Sabtu, 21 Februari 2009

Gereja Pekalongan “Gereja Supermarket”
Iya ‘ga sich, gitu ‘ga sich?


Siapakah Gereja?
Gereja adalah persekutuan umat beriman kepada Allah. Mereka, umat beriman, berkumpul memuji dan memuliakan Allah. Lantas, Gereja pun tampil sebagai sakramen keselamatan manusia yang bersifat total -menyangkut seluruh eksistensi manusia-. Tuhan melepaskan manusia dari belenggu kehidupan dan menyatukan dengan diri-Nya dalam kebahagiaan, kehidupan penuh rahmat, kekudusan, dan kedamaian. Oleh karena itu Gereja terpanggil untuk terlibat menjadi saksi Kabar Gembira keselamatan bagi banyak orang. Inilah bentuk keterlibatan Gereja dalam dunia. Gereja yang berziarah dan menampilkan karya Allah di dunia supaya segala sesuatu menjadi baru dalam nama-Nya. “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatunya baru” (Why 21:5). Namun muncul pertanyaan kritis, “Siapakah yang dimaksud Gereja?”. Apakah Gereja sebagai persekutuan umat beriman kepada Allah (terungkap di atas) atau gereja sebagai bangunan yang berdiri megah dan mewah saja?

Gereja St. Petrus Pekalongan memiliki kemewahan luar biasa. Kita pantas bersyukur, kita memiliki gereja semegah itu. Namun jangan sampai kita berhenti di sini. Gereja yang terpenting adalah Gereja persekutuan umat Allah. Gereja yang adalah organisme, manusia beriman yang hidup di dalamnya, bukan semata susunan batu bata, semen, besarnya tiang-tiang, dan semaraknya lampu hias. Amat ironis jika aura keberimanan umat tidak semeriah bangunan gerejanya. Kita bisa berefleksi dari guliran-guliran cerita dibawah ini :
“Setiap kali Gereja mengadakan kegiatan, seperti rapat, seminar, bedah buku, persekutuan doa, pesta-pesta (HUT, Natal, Paskah) hampir tidak banyak umat yang terlibat di dalamnya. Padahal jumlah umat Katolik Paroki St. Petrus Pekalongan kurang lebih 3000 jiwa. Tetapi mengapa yang terlibat tidak mencapai 25%, “Kemana umat yang lain?”. Selama ini umat yang aktif, itu-itu saja. Dalam rapat, seminar, persekutuan doa, dan pesta hanya bertemu dengan orang yang sama. Sletingan-slentingan lain adalah lemahnya antusiasme umat dalam berkegiatan. Rupanya istilah SMP, setelah makan pulang, menjadi humor apik yang muncul selama ini. Mengapa demikian? Karena setelah makan, beberapa umat pulang, padahal acara belum selesai. Hal itu terjadi dalam semua acara. Apalagi jika menu acara yang ditawarkan tidak menarik. Minat, hasrat umat untuk terlibat tidak begitu banyak”.

Apakah aura keberimanan umat belumlah semeriah bangunannya. Ada ungkapan spontan yang mengomentari cerita-cerita di atas, yaitu ungkapan “Gereja Pekalongan adalah Gereja supermarket”. Pengertian Supermarket, menurut KBBI[1], adalah pasar swalayan. Di dalam pasar swalayan tersedia berbagai pilihan. Pembeli datang, melihat-lihat mana yang menarik dan tidak. Pembeli tinggal memilih mana yang mau dibeli. Pasar swalayan menjadi ramai, laris, ketika banyak pilihan menarik yang ditawarkan. Tetapi berbeda ketika pasar swalayan tidak menyediakan pilihan menarik, pasar swalayan menjadi sepi. Apakah Gereja Pekalongan dapat dianalogikan semacam itu? Bahwa kehidupan menggereja umat amat tergantung pada menu-menu yang disediakan oleh Gereja. Banyak sedikitnya umat dalam kegiatan menggereja tergantung pada kemasan, tergantung pada kharisma pribadi, cocok dan tidak, atau menarik dan tidak menariknya acara. Akhirnya umat sekedar menjadi penonton, “penikmat” tanpa mau terlibat. Apakah Gereja Pekalongan adalah Gereja supermarket, sekali lagi mengajak kita bertanya, “bener ga sich, gitu ga sich????”. Ada seorang umat pernah bercerita tentang pengalaman imannya sebagai orang Katolik :
“Dulu saat saya tinggal di daerah timur (Tim-Tim)-penulis lupa nama tempatnya- saya tidak pernah “mampu” mengikuti misa. Mengapa? Karena jarak rumah dan gereja terlampau jauh kurang lebih 1 hari 1 malam. Di dusun, hanya saya (keluarga) yang beragama katolik. Praktis tidak pernah ada doa bersama, doa lingkungan dsb. Semenjak saya tidak misa, tidak menyambut tubuh dan darah Kristus, hidup seakan ada yang kurang, tidak lengkap. Anehnya, kerinduan untuk menyambut tubuh dan darah Kristus itu terus menggebu-gebu. Inilah yang mendorong kami berangkat ke gereja di kota. Saya mengajak istri dan 2 anak yang masih kecil-kecil. Selama 1 hari-1 malam kami berjalan, kami menggendong anak kami secara bergantian, melewati hutan, dan jalan berlumpur (tidak ada angkutan). Kami sempat putus asa. Rasanya letih, cape. Tapi, kami tetap meneruskan perjalanan. Akhirnya, kami dapat merayakan misa. Hati kami bahagia, seperti hati yang haus, dilegakkannya, hati yang letih, disegarkan-Nya. Kami bersyukur atas perjumpaan itu. Setelah misa, kami kembali pulang membawa oleh-oleh berkat dan semangat berkat dari-Nya. Kami pulang, berjalan selama 1 hari, 1 malam.
Kini kami bersyukur, kami tinggal di P. Jawa. Kami bisa mengikuti misa setiap hari, tanpa harus berjalan 1 hari-1 malam. Cukup sepeda onthel menjadi tumpangan kami. Kami berboncengan dengan penuh kegembiraan”.

Keberimanan terlihat melalui kesadaran dan keaktifan menanggapi cinta kasih Allah. Sapaan cinta kasih Allah hadir dan bersentuhan dengan pengalaman hidup manusia. Peran manusia adalah menanggapi dengan bebas sesuai keyakinan serta pergulatan imannya kepada Allah.
Iman bukan pertama-tama menerima berbagai macam aturan, melainkan menghayatinya secara bebas dan bertanggung jawab dalam kesatuannya dengan Allah. Apabila iman dipahami secara dangkal, yakni sekedar ketaatan lahiriah terhadap aturan-aturan tertentu, maka ketaatan itu menjadi formal. Inilah ketakutan Gereja, “Adakah nilai-nilai yang diperjuangkan sebagai orang Katolik. Jangan-jangan keterlibatan dalam hidup menggereja adalah sekedar basa-basi, setengah hati, untuk menghindari penilaian orang lain”, atau mencari pengakuan?”. Pertanyaan ini pantas kita refleksikan bersama.

Tantangan Beriman : Formalisme Agama
Tahun ini, selaras dengan arah gerak Keuskupan Purwokerto, Gereja St. Petrus Pekalongan mengolah tantangan formalisme agama. Ada indikasi berkembangnya formalisme agama dalam penghayatan iman umat, misalnya : dangkalnya pemahaman hidup menggereja, mengikuti misa (menggereja sekedar kewajiban), umat kurang mampu menginternalisasikan ajaran agama dalam hidup pribadi maupun sosial, pengetahuan iman umat terbatas, dan rentan konflik antarumat beragama. Indikasi-indikasi itu ditemukan dalam MUSPAS 2006, dan kita tidak bisa menggeneralisir hal itu bagi tempat-tempat lain di Keuskupan Purwokerto. Namun kita baik bertanya, Apakah indikasi-indikasi itu muncul dalam kehidupan menggereja umat Paroki St. Petrus Pekalongan?

Dalam konteks luas, mungkin benar issu Gereja jaman ini sangat memuja rasionalisme, dan kecerdasan atau ketrampilan manusia. Rasa kecil, kegagalan, kehinaan, penderitaan dan keterbatasan menjadi penghalang dan karya Allah yang tidak berguna. Semestinya jiwa hidup menggereja dan beriman harus beranjak dari relasi yang intim dengan Allah. Beriman kepada Allah berarti mengalami Allah dalam setiap perjumpaan sehari-hari. Perjumpaan personal ini memberi kekuatan, keindahan batin (inner beauty) pribadi yang bisa dipendarkan dalam hidup bersama. Apabila setiap pribadi memiliki inner beauty, keindahan batin, niscaya efeknya dirasakan semua orang. Nah, dalam konteks dunia semacam itu, kita mesti curiga, apakah perbuatan, kegiatan menggereja, ketekunan kita dalam menggereja lahir atas dasar nilai-nilai tertentu? Ataukah sekedar mentaati aturan dan kewajiban saja?

Demikian iman kita harus selalu diuji, supaya iman kita semakin tangguh. Iman dengan perbuatan adalah dasar bahwa hidup beriman tidak sekedar berdoa, berdoa, dan berdoa, tetapi berbuat. Berbuat sesuai dengan keyakinan imannya kepada Allah. Kendati Iman seseorang tidak bisa kita ukur semata dari satu perbuatan baik yang dilakukan. Iman adalah kesinambungan antara batin dan lahir. Hidup batin yang baik, melahirkan perbuatan (lahir) yang baik pula. Inilah keselarasan antara pengungkapan iman dan perwujudan iman, dimana Allah tetap sebagai dasar/sumber segala ungkap dan wujud iman kita sehari-hari.

Kesadaran akan Nilai-Nilai
Dalam hidup manusia, satu hal penting yang mestinya hidup yakni kesadaran bahwa Allah adalah sumber dan tujuan hidup manusia. Kesadaran ini mengarahkan kita untuk hidup dalam suatu nilai. Nilai-nilai ini menjadi inti-isi- suatu bentuk kegiatan menggereja. Nilai-nilai kristiani mengarahkan hidup manusia pada suatu kebenaran sejati, Allah. Jika kita mampu menghidupi nilai-nilai kristiani tersebut, kita turut ambil bagian dalam kehidupan di dunia. Ingat bahwa kita, umat awam, dipanggil untuk terus mengusahakan kesucian dalam hidup keduniaan kita. Inilah yang menjadi kekhasan umat awam pada umumnya. Awam memiliki ciri khas yang melekat dalam dirinya berdasarkan sifat keduniaannya.

Maka Gereja, sebagai persekutuan umat beriman kepada Allah, mengajak seluruh umat beriman untuk memiliki kesucian hidup dalam perannya di dunia. Keterarahan hati untuk selalu menumbuhkan cinta kasih merupakan dasar yang tepat. Allah sendiri telah melimpahkan berbagai rahmat kepada setiap manusia. Manusia tinggal mengembangkan dengan penuh kebebasan untuk tujuan kesucian dan kemulian nama-Nya. Melalui rahmat dan kurnia yang telah ada, umat beriman menguduskan dunia.

Kesadaran akan nilai-nilai kristiani adalah sarana bantu menyadari kasih dan cinta Allah. Dan menjadi pijakan dalam berelasi dengan orang lain. Keterlibatan tidak semata lahiriah tanpa menemukan makna di dalamnya, tetapi keterlibatan itu tampak dalam memperjuangkan nilai-nilai kristiani dalam rangka pengudusan dunia. Mau tidak mau, nilai-nilai Kristiani memberi bobot yang positif dalam hidup beriman umat Katolik. Agar hidup kekristenan hiduplah omong kosong (tong kosong), tetapi kekristenan itu benar-benar tangguh dan mendalam (menthes). “Tuhan yang telah memulai pekerjaan baik diantara kita, Dia pula yang akan menyelesaikan-Nya (Flp 1:6)” (sebuah tulisan untuk Warta Paroki St. Petrus Pekalongan, by trie).
[1] KBBI-Online, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar