Sabtu, 21 Februari 2009

Fajar Di Kaki Sindoro-Sumbing



Diluar sana begitu gelap. Matahari belum keluar dari peraduan, seakan enggan bersaing dengan kabut-kabut pegunungan pagi ini. Burung-burung enggan keluar dari sarangnya. Sekedar binatang malam, yang mbandel, masih terlihat nongkrong beberapa di pinggir jalan sembari melakukan peregangan, mengusir dingin yang menggigilkan tubuhnya.
Tak terlihat ramai, seperti hari-hari sebelumnya. Ada apa? Tampaknya, orang-orang di pegunungan ini masih asyik bercengkerama dalam kehangatan dan balutan tubuh yang bergelayut di atas kasur empuk. Menggiurkan. Ah...gila.......!!.
Tetes embun bergulir membasahi bumi, dan kabut pagi terus selimuti kota kecil di kaki Sindoro-Sumbing. Aku masih menelungkup diri di bawah lindungan selimut tipis lorek-lorek hitam, malas.
Tak kubiarkan kesepian melandaku pagi ini. Kusambar diskman di sampingku dan kuputar lagu melo keras-keras. Kulanjutkan kembali tidurku, setengah sadar, sembari mendengarkan lagu dan mengikutinya dengan seksama.
Kutuliskan kesedihan semua tak bisa kau tinggalkan
Bahkan kutakkan bicara dengar Hatiku
Buang semua puisi antara kita berdua
Kau butuh dia sesuatu yang kusebut itu cinta
Yakinkan aku Tuhan, dia bukan milikku
Biarkan waktu, waktu hapus aku
Sadarkan aku Tuhan, dia bukan milikku
Biarkan waktu, waktu hapus aku
Ku tuliskan kesedihan
semua tak bisa kau tunjukan
bahkan ku takkan bicara dengar jiwaku
Satu persatu lagu-lagu Nidji menemaniku pagi ini. Di luar sana, matahari sudah tak tahan lagi bersembunyi dari sarangnya. Satu persatu sinarnya menembus korden jendela kamarku seperti lampu sorot, saat pesta sekaten di Jogja. Bersilangan, dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Terang sekali. Salah satu sinarnya berhasil menembus selimut tipis lorek-lorek hitamku. Aku kesal dibuatnya. Habis, pagi ini, rasanya ingin kuhabiskan saja di atas tempat tidur.
Belum selesai dengan rasa kesalku, tiba-tiba terdengar gaduh di luar sana. Pikirku langsung tertuju pada Sapta. Kursi-kursi digeser, tidak diangkat, alhasil suara tak nyaman terdengar ditelinga.
“Srrrttt..ngiiiiiitt.”
“Waduh, dasar Sapta. Pagi-pagi udah bikin gaduh, bikin pusing aja” keluhku dalam hati, sembari kulipat selimut tipis lorek-lorek kesayanganku.
“Sapta...., diangkat dong kursinya”
“Berisik tahu!!”
“Eh....bangun. Matahari udah di atas kepala, tuch. Nyapu-nyapu-ke”
Sapta membalas teguranku dengan sedikit marah. Sembari melempar kursi-kursi dengan kerasnya.
Oh, ya omong-omong soal selimut. Aku jadi ingat Nindya. Waktu itu, aku mo pergi ikut kegiatan sekolah, home stay, di lereng Merapi-Merbabu. Satu hari sebelum keberangkatanku bersama rombongan, rencananya ada 2 bis, Nindya ngasih bingkisan kecil, berwarna merah muda, bermotif bunga.
“Jaga diri baik-baik ya”
“Buka hadiah ini, saat kamu mau tidur. Ingat!! Sebelum tidur.”
Aku mengamat-amati bingkisan kecil, berwarna merah muda, dan bermotif bunga dalam tanganku. Aku tersenyum kecil.
“Terima kasih, Nindya...”
“Aku akan membuka bingkisan ini sebelum aku tidur, seperti yang kamu minta”
Kami berpandangan, tersenyum dan kemudian melangkahkan kaki menuju warung di pinggir sawah, dan persis dibawahnya sungai mengalir jernih. Gemericik air mengiringi percakapan kami yang ndhledhek kemana-mana, sesekali gelak tawa mengisi kesendirian bunyi air di bawah kami.
***
Sebenarnya, aku belum begitu mengenal Nindya. Aneh juga, saat pertama kali ketemu dia. Tak ada perasaan apa-apa. Mungkin, lantaran sering berjumpa, menyapa dalam kegiatan yang sama, aku menjadi akrab dengannya. Keceriaan yang selalu tampak dari wajah sederhananya, membuatku turut merasakannya. Keceriaannya membuat banyak lelaki jatuh hati kepadanya. Jujur saja. Ia anak yang gaul. Teman-temannya bilang begini ;
“Nindya itu ODI…”
Aku terkejut mendengar pernyataan itu.
“O..D…I..?”.
“Maksudmu….?”, dengan beban tanya menggelayut dalam pikirku. Berharap dengan segera mendapatkan jawabnya.
“Eh..ODI itu..Ora Duwe Isin…ha..ha,..ha”, temanku menjawab dengan girang disambut dengan tawa lepas yang keras, membuat heran beberapa orang yang lewat di sekitar kami.
“Tapi..emang benar…Nindya itu ora duwe isin”.
“kemana-mana maunya melucu..guyon..dan membuat sesuatu yang aneh, nganeh-anehi, ngono-lah”.
“Tapi anehnya, banyak orang yang suka sama dia. Mungkin karena sikapnya yang los, lepas dan enak diajak berteman kali”.
“EH, tapi….ada apa ya..jangan-jangan..”, temanku mulai curiga dengan sikapku yang seakan menyelidik segala sesuatu tentang NIndya. Tangannya menuding-nuding dan disambung dengan tawa lepas yang keras lagi.
***

Bulan dan bintang
temani aku malam ini
ku ingin nyanyikan sebuah lagu
tentang kisah cintaku dengannya
Hari-hari yang kujalani
bersamanya berwarna dan bermakna
cinta yang pernah kurasakan dulu
tak seperti cintaku saat ini
Andai aku menjadi malaikat cinta bersayap
akan kubawa kau terbang
menuju taman bunga cinta yang sedang bersemi

Tapi, aku belum mengatakannya. Aku belum cukup berani untuk mengatakannya. Biarlah rasa ini kupendam dalam hati, hingga saat yang tepat telah tiba.

“Sapta....diangkat dong kursinya..!!”
“Berisik tahu!” (to be continued)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar