Sabtu, 21 Februari 2009


Biodata

Albertus Tri Kusuma terlahir di Purbalingga, 10 November 1983. Perjalanan pendidikannya adalah sebagai berikut, SD N 2 Kedunglegok, SMP Santo Borromeus, SMA Pangudi Luhur Van Lith, Kelas Persiapan Atas (KPA) Seminari Menengah St. Petrus Kanisius Mertoyudan, Tahun Orientasi Rohani St. Agustinus (TORSA) Tegal, Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, dan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Petrus Pekalongan.

Perjalananku
Aku datang ke Pekalongan tepat pada hari Senin, 14 Juli 2008, jam 13.00, sehari sebelum waktu yang ditetapkan. Aku datang dihantar oleh bapak (kebetulan bapak tidak ada acara-rencananya berangkat sendiri) naik sepeda motor dengan beberapa bekal seadanya. Datang pertama langsung bertemu dengan Bp. Edy dan Mas. Yoris, dan dihantar naik ke lantai 3. Aku bertemu dengan romo Toro, makan siang, dst.


Kini aku bergulat dengan kehidupan umat di lingkungan Pantura, kota yang ramai dan panas. Meskipun panas, toh kota Pekalongan pernah hadir dalam serpihan pengalamanku di masa lalu. Kota Pekalongan bukan kota yang asing, sebab kota ini pernah menyisipkan kenangan dalam hatiku. Dan selama masa TOP ini, aku berusaha untuk tinggal, hidup dengan apa adanya diriku. Berusaha mengenal kecintaanku pada Tuhan melalui karya dan pergulatan panggilanku. Semoga Tuhan membantuku menjadi pribadi yang semakin berkembang.

Perjalanan panggilan
Aku hidup dalam keluarga katolik sebagai anak ke-3 dari empat bersaudara (3 laki-laki dan 1 perempuan). Saat kecil, aku kerap diajak ortu melakukan pelayanan di stasi-stasi (bagian dari Paroki St. Agustinus Purbalingga). Waktu itu bapak adalah prodiakon yang sangat aktif. Bagiku bapak menjadi figur yang patut ku teladani, terutama ketekunan dan totalitasnya dalam pelayanan. Melalui pelayanan2 itu aku menjadi mengenal Gereja.

Pengenalanku terhadap Gereja semakin bertambah, yakni tentang kehidupan para imam. Kerapnya perjumpaan dan kedekatan dengan imam, memberi inspirasi dan ketertarikan untuk menjadi seperti dirinya. Saat aku mengikuti misa mingguan di gereja, kerap aku berfantasi telah menjadi seorang imam, berada di altar tengah mengangkat roti dan anggur. “Wah pokoknya seneng banget”. Bahkan tidak hanya berhenti di situ, setiap kali di rumah sedang sendiri, saya kerap membuka buku madah bakti, puji syukur dan bersenandung lagu-lagu yang dinyanyikan oleh imam. gerak tubuhku pun sudah laiknya imam. Keinginanku menjadi seorang imam kian menggebu saat aku berada di SMP, kelas 2. Aku mencoba mendaftar ke seminari mertoyudan, tetapi gagal. Ternyata Tuhan berkata lain. Aku bingung dimana aku harus melanjutkan sekolah. Yang jelas aku ingin sekolah di luar kota Purbalingga. Aku ingin seperti kakak-kakakku yang sekolah di jogja. Maka kuputuskan untuk belajar di luar Purbalingga. Aku masuk SMA PL Van Lith berasrama. Kendati bukan pilihan pertama. Awalnya aku ingin masuk de Britto dengan alasan bisa berpakaian bebas, berambut gondrong. Tetapi simbah di jogja melarangku masuk ke de Britto. Katanya, “repot”, karena harus memikirkan kost, uang saku dll. Akhirnya aku dianjurkan masuk sekolah berasrama saja. Syukur kepada Allah, Tuhan memberiku kesempatan untuk belajar di situ. Masa SMA benih-benih panggilan mengalami pasang surut. Bahkan keinginan untuk menjadi imam, tidak lagi menggebu. Namun, saya merasa heran, ketika berada di SMA, aku selalu dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang berbau rohani. Aku pernah menjadi koster sekolah, memimpin ibadat di kelas, memberi renungan-doa. Yang lebih aneh lagi, aku punya nama julukan “bruder”. Sebutan itu muncul oleh karena tingkah lakuku seperti bruder, yang kerap berkeliling mengawasi anak-anak belajar dengan membawa segepok kunci di tangan. Selain itu, teman-teman juga tahu bahwa aku pernah mendaftar ke seminari (saat SMP). Secara tidak langsung, mereka tetap mengingatkanku, menjaga hidup panggilanku dengan kegiatan2 yang berbau rohani.

Bagiku, benih panggilan semasa SMA tidak lagi menggebu. Justru rasa suka, cinta dengan lawan jenis adalah yang dominan. Wah…ini pengalaman jatuh cinta, “inget lagu “jatuh cintaku yang pertama membuat hatiku berlomba…..dst”. benar juga rasa cinta membuat suasana hati berbeda. Tapi ternyata pengalaman cintaku itu tak mulus. Rasa cinta tinggal perasaan saja yang menyisakan sesak dalam dada (hahahaha.…) ini pengalaman cinta yang konyol, dan setiap kali mengingatnya membuatku tertawa. Tapi biarlah, aku bersyukur boleh mengalami perasaan-perasaan semacam itu. Dan aku berterima kasih pada Tuhan atas pengalaman itu.
Kelas 3 saat-saat yang menentukan bagiku. Waktu itu aku bersama teman-teman (satu angkatan) ijin ke seminari. Ijinnya mau melihat informasi, tanya informasi pendaftaran masuk ke seminari. Padahal alasan utamanya bukan itu, alas an sebenarnya adalah pengen jalan-jalan, tidak ikut pelajaran. Akhirnya, kami ber tujuh belas atau berapa (sudah agak lupa), kami ke mertoyudan. Dari ketujuh belas teman itu, yang mendaftar ada 6 orang, termasuk aku. Dan diterima 3 orang. Maka teman seangkatanku dari SMA ada 3 orang. Alasannya masuk ke seminari mungkin karena bingung mau masuk ke PTS mana, tapi itu bukan yang utama? Ada keinginan tersembunyi bahwa aku ingin menguji kembali apa yang pernah kucoba dulu waktu SMP. Motivasiku adalah menjadi seorang imam yang mau melayani Tuhan dengan baik, serta melayani umat dengan sepenuh hati. Saat itu aku tidak begitu bermuluk2 ingin diterima di seminari, sebab aku ingin berjalan sebagaimana adanya diriku (tidak mau bermimpi terlalu jauh). Ternyata Tuhan memilihku. Tuhan memberikan kesempatan kepadaku untuk menanggapi panggilan-Nya.

Aku masuk Seminari Mertoyudan. Awalku masuk di seminari ditemani guliran air mata. Mengapa? Persis saat aku masuk ke seminari mertoyudan, kakakku telah memutuskan untuk mundur dalam menanggapi panggilan Tuhan. Satu pertanyaan yang masih teringat, “Tri, Apakah kamu benar-benar mantap memilih jalan panggilan ini?”. Terang saja, aku tidak langsung menjawab (ah, sentimentil banget ya…). Namun pertanyaan itu selalu relevan untuk kumunculkan, dan mengingatkanku bahwa panggilan ini adalah keputusanku.
Satu tahun di KPA Mertoyudan, dan aku memutuskan untuk masuk menjadi imam Praja Keuskupan Purwokerto. Mengapa? Sebab aku berasal dari keuskupan Purwokerto. Aku ingin mengembangkan Gereja Keuskupan Purwokerto. selain bahwa imam diosesan Keuskupan Purwokerto tidak begitu banyak. Gereja Keuskupan Purwokerto masih membutuhkan banyak imam. so, “ada yang mau mendaftar ke seminari, jadi romo?”. Setelah mengikuti beberapa proses, aku diterima masuk dalam Keuskupan Purwokerto. Selama satu tahun aku tinggal bersama 5 teman lainnya di TORSA Tegal (angkatan pertama Tegal setelah 2 tahun sebelumnya berada di Pekalongan). Romo yang mendampingi saat itu adalah Rm. Sugiarto, SJ dan Rm. Ag. Dwiyantoro, Pr. Dan selanjutnya aku diutus studi ke Seminari TInggi St. Paulus Kentungan bersama 2 frater lain. setelah selesai menempuh studi di Seminari TInggi St. Paulus aku mendapat kesempatan untuk belajar pastoral di Paroki St. Petrus Pekalongan dan kembali berjumpa dengan Rm. Toro untuk kali yang kedua (dalam formatio).

Demikian sekilas perjalanan panggilanku, sampai sekarang aku masih terus membangun kesetiaan untuk berada di jalan panggilan-Nya. Aku yakin bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk diriku. Maka aku tidak perlu cemas akan hidup dan panggilanku, sepenuhnya aku pasrahkan kepada diri-Nya. Oh ya ada satu ucapan yang menohok dan membuatku bermenung tentang panggilanku selama ini, “Setiap pilihan hidup sepatutnya dijalani, tapi lebih baik menjalaninya dengan penuh KESADARAN…Just do it!!! God will open your way…..”. Aku bersyukur bahwa ada begitu banyak orang yang menaruh perhatian dan meneguhkan panggilanku. Terima kasih Tuhan.

Tugas di Paroki
Aku menjalani TOP di paroki St. Petrus Pekalongan. Memang secara khusus, aku mendapat kesempatan untuk mengenal dan terlibat dalam kegiatan kaum muda di paroki St. Petrus Pekalongan. Selain juga mengenal berbagai pelayanan gerejani, dan mengenal kelompok kategorial dan territorial yang berkembang di Paroki St. Petrus Pekalongan ini.

Harapan pada paroki
Sebenarnya aku bingung harus menaruh harapan apa pada paroki St. Petrus Pekalongan. Dan sepertinya aku tidak begitu layak menuntut terlalu banyak terhadap paroki ini. Toh keberadaanku disini tidak akan begitu lama. namun, sejauh pengenalanku terhadap Gereja ini, aku berharap bahwa Gereja pekalongan menjadi semakin berkembang, tidak sekedar memiliki bangunan yang megah, kokoh menjulang tinggi dengan berbagai kemeriahan yang melingkupi sekitarnya, tetapi memiliki bangunan rohani yang kuat, yang tercermin dalam antusiasme hidup menggereja umat. Sebab seperti tubuh tanpa jiwa, tubuh bukanlah apa-apa. Tapi, eh kaum mudanya mana niech…sepi, sepi azzza????

Motto
Akh, mungkin terkesan mencari-cari apa yang menjadi motto pribadiku. Terus terang aku tidak begitu suka dengan istilah motto. Tetapi baiklah aku berusaha merenungkan apa yang pernah kutuliskan dalam friendsterku saat ini (agak gaul nich pake friendster segala), “"PeRgilaH MeNujU TeMpaT di ManA kAu Tak DaPaT pErGi, MenUju YaNg tAk mUngKiN. ItUlaH sAtU-sAtuNya jAlaN pErGi aTau DaTanG, itu kata Derrida, filsuf yang kusuka"

Yang Unik Saat di Paroki
Tubuhku tidak terlalu besar dan tinggi. Aku menganggap porsi tubuhku ideal (hehehe….pembelaan ki). Rupanya sebagai frater yang bertubuh kecil, aku kerap kali disangka mudika, “wah, saya kira mudika…habis fraternya kecil sich…), selain itu juga, kerap disangka anak misdinar. Wah-wah…ternyata tubuh kecil membawa banyak keuntungan yach. Nah, kalau yang satu ini adalah tugas beratku, yaitu bagaimana menambah berat badanku. Bayangkan, setiap kali makan pasti akan disodori ungkapan, “ayo ‘ter makan yang banyak..biar cepet (gedhe) besar…kekekee…’ dan kutimpali dengan senyum tanpa bisa berbuat apa-apa selain terucap kata “iya…”.

(tri)

1 komentar: