rahmat dari pengampun, diberikan dalam menanggapi yang ideal bahwa pengampunan adalah keutamaan secara moral.
Ada dua cara yang dapat dilihat untuk menginterpretasikan pendekatan Yesus untuk pertobatan menurut hukum, yaitu :
1. Yesus menyeimbangkan syarat hukum untuk bertobat dengan syarat hukum yang lain, seperti dengan menampilkan cinta dan rahmat. Efeknya, Yesus secara implisit mempersoalkan syarat-syarat yang diberikan oleh hirarki dan – secara khusus - mempersoalkan hasil dari hirarki yang terlalu menekankan intensi dan tujuan hukum (Mat 23:23). Contoh lain saat Yesus mengutuk suku-suku dan orang-orang Farisi yang mengaburkan syarat untuk menunjukan keadilan, rahmat dan kepenuhan iman ditampilkan dengan memungut zakat. Yesus mengampuni tanpa “dalam beberapa kasus” menuntut suatu ungkapan pertobatan tertentu.
2. Pendekatan lain bahwa Yesus mengenal tuntutan hukum dan terkadang mempertanyakan apakah maksud hukum itu. Keterikatan pada syarat hukum tertentu, bagi beberapa lingkungan, dapat memberikan efek yang tidak menguntungkan, yang menyangkal kebaikan moral sebagaimana hukum harapkan, misalnya Matius 12:11. Selain itu, Yesus juga mengampuni mereka yang berada diluar hukum masyarakat.

3.2 Yesus, Pengampunan dan Kerajaan Allah
Bagi Lukas, pengampunan adalah pusat pesan Kerajaan Allah. Kata yang umumnya digunakan untuk pengampunan dalam Yunani (Aphesis) terjadi melalui pelayanan dan pesan Yohanes Pembaptis dan Yesus yang disebut “Manifesto Nazareth”. Aphesis, pengampunan : menunjukan pelepasan dan kebebasan dari apa yang mendesak orang –baik dari dosa maupun efeknya, dari tekanan atau tawanan fisik, atau dari konsekuensi karena tidak memiliki “keselamatan Tuhan” (Luk 3:6) dan “Tuhan Penyelamat” (Luk 4:19).
Pengampunan dalam kata Yunani dapat dimaknai dua hal : Pertama, dalam Luk 3:3-6 ketika Yohanes memanggil orang untuk bertobat dan baptis dengan maksud untuk pengampunan yang datang bersama dengan kedatangan Tuhan dan keselamatanNya. Kedua, pada awal pelayanan Yesus, di Galilea, Yesus mengutip Yesaya 61:1, dan menyiapkan pelayanan masa depannya (Luk 4:16-21). Kabar gembira Injil adalah “pembebasan” (Aphesis) yang telah dijanjikan Allah bagi mereka yang mau mempersiapkan kedatanganNya. Kerajaan adalah perintah yang baru bahwa Tuhan akan mengenalkan diriNya, yang akan menyatu dengan dunia saat ini.
Pengampunan adalah rahmat Tuhan pada masa eskaton ketika Kerajaan Allah sempurna. Lukas menegaskan bahwa pengampunan Tuhan adalah untuk tahun-tahun yang akan datang: yang adalah bagian dari Aphesis Kerajaan Allah. Di tempat lain, Lukas berbicara bahwa pengampunan (sama dengan penyembuhan dan penyelamatan yang datang bersama kerajaan) dapat dialami saat ini dan sampai Kerajaan menjadi berkembang, pengampunan dipraktekkan dan bentuk pengampunan masa depan ditampilkan sekarang ini diantara para murid Yesus. Dengan kata lain, pengampunan adalah tindakan manusia yang ideal, dan model pengampunan Eskatologis Allah.

3.3 Apakah Yesus mengampuni Dosa?
Bash memperlihatkan dua perikop di dalam Perjanjian Baru yang mencoba memperlihatkan kisah pengampunan Yesus, yakni luk 5:20,23,dan luk 7:48. Namun menariknya, di dalam kedua ayat tersebut Yesus sama sekali tidak menyebutkan kata-kata absolusi. Ayat yang menunjukkan pengampunan ditampilkan dalam bentuk kalimat pasif. Secara literer kalimat ini tidak menjelaskan pihak manakah yang memberikan pengampunan. Model kalimat seperti ini juga digunakan di dalam Markus 2:5,9. Merujuk pada pandangan Jeremias, pengampunan yang ditampilkan di sini merupakan tindakan ilahi. Pendapat serupa juga diperlihatkan Sanders yang mencoba membandingkannya dengan injil Markus, di situ ditunjukkan bahwa Yesus tidak merujuk dirinya serupa dengan yang ilahi, sebagai seseorang yang mengampuni dosa. Dalam hal ini Yeremias dan Sanders benar. Yesus tidak secara arogan mengatakan dirinya memiliki kuasa ilahi untuk mengampuni, melainkan ia mengkorfimasi dan mengafirmasi suatu fakta eskatologis bahwa Allah yang berbelaskasih telah mengampuni orang yang lumpuh dan wanita yang berdosa. Yesus cukup berhati-hati sehingga tidak mudah disamakan dengan apa yang dilakukan oleh tukang sihir/dukun.
Dalam kisah penyembuhan terhadap orang lumpuh (Luk 5:17-26), teman-teman si lumpuh menurunkan si lumpuh dari atap agar Yesus sanggup menyembuhkan. Namun terhadap si lumpuh Yesus mengatakan bahwa dosanya telah diampuni. Tindakan yang dilakukan Yesus diinterpretasikan oleh orang banyak sebagai tindakan seorang dukun/ tukang sihir. Tetapi lalu Yesus pun menanggapi mereka dengan menyatakan bahwa anak manusia memiliki kuasa di bumi untuk mengampuni dosa (ay.24).
Pertanyaan yang dapat diajukan di sini adalah, mengapa banyak orang melawan ketika Yesus mengatakan dosamu diampuni. Pertama, dalam pemikiran Yahudi terdapat kaitan antara penyakit fisik dan dosa. Saat Yesus menyembuhkan (Luk 5:24), maka Yesus mempraktekkan bahwa dosa orang yang bersangkutan telah diampuni. Kedua, berdasarkan pemikiran Dunn, perlawanan itu muncul karena Yesus mengucapkan kata-kata pengampunan (dan menyembuhkan orang itu). Kata-kata-kata ini merupakan bagian dari ritus yang biasa diucapkan oleh para tukang sihir (bagian dari sebuah pemujaan).
Bagaimanapun juga, terhadap perlawanan tersebut Lukas sama sekali tidak memberikan suatu tanggapan. Tanggapan lain justru diperlihatkan dalam Lukas dalam Luk 5:21. Orang banyaklah yang memahami bahwa Yesus sendirilah yang melakukan pengampunan tersebut, terlebih setelah diperkuat dengan afirmasi dalam Luk 5:24 “Anak manusia memiliki kuasa di bumi untuk mengampuni dosa.” Dengan pernyataan tersebut, ada dua hal yang kemudian ditandaskan di kisah ini, pertama Yesus menunjuk kepada Allah yang mengampuni, kedua, dia merujuk kepada dirinya sebagai seseorang yang mampu, memiliki kuasa juga untuk mengampuni.
Kedua hal tersebut tidak diragukan akhirnya menimbulkan suatu konflik. Resolusi yang paling disukai adalah bahwa pemahaman pertama ingin menjelaskan bahwa Yesus mengafirmasi tindakan Allah yang mengampuni si lumpuh dan penyembuhan terhadap si lumpuh untuk menampilkan pengampunan tersebut. Sedangkan pemahaman kedua berasal dari periode kemudian bahwa pengembangan cerita tersebut diarahkan kepada tema kristologi pada Gereja awal, sebagai pembenaran Gereja awal mempunyai kuasa untuk mengampuni dalam nama Yesus.
Perkembangan yang sama juga dapat dilihat dalam Luk 7:36-50. Dalam kisah ini, Lukas menceritakan seorang kisah seorang perempuan berzinah yang mengurapi Yesus dengan minyak. Gagasan terpenting dalam kisah tersebut adalah tindakan sang wanita sebagai reaksi atas pengampunan yang telah ia terima atas segala dosanya. Yesus menyatakan bahwa dosanya sudah diampuni (ay.48); tetapi perkataan Yesus tidak dapat dikatakan sebagai sebuah absolusi. Pada ayat 49, orang banyak di sekitarnya bereaksi terhadap perkataan Yesus. Karena mengangap Yesus tidak layak mengucapkan hal itu. Jeremias justru berpendapat bahwa perkataan Yesus sendiri merujuk kepada tindakan ilahi.

3.4 Jesus, the forgiving victim- Korban yang Mengampuni
Yesus mencoba memberikan contoh apa artinya mengampuni. Dalam 1Pet 2:24, dikatakan bahwa Yesus sendirilah yang telah memikul dosa-dosa kita. Gagasan yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa dengan menanggung dosa manusia, Yesus menyembuhkan kondisi manusia dan Ia meninggalkan teladan kepada manusia supaya mengikuti jejakNya (1Pet 2:21).
Yesus menjadi gambaran pribadi yang terluka dan tidak berdaya. Di dalam injl Matius (26:53) dikisahkan bagaimana Yesus menolak untuk memanggil malaikat penyelamatNya ketika ia sedang ditangkap. Di salib, ia justru berdoa kepada Bapa agar mengampuni dosa para algojo. Pengampunan pribadiNya diberikan secara implisit kepada orang-orang yang tidak menyesali kesalahannya sebagai suatu hadiah, walaupun mereka sendiri tidak meminta, mengharapkan dan bahkan berseru. Injil Lukas sedemikian rupa menampilkan kemanusiaan Yesus. Lukas menekankan pula bahwa Yesus adalah model pengampunan, dalam konteks kekejaman dan penderitaan yang tidak adil. Yesus sama sekali menunjukkan sikap balas dendamnya.
Pendekatan yang dilakukan oleh Yesus sangat kontras dengan orang-orang yang masih sulit mengampuni dan mengharapkan pembalasan. Bash menambahkan bahwa perbedaan antara menjadi pengampun dan tidak menjadi pengampun adalah terletak pada bagaimana seseorang menggunakan kekuatan (kuasa-power) yang mereka miliki. Mereka yang tidak dapat mengampuni nampaknya ingin memperlihatkan kekuatannya, kekuatan untuk melawan, dengan tujuan agar dapat membalas, dan membuat orang yang bersangkutan (yang bersalah) merasakan seperti apa yang ia rasakan-tidak berdaya. Antara pelaku dan korban justru akan berlangsung sikap saling membalas yang tak akan kunjung berakhir dan terselesaikan. Lebih lanjut, keduanya justru kemudian menjadi korban. Yesus sebaliknya memilih menjadi pribadi yang tidak berdaya.

3.5 Pengampunan Ilahi Dan Manusiawi
Pada perumpamaan tentang hamba yang yang tidak mampu mengampuni (Mat 18:23-35), Matius memperlihatkan kepada kita bagaimana rahmat Allah terlibat (menyelimuti) di dalam relasi antar manusia, dan secara khusus mengajak bagaimana manusia mengampuni satu sama lain. Perumpamaan yang hanya ada di dalam injil Matius ini, berpusat pada tema pengampunan.
Dalam perumpamaan tersebut dikisahkan ada seseorang yang berhutang sepuluh ribu talenta kepada raja. Element penting dalam kisah ini adalah fakta adanya relasi di dalam Perjanjian Baru antara melepaskan hutang dengan pengampunan. Setelah meninggalkan sang Raja, hamba tersebut bertemu dengan hamba lain yang berhutang kepadanya. Hamba itu menolak untuk menghapus hutang hamba lain yang berhutang kepadanya sejumlah seratus dinar. Karena mendengar sikap hamba yang tidak bermurah hati itu, sang raja menjadi marah dan menyerahkannya hamba itu kepada para algojo untuk dimasukkan ke dalam penjara sampai ia melunasi hutang-hutangnya.
Perumpamaan tersebut memperlihatkan bahwa sesungguhnya pengampunan merupakan sebuah anugerah, sebagai suatu bentuk ungkapan kerendahatian yang luar biasa. Bash berpandangan bahwa karena di dalam Perjanjian Baru pengampunan sebagai sebuah anugerah, maka pengampunan itu bersifat regenarative, transformatif, dan paradigmatic. Pengampunan harus dapat membawa seseorang pada suatu perubahan, dan perubahan tersebut hendaknya berdampak di dalam relasi dengan orang lain. Secara khusus, seseorang yang telah menerima rahmat pengampunan dari Allah harus berusaha berusaha keras pula untuk dapat mengampuni orang lain. Kegagalan orang yang berhutang sepuluh ribu talenta bukan karena ia gagal mengampuni melainkan karena ia gagal untuk berkeinginan dan mencoba mengampuni. Point terakhir ini sangat kuat ditekankan dalam ayat 33 dan 35. Seseorang yang telah menerima belas kasih dari Allah hendaknya memperlihatkan belaskasih itu kepada orang lain. implikasi jika mereka tidak melakukan hal itu adalah mereka akan kehilangan pengampunan dan belas kasih dari Allah. Memang benar, bahwa manusia sama sekali tidak terikat suatu kewajiban untuk dapat mengapuni sebagaimana Allah melakukannya. Tetapi yang terbaik yang dapat dilakukan adalah manusia dapat mengimitasi tindakan Allah, menjadikannya sebagai model ideal pengampunan, walaupun manusia tidak akan pernah mencapai seluruhnya. Kegagalan dalam mengampuni sebagaimana dilakukan oleh Allah, selalu akan dialami oleh manusia. Bash sendiri mengakui bahwa pernyataan ini terlihat sedikit hiperbolik. Tak seorang pun dapat menjadi murah hati dan pengampun seutuhnya sebagaimana halnya Allah yang murah hati dan Maha pengampun. Manusia, lanjut Bash, telah diberikan suatu keutamaan moral yang baik untuk diikuti, namun karena kondisi kemanusiaannya, mereka tidak pernah bisa seutuhnya memenuhi tuntutan tersebut.
Tema serupa juga ditemukan di dalam doa Bapa kami. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah makna kata as dalam Mat 6:12 atau Luk 11:4? Apakah itu berarti hanya dan bila saya mengampuni orang lain, maka Allah akan mengampuni saya? Jika hal itu yang menjadi sudut pandangnya, maka anugerah ilahi tersebut tergantung pada pengampunan manusia. Namun tentu saja hal ini tidak mungkin mungkin diterima dan sedikit bertentangan dengan hakekat Allah. Cinta Allah diberikan secara Cuma-Cuma kepada manusia. Interpretasi lain adalah bahwa Allah akan mengampuni seseorang dengan cara yang sama orang itu mengampuni sesamanya. Pendapat ini pun juga disangkal oleh Bash karena pengampunan merupakan sesuatu yang diberikan oleh Allah. Interpretasi terbaik menurut Bash adalah menerjemahkan hoc dengan since, yang bermakna karena/sejak manusia mengampuni orang lain (dan itu berarti adanya perubahan karena pengampunan dari Allah), Allah pun melanjutkan pengampunan kepada orang yang mengampuni.
Mrk 11:25 senantiasa melihat adanya gambaran transformatif dari pengampunan Allah. Sesuai dengan apa yang disampaikan Yesus, “Bilamana kamu berdoa, ampunilah dahlu seseorang yang belum kau ampuni, sehingga Bapamu di surga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.” Versi Matius (6:14) terlihat lebih eksplisit “jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jika kamu tidak mengampuni orang, Bapamu di srga juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” Demikian halnya dalam injil Lukas (6:37) dikatakan, “ampunilah maka kamu akan diampuni”, meskipun di sini tidak jelas pengampunan manusia atau ilahi yang menjadi tujuan dari sikap mengampuni.

3.6 Pengampunan Interpersonal
Bagaimana dan kapan manusia harus mengampuni? Apakah idealnya pengampunan diberikan oleh pihak korban ketika mereka yang bersalah menyesal? Ataukah yang ideal adalah pengampunan senantiasa dilakukan tanpa memperhatikan perilaku mereka yang bersalah? Pastinya yang ideal adalah bahwa sang korban harus mampu mengampuni mereka yang bersalah dan menyesal, termasuk jika kesalahan tersebut dilakukan berulang kali. Di dalam Kitab Suci disebutkan bahwa seseorang harus mengampuni 7 kali sehari (luk 17:31). Apa yang Yesus maksudkan adalah bahwa tidak seberapa penting pelaku melakukan kesalahannya, korban harus berusaha mengampuni meski si pelaku tidak menyesal. Sang korban harus tetap berusaha untuk mengampuni pelaku yang tidak memperlihatkan penyesalannya. Menurut Bash, jawaban Yesus itu nampaknya memperlihatkan seseuatu yang tidak hanya berlebihan tetapi juga sebagai kemurahatian yang tidak mungkin,-terlebih apabila angka tujuh dipandang sebagai suatu kesempurnaan.
Kisah tentang wanita yang mengurapi Yesus (Luk 7:36-50) menggambarkan hal itu. Seorang wanita diceritakan secara berlebihan mengurapi Yesus. Seorang farisi mengamati tindakan sang wanita dan mengkritik Yesus yang mengijinkan wanita semacam itu menyentuhnya. Yesus menanggap kritik itu dengan menceritakan perumpamaan tentang dua orang yang memiliki hutang lima ratus dinar dan lima puluh. Karena keduanya tidak sanggup membayar, hutang keduanya dihapus. Menjawab pertanyaan Yesus, Simon menyetujui bahwa dia yang hutangnya lebih banyak akan lebih mengasihi dia. Yesus lalu menggunakan prinsip perumpamaan dua orang yang berhutang untuk menjelaskan sikap perempuan yang berzinah itu.
Yesus memakai gagasan itu untuk menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara orang-orang yang telah diampuni dengan perubahan yang telah diterima sebagai hasil. Orang yang menerima sedikit pengampunan (pengalaman pengampunan) akan sedikit pula berbuat kasih. Namun sebaliknya Bash menekankan bahwa bukan berarti orang yang telah menerima banyak pengampunan karena banyaknya kesalahan yang ia lakukan akan serta merta banyak berbuat kasih atau lebih banyak mengampuni . Yang ingin dikatakan Yesus tentang wanita itu adalah karena cinta wanita itu maka ia pun memperoleh pengampunan, bukan justru karena dia telah dicintai maka ia mau memafkan.
4 PAULUS
Tema pengampunan hanya muncul sedikit dalam surat-surat paulus. Paulus justru lebih banyak menulis tentang yustifikasi. Yustifikasi merupakan suatu konsep Yuridis,-tidak menyatakan tentang pengampunan- berkenaan dengan tindakan pembebasan manusia melaui wafat dan kebangkian Kristus, sehingga manusia dapat berelasi kembali dengan Allah dan berpartisipasi penuh dalam komunitas umat Allah. Kata yang digunakan Paulus untuk menerjemahkan “forgiveness” adalah charizomai (2Kor 2:7; 10; 12:13). Paulus memahami pengampunan sebagai sebuah anugerah, diberikan secara bebas, dengan penuh kerendahatian, sebagai suatu konsekuensi partisipasi penuh dalam komunitas umat Allah melalui Yustifikasi.
Tulisan Paulus tentang tema pengampunan merupakan sebuah aksioma akan hidup Kristus. Melalui tema pengampunan, secara implisit, Paulus ingin menerangkan apa artinya menjadi seorang Kristiani. Dalam Kristus, Allah telah menghapus dosa manusia, dan hidup seorang kristen hendaknya menyerupai hidup Kristus, sebagaimana Kristus telah mengampuni dosa manusia (bdk.Fil 2:5-11). Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana orang Kristen melakukan hal ini? Menurut Bash, Paulus tidak menjawab ini secara eksplisit. Sebagian besar jawaban yang diberikan Paulus menyatakan bahwa kekuatan/kemampuan untuk mengampuni datang dari Allah. Paradigma yang dugunakan Paulus di sini adalah peristiwa kematian dan kebangkitan Kristus. Dalam peristiwa Wafat dan kebangkitanNya, Yesus tidak membangkitkan dirinya sendiri. Ia dibangkitkan oleh kuasa Allah. Dalam cara yang sama, seorang Kristen barangkali perlu berhenti untuk hanya bersandar kepada kekuatan dan kapasitasnya sebagai manusia untuk kemudian berharap serta memohon kepada Tuhan agar dimampukan supaya dapat hidup sesuai kehendakNya sehingga mereka pun dapat mengampuni ( bdk. 2Kor 1:5, 8-10). Anugerah pengampunan dapat diterima oleh setiap orang. Dengan menerima anugerah tersebut seseorang dirubah sehingga menjadi ‘pengampun’ dengan cara yang sama Allah mengampuni. Sebagaimana Paulus memandang bahwa adalah mustahil orang hidup dalam Jalan (kehendak) Allah tanpa mengandalkan kekuatan Allah maka mustahil pula dapat mengampuni seperti Allah tanpa mengandalkan kekutanNya. Suatu kehidupan dalam kehendak/ jalan Allah memperlihat bahwa seorang telah mengalami pengalaman kebangkitan. Dengan pengalaman kebangkitan tersebut, orang kristen menerima kekuatan untuk bisa mengampuni.

5 Kesimpulan
Bash memandang bahwa tidak diragukan jika Perjanjian Baru menunjukkan suatu kebingungan berkaitan dengan tema pengampunan. Mengampuni merupakan bagian dari tindakan keutamaan moral. Mengampuni merupakan sebuah tindakan ideal dan tindakan perwujudan dari mengikuti Yesus. Para penulis Perjanjian Baru, menyatakan bahwa pengampunan sebagai sebuah jalan hidup. Meski demikian, mengampuni tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kewajiban moral, karena mengampuni terkadang menjadi sesuatu yang tidak mungkin, atau bahkan sangat sulit untuk dilakukan. Tindakan mengampuni merupakan ciri khas etika/ keutamaan Kerajaan Allah. Mereka yang menjalankan hal itu akan menampilkan kehadiran Kerajaan Allah di dunia ini saat ini.
Berkenaan dengan absolusi dan pengampunan, meskipun Lucan menyatakan bahwa Yesus membebaskan manusia dari dosa, Jones (1996) justru menyatakan bahwa Yesus sungguh mewujudkan pengampunan dan diriNya adalah pengampun. Absolusi sesungguhnya akan terjadi saat Kerajaan Allah sungguh datang dan dinyatakan. Ditambahkan pula, bahwa di dalam Perjanjian Baru, baptis dan pertobatan memberikan pengampunan pada seseorang; baptisan kemudian dipahami sebagai sebuah tanggapan dan anugerah dari Allah.
Kemampuan/ kapasitas pengampunan interpersonal berhubungan dengan pengalaman pengampunan yang diterima dari Allah karena pengampunan itu sendiri, menurut Bash, bersifat regenerasi, memampukan seseorang untuk menjadi manusia pengampun. Mereka yang mengalami pengampunan dari Allah dan menjadi manusia pengampun, akan melanjutkan/ meneruskan pengalaman pengampunan tersebut. Dalam perumpamaanNya, Yesus memperingatkan mereka yang telah mengalami pengampunan dari Allah namun tidak dapat mengampuni orang lain akan menerima pengampunan dari Allah tidak lebih dari yang mereka berikan kepada orang lain. pernyataan ini memiliki implikasi tertentu. Menurut Bash, seseorang dapat saja menduga bahwa seseorang yang telah mendapat pengalaman pengampunan akan selalu mudah mengampuni orang lain; atau dengan kata lain sebuah pengampunan akan menghasilkan pengampunan baru. Ketika pengampunan bukan sebuah moralitas ideal dari perilaku manusia, maka balas dendam, pembalasan, kemarahan akan menjadi sebuah prinsip alternatif bersamaan dengan kehacuran pribadi dan konsekuensi sosial yang dibawanya.
Pemahaman bahwa orang yang tidak bisa mengampuni tidak akan bisa diampuni, dipandang Bash sebagai sesuatu yang kontradiktif. Jika pengampunan merupakan sesuatu anugerah dari Allah yang luar biasa -dan sesungguhnya tidak pantas diterima manusia- bagaimana mungkin dapat diletakkan dalam tingkatan/ takaran pengampunan di antara sesama manusia? Salah satu pemecahan yang diberikan oleh Bash antara lain sebagai berikut; jika seseorang berjuang sedemikian rupa untuk mengampuni orang lain, sebagai sebuah tanggapan utuh atas pengampunan yang diberikan oleh Allah, maka Allah akan memberikan rahmat pengampunan kepada mereka, jauh lebih besar dari yang pernah Allah berikan. Jika mereka yang menerima rahmat Allah tersebut namun menolak kekuatan transformasi yang diberikan, maka pengalaman pengampunan ilahi yang diberikan Allah kepada orang yang bersangkutan pun juga menjadi terbatas. Bash lebih melihat bahwa mengampuni merupakan suatu usaha dan kerja keras dalam melaksanakan dan menerapkan prinsip moral yang ideal. Seseorang justru dikatakan berdosa bukan karena orang itu gagal mencapai yang ideal tersebut melainkan karena gagal dalam mencoba berusaha untuk mencapai yang ideal tersebut.
Pada akhirnya Bash menambahkan pula, kisah perumpamaan tentang anak yang hilang menggambarkan bahwa pengampunan akan tetap tinggal menjadi sesuatu yang tidak berarti, tidak sempurna sampai terwujud dalam suatu tindakan dan penerimaan kembali mereka yang bersalah. Pada saat pengampunan benar-benar diwujudkan dalam tindakan nyata dan diterima dengan cara ini, termasuk penerimaan seseorang yang bersalah, maka rekonsiliasi pun terwujud.

6 Tanggapan Kelompok : Sakramen Pengampunan Dosa dalam Gereja Katolik
1. Pandangan Biblis
Jika dalam salah satu perikop yang dipergunakan Bash sempat menyinggung bahwa kata-kata pengampunan dan peristiwa penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus hanya merupakan sebuah afirmasi dari tindakan Yesus, maka kami pun bertanya, manakah pendasaran biblis yang digunakan oleh Gereja Katolik dalam sakramen Tobat.
Sacrosantum Concilium (SC 72) biasa menyebut dengan sakramen tobat. Istilah yang biasa digunakan dalam kazhanah gereja adalah “sakramen rekonsiliasi”. Istilah rekonsiliasi merangkum pengertian: inisiatif Allah yang terlebih dahulu menawarkan pendamaian kepada umatNya (pendamaian dengan Allah), pendamaian kita dengan sesama dan seluruh alam ciptaan sebagai dimensi sosial dan ekologis, dan penyembuhan yang bermakna penemuan kembali kehidupan damai pada hati semua orang yang bertobat dan telah menerima pengampunan dosa.
Dasar-dasar sakramen tobat ini dapat kita temukan, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.

1.a Perjanjian Lama
Praktek pertobatan dikenal dalam Perjanjian Lama menurut segi ritual kultis maupun menurut aspek batiniah dan sikap hidup maupun perbuatannya. Bencana dan penderitaan sering dihubungkan sebagai akibat dosa. Konteks dosa dan kesalahan, pertama-tama adalah seluruh umat. Kesejahteraan bangsa ditentukan oleh pertobatan umat setempat yang diungkapkan dalam bentuk tanda dan upacara kultis; berkumpul untuk mengaku dosa (Ezr 9:13; Neh 9:36-37), berpuasa (Neh 9:1), menaburkan abu di atas kepala (Yer 6:26), mengenakan kain kabung (Neh 9:1), menyampaikan kurban bakaran (Im 16:1-19). Tradisi para nabi menekankan bahwa yang terpenting adalah pertobatan batin, pertobatan hati dan sikap hidup yang tampak dalam dimensi sosial (lih. Yes 58:6-7; Yl 2:12).

1.b Perjanjian Baru
Sejak awal karyaNya, Yesus sudah mewartakan pentingnya pertobatan demi Kerajaan Allah (Mrk 1:14). Pertobatan akan membawa orang pada pengampunan dosa. (lih 2:12). Dalam teks tersebut diungkapkan penyembuhan kepada orang tersebut juga menganugerahkan pengampunan dosa. Kedua, teks dipahami sebgai kuasa mengampuni dosa yang juga dimiliki oleh Yesus.
Menurut Perjanjian Baru, kuasa untuk mengampuni dosa yang dimiliki Yesus kini dianugerahkan kepada Gereja. Gagasan pelimpahan kuasa untuk mengampuni dosa dari Yesus kepada Gereja antara lain dikembangkan dalam injil Matius. Matius menyiratkan suatu dimensi eklesiologis, sebagaimana pararel dengan Markus 2:12, “maka orang banyak yang melihat hal itu takut lalu memuliakan Allah yang telah memberikan kuasa sedemikian itu kepada manusia” (Mat 9:8). Kuasa pengampunan dosa Yesus kemudian dilanjutkan dalam diri Petrus (Mat 16:19) dan Gereja (Mat 18:18). Barulah dalam Yoh 20:22-23 kuasa untuk memberikan pengampunan dosa secara eskatologis pada Gereja benar-benar dilimpahkan oleh Yesus Kristus.
Dengan demikian, Perjanjian Baru memahami kuasa untuk mengampuni dosa sebagai kuasa yang dimiliki oleh Yesus sendiri, yang tentu saja diterima dari BapaNya di surga. Sebab,”kepadaKu telah diberikan segala kuasa di surga dan Bumi” (Mat 28:1). Kuasa untuk mengampuni dosa orang itu diberikan dan dilimpahkan oleh Yesus Kristus kepada Gereja secra keseluruhan, dan tentu saja dilaksanakan secara konkret melalui para pelayan Gereja. Di dalam Gereja perdana, pengampunan dosa yang hanya berasal dari Tuhan itu sendiri menuntut beberapa unsur; pertobatan dan penyesalan (bdk. Luk 15:11-14; Kis 2:37-39; 2 Kor 7:9-10), pengakuan dosa (1Yoh 1:8-10; Yak 5:15-16), dan juga usaha yang aktif untuk mengatasi ataupun membuat silih atas dosa, entah memberi sedekah (mat 6:2-6), berpuasa (Mat 6:16-18), dan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani (1 Tim 1:18).

2. Kebiasaan Gereja yang Berubah-ubah
Kebiasaan Gereja Perdana diteruskan dalam Gereja kuno pada zaman para Bapa Gereja. Pada zaman Patristik dikembangkan model tobat publik. Tobat publik ini diperuntukkan bagi warga Gereja yang melakukan dosa berat. Tobat publik ini hanya bisa dilakukan sekali seumur hidup. Mereka harus mengaku dosanya dihadapan Uskup, ditempatkan di kalangan orang yang sedang melakukan laku tapa, dan memiliki tempat kkhusus dalam gereja. Praksis Tobat pribadi mulai berkembang sekitar abad VI dalam kehidupan Gereja barat yang berasal dari rahib Irlandia. Pengakuan dosa pribadi dilakukan secara pribadi di hadapan seorang Bapa pengakuan. Pada zaman skolastik, Tobat udah diterima sebagai bagian dari ketujuh sakramen. Persoalan yang muncul pada masa ini adalah kuasa imam untuk memberikan absolusi. Teolog skolastik menyatakan, Absolusi imam hanya bersifat deklaratif; rahmat Allah sendirilah yang mengampuni dosa. Pernyataan absolusi imam hanya bersifat; menyatakan secara eksplisit apa yang telah dikerjakan Allah itu dan menyatakan bahwa orang itu sudah bersih dari dosa dan boleh kembali ikut perayaan iman Gereja. Thomas Aquinas menyatakan bahwa pengampunan dosa dari Allah itu berdaya dan efektif karena interaksi antara pertobatan orang yang berdosa itu dan absolusi yang dinyatakan imam. Absolusi bersifat kausativ, ikut menyebabkan turunnya rahmat Allah.

3. Pandangan dalam Ajaran Gereja
Konsili Vatikan II Meninjau kembali sakramen tobat. Yang terpentng di dalamnya adalah tobat dan “orang beriman yang bertobat” (bdk. LG 28). Hubungan dengan Gereja juga ditekankan (LG11). Yang dilakukan oleh pentobat dalam sakramen tobat adalah pengakuan dan penitensi. Tobat hendaknya dilakukan dengan laku tapa dan matiraga sukarela. Sakramen tobat terarah pada penerimaan kembali oleh Allah di dalam Gereja. Yang menjadi pokok sakramen tobat adalah pengakuan iman terhadap belaskasihan Tuhan (Bdk. Ef 2:8-10). Oleh rahmat Allah, orang sadar akan kemalangannya sendiri dan menyatakan kelemahannya di hadapan Allah. Allah sendiri menarik orang berdosa. Dengan mengaku diri orang berdosa, manusia menyerahkan diri kepada Allah yang maharahim. Yang pokok adalah orang yang berdosa mohon belaskasihan Tuhan. Dalam Katekismus Gereja Katolik, sakramen tobat penting untuk menyembuhkan dosa-dosa setelah seseorang dibaptis. Kerapuhan dan kelemahan kodrat manusia, hawa nafsu, tetap tinggal setelah Baptis maka dosa tetap ada.
4. Diskusi Ekumenis tentang Sakramen Tobat
Martasudjita menyebutkan bahwa dalam diskusi dengan kelompok reformasi mengenai sakramen tobat masih pada tingkat awal. Gereja reformasi tidak memandang tobat sebagai sakramen tersendiri. Martin Luther, melihat apa yang disebut confessio dan absolutio (Gereja Katolik) tidak lebih daripada reditus ad baptismum (kembali kepada semangat baptisan Kristiani) . Atas dasar itulah Luther melihat bahwa pengampuan dosa bukanlah sakramen tersendiri di samping baptisan dan perjamuan, melainkan suatu usaha kembali kepada semangat baptisan. Tokoh lain, Calvin misalnya pertobatan dalam Gereja Katolik tidak lebih dari sekedar recordatio baptismi, ingatan kembali akan baptisan. Absolutio hanyalah suatu pemakluman tentang pengampunan dosa yang telah terjadi dalam baptisan. Manusia berdosa sudah dibenarkan satu kali dalam baptisan dan tidak perlu diulangi dalam pengakuan dosa berkali-kali. Pertobatan adalah baptisan yang menjadi efektif secara baru dalam iman. Mereka menempatkan tobat sebagai yang penting dalam keseluruhan hidup iman. Bagi mereka, perayaan tobat merupakan pewartaan rahmat Allah yang bersifat membenarkan orang dan mengampuni dosa. Dengan kata lain, pertobatan adalah semata-mata anugerah Allah. Manusia tidak berjasa sedikit pun dalam pertobatan.
Selain itu, kaum protestan juga tidak sependapat terhadap penitensi atau silih atau denda yang dipraktekkan dalam Gereja Katolik. Mereka tidak melihat adanya tapa denda setelah pengampunan dosa, karena itu berarti bahwa pengampunan dosa atas nama Kristus tidak sungguh-sungguh terjadi. Menurut mereka, penitensi yang benar adalah iman dalam Kristus dan hidup yang baik.

7 Diskusi Kelompok
7.1 Apa yang dilakukan oleh Yudas Iskariot, bunuh diri, menjadi representasi manusia yang putus asa, kehilangan harapan. Apa yang dilakukan oleh Yudas berlawanan dengan konsep kehidupan yang merupakan rahmat Tuhan sendiri. Bagaimana Gereja menanggapi realitas bunuh diri tersebut, dan bagaimana pengampunan itu bisa terjadi bagi mereka yang bunuh diri?
Untuk menjawab persoalan tersebut, dapat digunakan dasar dari Katekismus Gereja Katolik yang menyatakan bahwa tindakan bunuh diri adalah bertentangan dengan kasih Allah dan manusia (Katekismus Gereja Katolik no. 2281-2282).
“Everyone is responsible for his life before God who has given it to him. It is God who remains the sovereign Master of life. We are obliged to accept life gratefully and preserve it for his honor and the salvation of our souls. We are stewards, not owners, of the life God has entrusted to us. It is not ours to dispose of” (The Cathecism of the Catholic Church, no. 2280).
Tiap orang semestinya bertanggungjawab atas kehidupannya, sebab Allah telah memberikan hidup kepadanya. Kewajiban manusia ialah untuk tetap menjaga hidup dengan mempertahankan hidup demi kehormatanNya dan demi keselamatan jiwa. Dengan demikian bunuh diri bertentangan sekali dengan kodrati manusia yang merupakan anugerah Cuma-Cuma dari Allah. Bunuh diri berarti menghilangkan kehidupan yang semestinya dipelihara dan dipertahankan. Gereja tidak setuju terhadap tindakan bunuh diri ini, sebab bunuh diri berarti menghilangkan kehidupan, bertentangan dengan konsep cinta kepada Allah yang hidup.
“Suicide contradicts the natural inclination of the human being to preserve and perpetuate his life. It is gravely contrary to the just love of self. It likewise offends love of neighbor because it unjustly breaks the ties of solidarity with family, nation, and other human societies to which we continue to have obligations. Suicide is contrary to love for the living God”. (The Cathecism of the Catholic Church, no. 2281).
Mereka yang melakukan bunuh diri, berdosa. Bahwa mereka yang terlibat atau mendukung peristiwa bunuh diri juga berdosa. Kedosaan tersebut akan menjadi penuh pada saat peristiwa tersebut dilakukan dengan penuh kebebasan (The Cathecism of Catholic Church, 2282). Bunuh diri adalah berdosa. Secara pastoral, berat dan ringan kedosaan itu dilihat kasus per kasus, atau tergantung dari kebebasan di pelaku. Pertanyaan selanjutnya adalah Apakah orang yang bunuh diri akan mendapatkan pengampunan juga dari Allah? Allah adalah kasih. Ia lebih dulu mengampuni, dan akan selalu mengampuni. Orang yang bunuh diri, menurut Gereja, akan mendapatkan pengampunan jika pada saat-saat terakhirnya itu, ia menyatakan kedosaannya. Bagi keluarga yang ditinggalkan, seorang imam pun mestinya mewartakan kabar sukacita dimana keselamatan itu akan selalu datang dan dialami oleh siapapun. Allah masih memberikan kesempatan untuk adanya keselamatan abadi.
We should not despair of the eternal salvation of persons who have taken their own lives. By ways known to him alone, God can provide the opportunity for salutary repentance. The Church prays for persons who have taken their own lives. (The Cathecism of the Catholic Church, no. 2283)
Dalam berpastoral, Gereja menggemakan kabar pengharapan bagi mereka yang telah meninggal. Orang tidak boleh kehilangan harapan akan keselamatan abadi bagi mereka yang telah mengakhiri kehidupannya. Allah sendiri masih memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat supaya diselamatkan. Gereja tetap berdoa bagi mereka yang telah mengakhiri kehidupannya. Demikian Gereja tetap memberikan pengharapan bagi mereka yang telah meninggal, dan teristimewa keluarga yang ditinggalkan.

7.2 Bagaimana pelayanan pastoral bagi keluarga yang meninggal karena bunuh diri. Apakah boleh diadakan misa bagi keluarga yang meninggal karena bunuh diri?
Dalam kasus-kasus tertentu, perayaan ekaristi tetap bisa diadakan untuk mendoakan jiwa orang yang telah meninggal. Gereja tetap memberikan dukungan doa bagi mereka, teristimewa keluarga yang ditinggalkan. Dalam konteks pastoral, komuni dalam ekaristipun tetap dapat diberikan kepada keluarga yang bersangkutan (yang bunuh diri) selama keluarga tidak terlibat dalam peristiwa bunuh diri tersebut. Intinya, Gereja secara pastoral tetap memberikan dukungan doa bagi orang yang meninggal maupun keluarga yang ditinggalkan. Namun begitu, Gereja tidak bisa menyamaratakan langkah pastoral ini secara menyeluruh, sebab berbagai peristiwa harus dilihat kasus-kasusnya terlebih dahulu. Maka Gereja harus mempertimbangkan apakah ekaristi tersebut menjadi batu sandungan bagi masyarakat lain atau tidak. Oleh karena itu, Gereja harus memperhatikan segala sesuatunya secara kompleks.

7.3 Yesus mewartakan Kabar Gembira bagi banyak orang. Mengapa Yesus membawa warta Kabar Gembira?
Yesus mewartakan kabar gembira menjadi tekanan dalam Perjanjian Baru. melalui pewartaan Kabar Gembira tersebut, tekanan pengampunan dalam Perjanjian Baru menjadi nyata. Ada perubahan paradigma dan nilai dari Perjanjian Lama, yakni konsep mata ganti mata, gigi ganti gigi, “Tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak” (Kel 21:23-25). Paradigma baru berkembang dalam Injil, dimana Injil menjadi Injil karena ada pengampunan, yakni orang yang bertobat diampuni. Inilah yang menjadi kekhasan kristiani. Pengampunan bukan saja karakter iman tapi inti iman Kristiani.
Apabila dibandingkan dengan Paulus mengenai iustifikasi. Sebenarnya tidak bisa dipisahkan antara iustifikasi dan pengampunan karena pembenaran dilakukan dengan pembenaran, dan tidak ada pengampunan tanpa pembenaran. Sementara persoalan Protestan dan Katolik adalah soal bagaimana cara iustifikasi tersebut? Apakah iustifikasi tersebut berasal dari perbuatan manusia itu sendiri atau semata-mata dari Allah (perlu Allah). Menurut Katolik, iustifikasi semakin benar dengan perbuatan.

8 Penutup
Yesus mewartakan supaya bertobat. Seruan ini adalah bagian hakiki dari pewartaan Kerajaan Allah, “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk 1:15). Seruan pertobatan pertama ditujukan bagi mereka yang berlum mengenal Kristus, dan dalam pertobatan kedua, ditujukan bagi mereka orang-orang Kristen. Demikian Gereja selalu menjalankan pertobatan dan pembaharuan terus menerus (LG 8).
Pertobatan pertama-tama adalah karya rahmat Allah, yang membalikkan hati manusia kepadaNya. Demikian pula pengampunan menjadi milik Allah yang hadir dalam diri Yesus yang mendapat kuasa untuk mengampuni (Mrk 2:10), bahkan berkat otoritas ilahiNya, Ia memberi kuasa tersebut kepada manusia, supaya merekapun melaksanakannya atas namanya. Inilah yang dapat disimpulkan, tentu saja dari kacamata kristiani, bahwa Allah senantiasa berbelaskasih kepada manusia, melalui pengampunan yang dilimpahkannya kepada manusia.

Daftar Pustaka
___”____, Kitab Hukum Kanonik, Roma, 1983
___”____, The Cathecism of the Catholic Church, Vatican, 1997
Bash, Anthony, Forgiveness and Christian Ethics, Cambridge University Press, New York, 2007.
Griffin, James A, Ringkasan Katekismus Katolik Yang Baru, Penerbit Obor: Jakarta, 1996
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 1996.
Mali, Matheus, Diktat Moral Dasar, Fakultas Teologi Kepausan Wedhabakti; Yogyakarta
Martasudjita, E, Sakramen-sakramen Gereja, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003.
Sujoko, Albertus, MSC, Praktek Sakramen Pertobatan dalam Gereja Katolik : Tinjauan Historis, dogmatis, dan pastoral, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2008.

Prasetya Handaya Wicaksana, Ignatius
Tri Kusuma, Albertus