Sabtu, 21 Februari 2009

Metamorfosa Diri



Legio Mariae Ratu Para Saksi Iman Kota Baru
13 September 2006, 17.00 wib

Yak 3:16-4:3

Salam dari Yakobus,

Aku membayangkan pada hari ini kudapatkan sepucuk surat dari Yakobus. Dia seorang Hamba Allah dan Tuhan Yesus Kristus. Ada perasaan berkecamuk dalam diriku. Kira-kira apa yang ia maksudkan dalam surat tadi.
Perlahan aku mulai membaca surat itu dan ternyata sebuah nasehat atau mungkin peringatan yang ia tujukan kepadaku.
Pada ayat sebelumnya ay. 13 yang ia tulis, dia bertanya kepadaku “ Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan”. Spontan perasaan yang muncul adalah bingung? Kenapa ia bertanya seperti itu? Apakah ia meragukan hidupku, Apalah ia mengajakku untuk berefleksi tentang hidupku. Benarkah aku sudah bijak dan berbudi?
Lalu dalam kalimat berikutnya ia cantumkan begini “sebab dimana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat”.

Metamorfosa Diri

Pada mulanya, manusia tercipta baik adanya. Benar kata Kitab Kejadian yang mangatakan “segala sesuatu diciptakan Tuhan baik adanya”. Demikian manusia, diciptakan paling sempurna dibanding dari mahluk-mahluk ciptaanNya di dunia. DiberiNya hak untuk menguasai dan menggunakan isii dunia untuk kesejahteraan dirinya. Serta beranak cucu mengisi dunia. Tak pernah puas menikmati segala sesuatu yang ada adalah salah satu ciri manusia sekarang ini. Sejatinya, manusia menginginkan kesempurnaan dalam hidupnya. Tidak pernah puas akan apa yang telah diperoleh. Seandainya bisa mendapatkan dua mengapa harus satu.

Sejak saat itulah, persaingan marak mewarnai dunia. Homo homini lupus Kata itu tak asing di telinga kita. Manusia tega memakan sesamanya. Mungkin rasa cinta, kemanusiaan telah tertanggalkan dari benaknya, sehingga sesama tak lagi dianggap ada. Tak peduli lagi rasa kemanusiaan, tak ingat bahwa saling tercipta dari keberasalan yang sama. Makna kuasailah dunia menjadi berganti amat pribadi, sehingga terbuka persaingan untuk saling menjatuhkan satu sama lain demi sejengkal kekuasaan yang tak kan pernah mampu puaskan hati.

Terkadang aku heran bahwa sekarang ini manusia telah memaklumkan persaingan yang saling menjatuhkan. Dan mungkin, aku sendiri telah turut serta mengabadikannaya dalam pergaulan sehari-hari. Lihat saja, bunuh membunuh selalu mengintai di sekitar kita, pertikaian antar suku, daerah, bahkan sampai agama mewarnai hidup kita sekarang ini. Sebenarnya, inti persoalan itu apa? Memang, kita tak dapat menyimpulkan begitu saja pada satu titik persoalan. Ada serentetan peristiwa yang tidak begitu saja dapat disimpulkan, bahkan cenderung tak memberikan kesimpulan alias tidak jelas.

Aku mencoba memilahkan pendorong ketidakharmonisan dalam masyarakat yang kerap kita temui sekarang ini. Bukan hal baru, namun sekedar menampilkan kembali supaya kita kembali tersadar bahwa persoalan kita sama. Dan ada akar permasalahan yang selalu sama meski kadarnya berbeda. Iri hati. Wah kata ini kiranya sangat lekat dengan kehidupan kita. Semenjak kita kecil, kita telah dijejali oleh istilah tersebut. Yang terkadang menkondisikan kita hidup dalam rasa perasaan semacam itu. Tentu kita tak bisa menyalaahka siapa penyebab munculnya rasa iri hati. Bahwa manusia memiliki iri hati dalam hatinya adalah benar adanya. Dan kita mengakui kebenarannya. Kendati tak semua, dari kita, memiliki kadar yang sama.
Ya, iri hati, egoisme....itu biasa, wajar sebagai manusia normal. Eksistensiku sebagai manusia mesti ada. Aku mesti diakui oleh orang lain. Aku tidak mau hidup dalam kekurangan, sekali lagi aku tegaskan, jika bisa memiliki AB mengapa mesti punya B. Sebab dalam kekurangan terkadang aku merasa minder, takut bergaul dengan orang lain. Untuk itu aku lebih tertantang untuk memiliki apa yang orang lain punya untuk ku miliki pula.
Sejenak aku berpikir....apakah benar permenunganku tadi?

Sesaat aku sadar. Betul juga. Iri hati disebabkan dari ketidakmampuan diriku untuk mencapai sesuatu dan aku begitu berhasrat untuk memilikinya, sementara orang lain mampu meraihnya. Iri hati bisa lahir dari rasa tidak suka, tidak terima atas sesuatu yang orang lain miliki. Entah itu pekerjaan, kehormatan, popularitas, kekayaan, dan lain sebagainya. Iri hati membuatku menjadi tidak mengenal diriku sendiri, oleh karena terlalu diperbudak oleh prestise dan harga diri. Bahkan iri hati membuatku menutup diri dari orang lain. Sehingga tidak sedikit, orang lain mengacuhkanku. Terkadang aku menjadi begitu sulit untuk diajak terbuka. Aku takut jika orang lain tahu siapa diriku yang sebenarnya. Aku yang penuh dengan kekurangan. Reaksi penolakan ku secara spontan adalah marah, tidak terima apabila orang lain mengusik ketenangan batinku yang penuh lubang-lubang kebobrokan. Ya, surat ini cukup membuatku luka. Membuatku kembali berpikir akan sikap ku yang telah lalu.

Kesadaranku ini kembali diteguhkan saat membaca kalimat berikutnya : “Ingat, hikmat yang datang dari atas adalah pertama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, belas kasih, tidak memihak dan tidak munafik.

Benar juga, bagi Allah jelas tidak mungkin akan memberikan sesuatu melampaui batas kemampuanku. Keras kepalaku saja sebagai manusia, yang akhirnya mengikatku dalam keangkuhan, lupa bahwa, Ia telah mempertimbangkan segala sesuatunya dengan amat bijaksana. Yakobus mengingatkanku bahwa Allah tetap memberikan yang terbaik bagiku dengan segala keterbatasan yang kumiliki. Aku menjadi sadar bahwa aku bukan asal mula dan tujuan akhir. Dan tidak ada seorangpun dapat berdiri di atas kakinya sendiri.
Allah tidak akan pernah membuat umatNya jatuh. Seluruh usahaNya terhadap manusia menunjukan kesaksian yang tak tergoyahkan atas kesetianNya. Ia hanya minta ketetapan hati, kesetiaanku. Allah tak pernah terkalahkan. kemenanganNya pasti.
Aku jadi ingat pesan kitab suci begini “Cukuplah karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna”.

Mengenal dan menerima kerapuhan diri merupakan sikap benar di hadapan Tuhan, yang membuat orang mau menerima kekecilan, yang memerlukan uluran tangan Tuhan. Disposisi kita berhadapan dengan karya rahmat Allah. Dari situ dapat ditemukan pergulatan kita berhadapan dengan rahmat Allah dalam diri Yesus Kristus.

Marilah kita memerangi relasi emosional dalam diri kita. Nafsu-nafsu yang menghambat relasi kita dalam kelompok, masyarakat dan dengan Tuhan sendiri.
Marilah kita memerangi permusuhan emosional kita. Sikap ini manghalangi damai, cinta dalam diri kita. Bagaimana kita bisa belajar kecuali melalui beberapa kesalahan dan kegagalan?

Renungan:
Apakah terasa ada kekuatan untuk lebih berani mempercayakan diri kepada Tuhan, sehingga kuatlah harapan, iman dan kasih? Memiliki optimisme sekaligus realistis terhadap kenyataan diri, karena percaya akan kuasa rahmat Allah?
Apakah dorongan kehendak untuk maju dalam perkara rohani semakin tumbuh?

Aku semakin yakin sesungguhnya dalam setiap ciptaan terkandung keistimewaan. Yang mana kelebihan dan kekurangan adalah isinya. Aku ingat saat pastur pendampingku berkata : “pada prinsipnya, mawar adalah mawar. Yo wis aku ki mawar. Aku gak bakal bisa menjadi melati, bunga terompet atau yang lain. Demikian melati, tak bisa menjadi mawar, terompet. Atau bunga yang lainnya”. Bahwa bunga-bunga itu dapat menjadi indah karena ia bertumbuh menjadi dirinya. Ia tak pernah membayangkan diri atau bermimpi menjadi bunga yang lain.


Kesejatiannya ada pada identitas dirinya. Demikian setiap dari kita adalah insan yang istimewa. Kita tak perlu bermimpi untuk menjadi orang lain. Tetapi cukuplah menjadi diri sendiri dengan segala kepenuhannya (Pendamping Rohani, Tri Kusuma)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar