Sabtu, 21 Februari 2009

“Menjadi berIman : Keterlibatan demi pembebasan”

Meneladan Hidup Yesus Yang Membebaskan


Pengantar
Iman yang hidup akan Yesus Kristus mengandaikan komitmen dan keterlibatan demi pembebasan dari segala bentuk kemiskinan, penindasan. Siapa yang sungguh melibatkan diri (dan karena itu sadar akan posisi sosialnya) akan berupaya menangkap dimensi pembebasan dari misteri Yesus Kristus. Dia akan menekankan tindakan Yesus historis yang memerdekakan, karena sebagai Putra yang menjadi daging, Yesus mewartakan kabar gembira dan bersikap sedemikian sehingga tercipta suatu kondisi kebebasan yang benar-benar baru bagi umat-Nya. Pewartaan dan sikap Yesus merupakan titik tolak bagi umat Kristen dalam mengikuti Tuhannya, juga dalam suatu konteks kemiskinan, penindasan, situasi yang harus diatasi dalam suatu proes pembebasan.

Berkaca Pada Sebuah Sketsa Yang Terluka
Realitas kemiskinan, penindasan, dan penderitaan rupanya tidak akan mudah lenyap dari kehidupan manusia, secara khusus dalam konteks Indonesia sekarang ini. Realitas kemiskinan, penindasan, dan penderitaan datang silih berganti, bergulir mengisi hari-hari kehidupan rakyat Indonesia. Entah bencana yang melanda, musibah, kecelakaan, atau kemiskinan structural[1] sebagai buah ketidakadilan pihak-pihak tertentu. Gambaran ini melukiskan Indonesia yang tengah dirundung malang!. Kenaikan harga kebutuhan pokok membuat banyak rakyat menjerit. Di tengah jeritan-jeritan itu, ada simpang siur fakta yang serba kontras dan berlawanan satu sama lain. Ketika masyarakat berjuang untuk bertahan supaya bisa hidup, sebaliknya segelintir orang hidup dalam kelimpahan. Jumlah orang miskin di Indonesia tidak pernah susut, kira-kira 16,85 % dari total penduduk atau sekitar 36,8 juta jiwa hidup dalam kemiskinan, penderitaan, akibat kenakalan beberapa pihak[2].

Masyarakat miskin selain mengalami kemiskinan, juga mengalami perendahan harkat dan martabat sebagai manusia. Perlakuan tidak adil kerap ditimpakan kepada mereka. Kebisuan dan kebekuan tutur adalah suatu jawab yang tak pernah mereka inginkan sebelumnya. Keterbatasan memaksa mereka memasung dan meratapi hidup dalam alur derita berkepanjangan. Demikian kemiskinan amat dekat dengan derita yang menyatu seperti keping mata uang.

Situasi kemiskinan, penderitaan, dan penindasan mau tidak mau menantang sampai akhirnya melahirkan pergulatan dalam hati setiap orang. Kebebasan sebagai manusia yang tercipta baik adanya, menyadarkan eksistensi manusia yang seharusnya ada pada penghargaan yang sama satu dengan yang lain. Meski status, kondisi, dan persoalan yang dialami berbeda-beda. Kebebasan mengawali sejarah manusia, mulai dari pandangan teologis hingga humanis. Dikisahkan bahwa Tuhan memberikan kebebasan bagi manusia pertama untuk taat kepada perintah-Nya atau menuruti kehendak hatinya sendiri. Simbolisasinya: jangan memakan buah tentang pengetahuan yang baik-buruk yang ada di tengah Firdaus. Kisah kebebasan ini berlanjut hingga manusia terdampar ke Bumi.

Manusia toh tetap memiliki kebebasan untuk percaya kepada Tuhan atau tidak. Ia menyediakan air dan udara bagi kebaikan setiap manusia, yang percaya ataupun tidak. Membingungkan jika kemudian ada ciptaan yang merampas kebebasan ciptaan lainnya yang lemah, tidak memiliki daya, atau miskin.

Persoalan kemiskinan, penderitaan, dan penindasan memiskinkan diri dan orang lain sebagai ciptaan yang mulia. Situasi ini membuat gelisah dan menggugah ranah rasa manusia untuk bergerak dan berbicara soal kehidupan yang semestinya. Penulis tidak memaksudkan kemiskinan sebagai obyek studi yang mesti diberantas atau penderitaan, dan penindasan sebagai peristiwa yang harus ditolak. Tetapi bagaimana dalam situasi itu, kita mampu menemukan Allah yang berbicara terlebih dalam kehadiran Yesus, Putra-Nya ke dunia. Selain itu, berdasarkan uraian sketsa yang terluka tersebut, penulis ingin menampilkan bagaimana hidup Yesus mendasari tindakan manusia untuk terlibat dalam keprihatinan sesamanya. Bagaimanakah sikap dan perhatian Yesus terhadap situasi kemanusiaan yang berkembang di sekitar-Nya? Bagaimana Yesus benar-benar menjadi kabar gembira bagi orang-orang miskin, menderita, tertindas?. Secara umum semua manusia terus mencari realitas yang mendamaikan dan menyatukan dalam hidupnya, dan sebagai orang Kristen kita menemukannya dalam Yesus.

Jembatan Antara Kristus dan Kita Manusia
Jika Kristus merupakan nilai penentu bagi eksistensi, maka alasan utamanya adalah bahwa dalam Dia kita menemukan jawaban atas masalah-masalah dan harapan-harapan kita sebagai manusia. Jawaban diberikan sekian sehingga menyangkut Allah dan manusia, dan kita menemukan jawaban itu justru dalam diri Kristus. Iman telah menemukan Allah manusia dalam diri-Nya. Kita mengakui, bahwa dalam Kristus kita menemukan jalan sekaligus tujuan: melalui manusia kita sampai kepada Allah, melalui Allah kita memahami siapa manusia sesungguhnya[3]. Kita telah melihat bahwa dalam kemanusiaan-Nya iman telah menemukan keilahian. Atas dasar ini kemanusiaan merupakan jembatan yang menghubungkan Kristus dan manusia.

a. Misteri Inkarnasi : Kenosis Kristus sebagai Hamba yang Menderita.
Peristiwa inkarnasi[4] yang mengungkapkan solidaritas Allah kepada manusia kiranya menjadi sebentuk pertanyaan bagi kita terlebih kepada pribadi ketiga, yaitu Yesus sendiri. Yesus adalah sabda yang telah menjadi daging[5]. Ini jelas mengindikasikan bahwa Yesus adalah Allah dalam wujud manusia. Thomas sang murid mengungkapkan pada Yesus, "Ya Tuhanku dan Allahku!" (Yohanes 20:28). Yesus tidak mengoreksi dia. Rasul Paulus menggambarkan Dia sebagai, “……Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus” (Titus 2:13). Rasul Petrus mengatakan hal yang sama, “….…Allah dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.” (2 Petrus 1:1). Allah Bapa adalah Saksi dari identitas Yesus yang sepenuhnya, “Tetapi tentang Anak Ia berkata: "Tahta-Mu, ya Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya, dan tongkat kerajaan-Mu adalah tongkat kebenaran.” Nubuat-nubuat mengenai Kristus dalam Perjanjian Lama menyatakan keillahianNya, “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.” Dengan kata lain, Misteri inkarnasi tersebut hendaknya dilihat dalam konteks perutusan Anak dari Bapa utuk melaksanakan rencana keselamatan Allah, yakni mendamaikan Allah dengan manusia (2 Kor 5:18-19)[6]. Puncak penyelamatan dan pendamaian tersebut terjadi dalam peristiwa salib Kristus (Kol 1:20).

Apa maksud semua itu? Bagi umat Kristiani, Yesus adalah pusat iman. Yesus adalah Allah yang mau merendahkan diri dengan mengambil rupa manusia, sebagai ungkapan kerahiman Allah yang mencintai umatnya. Misteri penjelmaan Allah tersebut hadir dalam rupa Yesus yang hadir ke dunia untuk melaksanakan perutusan Bapa. Pemberian diri Allah dalam misteri inkarnasinya merupakan tanda dan sarana perjumpaan manusia dengan misteri Kerajaan yang datang. Yesus yang mengambil rupa manusia, yang penuh dengan kelemahan dan keterbatasan. Dan peritiwa ini merupakan peristiwa pengosongan diri Allah yang sangat total baig manusia. Pengosongan diri tersebut diungkapkan pula oleh Paulus dalam suratnya kepada umat di Fillipi yaitu :
“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia, dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib…..”

Allah menjadi manusia tanpa berhenti menjadi Allah. Allah –manusia ini bernama Yesus Kristus. Yesus yang mencintai, dan menyelamatkan manusia. Bentuk pengosongan inilah yang dilakukan Allah dalam dan melalui Yesus. Dalam diri-Nyalah, Allah menghadirkan diriNya dekat dengan manusia. Inilah misteri inkarnasi. Misteri inkarnasi ini hendaknya dilihat dalam konteks sejarah keselamatan manusia. Allah yang sungguh-sungguh sudi menjadi manusia adalah untuk keselamatan manusia. Hal itu terlukiskan dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus yang berbunyi, “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus bahwa Ia yang oleh kamu menjadi miskin sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinanNya (2 Kor 8:9).

Inilah gambaran Allah yang sungguh mengambil rupa manusia. Dengan segala kemanusiaanya, Yesus merasakan dirinya sebagai manusia pada umumnya, dimana penderitaan dialami-Nya. Pengosongan ini menggambarkan Allah sungguh melepaskan atribut keilahianNya dan mengosongkan diri. Ia adalah hamba dari segala hamba.

Akhirnya, Misteri Inkarnasi merupakan luapan cinta Allah yang berlimpah. Karena Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8), maka “Allah ingin menjelma untuk memberi kesaksian kepada manusia tentang persahabatan-Nya. Ia rindu turun sendiri ke dalam dunia supaya dunia dapat naik ke surga. Allah yang turun menjadi manusia memiliki tujuan supaya manusia dapat ambil bagian alam hidup ilahi, dan karenanya punya relasi dengan diri-Nya. Yang paling kelihatan dari cinta Allah adalah salib. Pengurbanan diri yang radikal, di mana Yesus merangkul dosa dan penderitaan manusia, adalah penebusan sengsara menjadi belaskasih. Inkarnasi adalah kenosis Kristus yang menjelma sebagai hamba yang menderita.

Yesus orang Nazaret[7]
Allah hadir ke dunia mengambil rupa manusia yaitu Yesus orang Nazaret. Omong tentang Yesus kiranya perlu memperhatikan Perjanjian Baru sebagai sumber pentingnya, dimana dalam Perjanjian Baru banyak ditampilkan informasi penting seputar Yesus. Kesulitannya Perjanjian Baru menampilkan atau memuat banyak kristologi, entah Kristologi menurut Matius, Markus, Lukas, maupun Yohanes. Masing-masing memahami Yesus secara berbeda, sesuai dengan keyakinan dan refleksi mereka terhadap Yesus yang mereka kenal serta sesuai dengan keyakinan iman yang berkembang dalam konteksnya[8].

Dalam pemahaman Jon Sobrino, dalam Jesus in America, Yesus historis merupakan pribadi yang hidup dengan ajaran-ajaran tertentu. Yesus memiliki sikap-sikap, kegiatan, perkembangan hidup, serta nasib yang dialaminya sebagaimana manusia biasa[9]. Hal tersebut terdapat dalam salah satu tulisan Job Sobrino yang penulis kutip sebagai berikut :
“Unsur yang paling historis dalam Yesus historis adalah praktek hidup-Nya, yaitu kegiatan-Nya yang dibawa ke tengah-tengah realitas lingkungan-Nya dengan tujuan untuk mentransfomasikannya dan mengarahkannya kepada arah tertentu yang dipilih, arah Kerajaan Allah. Inilah praktek hidup-Nya yang pada zaman-Nya membuka sejarah dan yang sampai kepada kita sebagai sejarah yang terbuka. Ciri historis di sini, seperti yang didefinisikan Jurgen Moltmann berkaitan dengan kebangkitan Kristus, yaitu yang mendorong gerak sejarah”[10]

Melalui tulisan tersebut, nampaknya mau menunjukan historisitas Yesus dalam dunia. Nama Yesus merupakan nama lazim pada waktu itu (abad ke-2 sesudah Masehi). Nama Yesus merupakan bentuk Yunani (iesous) yang digunakan untuk menyebut orang laki-laki dalam PL. sementara dalam PB tentu saja langsung menunjuk pada Yesus dari Nazaret (Mat 2 : 23, Luk 18:37). Nama Yesus kiranya mau menekankan, pertama, kemanusian-Nya. Yesus Kristus sungguh-sungguh manusia yang pernah hidup dalam sejarah manusia[11]. Kedua, Yesus sungguh-sungguh tokoh historis dan bukan tokoh mitologis. Akhirnya, semakin jelas bahwa Yesus dalam sikap, kegiatan, hidup, serta nasib-Nya adalah seperti manusia pada umumnya. Inilah kemanusiaan Yesus, sungguh total menjadi manusia.

Yesus Kristus Sepenuhnya Allah= Sepenuhnya Manusia
Dalam misteri inkarnasi Allah menjadi manusia. Umat Kristiani percaya bahwa Yesus Kristus-sabda Allah yang berinkarnasi itu- adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Namun, tidak bisa dilupakan bahwa pemahaman sungguh Allah, sungguh manusia inipun menimbulkan pro-kontra. Ada pandangan yang berbeda mengenai Yesus Kristus sungguh Allah, sungguh manusia, pihak pertama, mereka yang menolak Yesus Kristus yang berinkarnasi dalam manusia historis Yesus. Kedua, mereka yang tidak menerima bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh manusia. Kedua pandangan ini bertolak belakang satu sama lain. Gereja secara tegas, dalam proses, menolak kedua pandangan ini. Gereja, dalam Konsili Kalsedon sejak 451 mengajarkan bahwa Yesus Kristus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Dua sifat ini berada dalam satu pribadi Yesus Kristus tanpa percampuran, tanpa perubahan, tanpa pembagian dan tanpa pemisahan[12].

Yesus Kepenuhan Janji Allah
Misteri inkarnasi merupakan pemenuhan janji Allah yang berpangkal dari Perjanjian Lama, yang mencatat ide mesias dan kerajaan mesianik[13]. Kerajaan Mesianik merupakan tradisi yang berkembang di Israel yang banyak dihubungkan dengan keturunan Daud (bdk 2 Sam 7) [14]. Namun harapan itu pupus manakala raja-raja duniawi tidak seperti yang mereka harapkan. Harapan itu berganti yakni Mesias yang digambarkan sebagai yang ilahi (Bdk Dan 7:13)[15].

Kepenuhan janji Allah terwujud dalam kehadiran Yesus. Kehadiran Yesus ini tidak bisa lepas dari konteks perjanjian yang terjadi antara Allah dengan bangsa Israel. Peristiwa perjanjian antara Allah dengan bangsa Israel adalah saat bangsa Israel menantikan kedatangan Sang Mesias, nubuat para nabi Perjanjian Lama, yang kini terpenuhi dengan kehadiran Yesus. Demikian semua Injil memperkenalkan Yesus sebagai Mesias (dalam bahasa Yunani : Kristus), orang yang diurapi dari keturunan Daud.

Kehadiran Yesus merupakan pemenuhan harapan mesianis Yesaya (Luk 4:16-21) serta jawaban atas pertanyaan murid-murid Yohanes (Mat 11:1-6), dimana Yesus dilihat sebagai utusan Allah yang mengangkat serta memulihkan keadilan dan banyak berpihak kepada orang miskin, lemah dan tersingkir.

Kekhasan Yesus : Warta Kerajaan Allah
Kehadiran Yesus ke dunia dalam rangka perutusan Bapa adalah untuk mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah kepada manusia. Kerajaan Allah inilah yang menjadi pokok pewartaan Yesus (Mrk 1:15; Mat 4:17; Luk 4:18-30). Pokok pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah adalah warta asli, historis, bukan merupakan hasil refleksi, pengolahan para penginjil atau jemaat perdana[16]. Pewartaan Yesus mengenai kabar gembira Kerajaan Allah dihadirkan dan dialamatkan kepada seluruh umat manusia, dan diteruskan oleh para murid serta generasi-generasi selanjutnya.

Kerajaan Allah sebagai kekhasan warta Yesus merupakan kehadiran dan kegiatan Allah yang menyapa manusia untuk membawa manusia kepada keselamatan, menyelamatkan manusia dari dunia, dalam dan melalui karya Yesus[17]. Allah sendiri yang datang, hadir di tengah umat-Nya dan bertindak menyelamatkan umat-Nya. Kehadiran-Nya adalah untuk menegakkan pemerintahan-Nya di dunia dengan mau dan ikut bersusah payah dalam suka-duka kehidupan manusia sehari-hari[18].

Gagasan Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus tidak bersifat politis. Namun, sifat religious Kerajaan Allah sungguh tersirat di dalamnya, yakni tentang tindakan Allah yang hadir di tengah-tengah umat-Nya dengan penuh kebebasan untuk membawa manusia kepada keselamatan[19].

Isi Pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah
Isi pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah lahir dari relasi yang dekat dan khas diri-Nya dengan Allah. Allah hadir serta tampil sebagai yang penuh kasih. Allah bukanlah Allah yang menghakimi, menilai manusia tetapi menawarkan keselamatan kepda manusia. Dasar perutusan Yesus ke dunia adalah berkat intimitas relasi tersebut. Untuk itu, perutusan yang dilakukan oleh Yesus selalu dalam kerangka perutusan Allah yang penuh kasih, dan ketaatan total adalah tanggapan-Nya. Bukti ketaatan total Yesus kepada Allah berpuncak pada peristiwa derita, dan wafat-Nya di kayu salib.

Allah yang ditampilkan Yesus adalah Allah yang penuh belas kasih dan murah hati. Allah adalah Bapa yang suka mengampuni dan bersukacita karena pertobatan satu orang yang berdosa[20] (Luk 15:7). Gagasan Allah yang penuh belas kasih dan murah hati terlihat pula dalam tindakan-karya, dan pengajaran yang Yesus lakukan. Yesus sendiri mencerminkan Allah yang penuh belas kasih dan pengampunan.

Kerajaan Allah hadir bagi orang-orang miskin
a. Palestina sebagai Konteks Hidup Yesus
Penduduk Palestina adalah Yahudi. Mereka hidup mengembara (Ul 26:5) dengan tata kehidupan yang sederhana. Awalnya, relasi miskin dan kaya berlangsung baik. Namun, setelah masyarakat semakin maju dengan adanya pertanian, kepemilikan tanah dll, suasana solidaritas, kebersamaan, saling bergantung perlahan memudar. Masyarakat menjadi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok miskin (petani), dan kelompok tuan tanah. Perbedaan ini menyebabkan ketegangan relasi di dalamnya.
Yesus hadir dalam suasana semacam ini. Ia datang pada rakyat jelata (the people of the land, “am haarest”, atau rakyat jelata)[21]. Mereka kerap dianggap sebagai orang miskin yang kurang beragama karena kurang mengetahui seluk-beluk hokum yang telah dikuasai dan dipersulit oleh kaum farisi. Kedatangan Yesus tepat di tengah masyarakat Yahudi. Dia menantang struktur masyarakat Yahudi, praktek-praktek ekonomi, keagamaan yang mapan dan terasing dari rakyat miskin. Secara khusus, Yesus memperhatikan yang miskin dan susah (bdk. Mat 6:34). Sikap dan cara hidup Yesus menunjukan penghargaan terhadap nilai-nilai kemiskinan. Yesus adalah orang gunung Galilea, daerah pinggiran dan semi kafir.
Kemiskinan Yesus merupakan pilihan fundamental-Nya yang nyata dalam inkarnasi. Yesus menerima dan mengalami kerapuhan serta kelemahan sebagai manusia. Dia solider, “tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan mengosongkan diri-Nya sendiri” (Flp 2:6-7).

b. Kabar baik Kerajaan untuk yang Miskin
Pada awal pewartaan-Nya, Yesus menggunakan kata-kata Yesaya yaitu, “menyampaikan kabar baik bagi orang-orang miskin....” (Yes 61:1-2). Rupanya orang miskin mendapat tempat pertama dalam tugas dan sasaran perutusan. Dalam teks Sabda Bahagia, Yesus mengatakan, “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa” (Luk 6:20b-21).
Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus tidak semata untuk orang-orang miskin, lapar dan tersingkir dalam arti sesungguhnya. Tetapi sikap hidup yang dapat dimiliki oleh seseorang yang beriman secara sungguh-sungguh kepada Allah. Yang berbahagia adalah mereka yang terbuka menerima kehadiran Allah sebagai satu-satunya raja yang menguasai hidup mereka[22]. Hidup dalam pengharapan kepada Allah membuka peluang hadirnya Kerajaan Allah dalam hidup mereka. Keterbukaan hati dan pengosongan diri atas segala sesuatu yang mereka miliki, termasuk hati yang utuh untuk hidup dalam diri-Nya menempatkan mereka sebagai milik Allah. Allah yang berkarya dan manusia menyambutnya dengan tangan terbuka. Dengan kata lain “Orang miskin dalam roh adalah mereka yang menemukan keamanan mereka di dalam pengetahuan mereka mengenai Allah yang benar-benar mengasihi hidup mereka dan akan menyelamatkan mereka bukan dari apa yang mereka miliki”[23].

c. Kerajaan Allah yang Membebaskan
Yesus mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang-orang kecil, hina, dan miskin: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan, ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan,ketiak Aku telanjang, kamu member Aku pakaian, ketika Aku sakit, kamu melawat Aku ….dst” (Mat 25:35-36). Selain itu, bertolak dari teks 25:31-46, Kristus hadir dan turut bekerja dalam setiap perjuangan untuk membela keadilan dan kebenaran. Perjuangan sosial dan pembelaan terhadap orang-orang yang diperlakukan tidak adil dan tertindas merupakan bentuk kehadiran Kristus. Inilah yang dimaksud dengan pewartaan Yesus mengenai Kerajaan Allah merupakan pewartaan pembebasan, yang terutama menyentuh orang miskin dan tertindas. Ia hadir memperjuangkan keadilan dan kebenaran, yakni untuk memberikan damai sejahtera bagi semua orang.

Relevansi: Meneladan Hidup Yesus Yang Membebaskan
Inilah bentuk keteladanan yang bisa kita ambil dari hidup Yesus yang merendahkan diri dengan menjadi seorang hamba. Kehadiran-Nya adalah untuk memberikan pembebasan bagi mereka yang tertindas, miskin, dan tersingkir. Kita sebagai umat beriman yang percaya kepada-Nya, beriman akan Yesus Kristus mengandaikan komitmen dan keterlibatan demi pembebasan dari segala bentuk penindasan, kemiskinan yang hadir dalam lingkungan sekitar kita. Keterlibatan aktif dengan mengikuti keteladanan Yesus yang memberikan pembebasan bagi orang miskin akan memampukan kita untuk melahirkan kebebasan itu bagi diri dan orang lain.
Keterlibatan kita dalam masyarakat memang tidak harus bersifat social ekonomi, tetapi dengan menghadirkan Kristus yang mewartakan Kabar gembira Kerajaan Allah bagi semua orang pun merupakan cara menggemakan iman kita kepada Yesus yang membebaskan. Pewartaan dan sikap Yesus merupakan titik tolak bagi umat Kristen dalam mengikuti Tuhannya, juga dalam suatu konteks penindasan, situasi yang harus diatasi dalam suatu proes pembebasan.
Kristus meresapi segala sesuatu, mengambil bentuk konkret dalam Yesus dari Nazaret, karena sejak keabadian Dia sudah dipikirkan dan direncanakan untuk menjadi pusatnya, di dalam-Nya Allah memperlihatkan diri secara penuh di tengah ciptaan. Manifestasi diri Allah berarti Dia dan manusia saling meresap secara sempurna, bahwa mereka membentuk kesatuan yang tak terpisahkan dan tak dapat ditukar dan bahwa ini merupakan tujuan akhir ciptaan, tujuan yang diintegrasikan dalam misteri Trinitas. Yesus tampil sebagai contoh dan model dari apa yang akan terjadi dengan kita dan dengan segenap ciptaan. Yesus merupakan kenyataan interpretative dan menerangi segala sesuatu di masa lalu, masa kini dan masa depan. Dalam Dia menjadi jelas bahwa kosmos dan teristimewa manusia tak dapat mencapai kesempurnaanya jikalau mereka tidak diilahikan dan dikenakan oleh Allah. Allah menjadi “semua dalam semua” (1 Kor 15:28)[24].

Akhirnya, realitas kemiskinan, penindasan, maupun penderitaan mendorong kita semua untuk menciptakan satu budaya yang menyelamatkan semua pihak[25] (Kristologi, by Tri Kusuma)


Daftar Pustaka

A. Buku
Boff, Leonardo
1999, Yesus Kristus, Maumere : Lembaga Pendidikan Berlanjut Arnold Janssen, diterjemahkan oleh Aleksius dan G. Kirchberger dari buku Leonardo Boff, edisi bahasa Jerman, Jesus Christus, der Befreier, Freiburg im Breisgau-Basel-Wien: Herder, 1986.
Childs, B.S
1993, Biblical Theologyy of the Old and New Testamen, Theological Reflection on the Christian Bible, Minneapolis: Fortress Press.
Eko Riyadi, St
2008, Manuscript Kristologi Alkitabiah, Kentungan, Yogyakarta.
Fuellenbach, John
1994 Kerajaan Allah: Pesan Inti Ajaran Yesus Bagi Dunia Modern terjemahan dari The Kingdom of God The Central Message of Jesus’ Teaching in the Light of the Modern World, Ende: Nusa Indah.
Gions, F, OFM
2006, Karl Rahner Tentang Yesus Kristus: Sebagai Jawaban Atas Pertanyaan Dasariah Manusia, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
Lalu, Yosef, Pr
1998, Warta dan Gerakan Kerajaan Allah, Yogyakarta : Lembaga Pengembangan Kateketik Pusat.
Martasudjita, E, Pr
2000, Mencintai Yesus Kristus, Yogyakarta: Kanisius.
Raush, Thomas P
2003, Who Is Jesus : An Introducing to Christology, Collegeville, Minnesota: Liturgical Press.

B. Alkitab
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Percetakan LAI, Jakarta, 1997.

c. Surat Kabar dan Artikel
­­­­­­­­­­­­­__________, Indonesia Kita Benahi Bersama, diambil dari Kompas, Sabtu, 10 Mei 2008, Kolom Tajuk Rencana.
Jon Sobrino, Jesus In America, New York: Orbis Books, 1987, 66, sebagaimana dikutip oleh 1987, Hartono Budi, SJ, Kesaksian Hidup Kristiani: Semakin Menjadi “Kabar Gembira” Karena menerima Kabar Gembira, dalam Oreintasi Baru, No. 13, 2000, Yogyakarta : Kanisius, 2000.


[1] Kemiskinan structural adalah kemiskinan yang secara langsung disebabkan oleh factor-faktor yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yang terdorong oleh nafsu berkuasa, misalnya penjajahan, pemerintahan yang otoriter dan militeristik, pengelolaan keuangan public yang sentralistik, merajalelanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, kebijakan ekonomi yang tidak adil, serta tata perekonomian dunia yang lebih menguntungkan kelompok negara tertentu.
[2] Indonesia Kita Benahi Bersama, diambil dari Kompas, Sabtu, 10 Mei 2008, Kolom Tajuk Rencana, 6.
[3] Lenoardo Boff, Yesus Kristus, Maumere :Lembaga Pendidikan Berlanjut Arnold Janssen, 1999, 235, diterjemahkan oleh Aleksius dan G. Kirchberger dari buku Leonardo Boff, edisi bahasa Jerman, Jesus Christus, der Befreier, Freiburg im Breisgau-Basel-Wien: Herder, 1986.
[4] Inkarnasi berasal dari kata Latin : in dan caro/carnis yang berarti dalam daging. Inkarnasi menunjuk realitas iman kristiani, bahwa pribadi Sang Sabda Abadi (Allah Putra) mengambil bagi Diri-Nya realitas manusiawi atau kemanusiaan untuk datang kepada citaan demi keselamatan manusia.
[5] Bdk. Yoh 1:14.
[6] Martasudjita, Pr, Mencintai Yesus Kristus, Yogyakarta: Kanisius, 2000, 55-56.
[7] Hartono Budi, SJ, Salib Kristus, 210-211, dalam Ed. Hartono Budi, SJ dan Purwatma, Pr, Di Jalan Terjal: Mewartakan Yesus Yang Tersalib Di Tengah Masyarakat Risiko, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
[8] Thomas P Raush, Who Is Jesus : An Introducing to Christology, Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 2003, 1-2.
[9] Jon Sobrino, Jesus In America, New York: Orbis Books, 1987, 64, sebagaimana dikutip oleh Hartono Budi, SJ, Kesaksian Hidup Kristiani: Semakin Menjadi “Kabar Gembira” Karena menerima Kabar Gembira, dalam Oreintasi Baru, No. 13, 2000, Yogyakarta : Kanisius, 2000, 92.
[10] Jon Sobrino, Jesus In America, New York: Orbis Books, 1987, 66, sebagaimana dikutip oleh Hartono Budi, SJ, Kesaksian Hidup Kristiani: Semakin Menjadi “Kabar Gembira” Karena menerima Kabar Gembira, dalam Oreintasi Baru, No. 13, 2000, Yogyakarta : Kanisius, 2000, 92
[11] Martasudjita, Pr, Pro-Manuscript Misteri Kristus, Yogyakarta, 78-79.
[12] F. Gions, OFM, Karl Rahner Tentang Yesus Kristus: Sebagai Jawaban Atas Pertanyaan Dasariah Manusia, Yogyakarta, Yayasa Pustaka Nusatama, 2006, 136-137.
[13] B.S. Childs, Biblical Theology of the Old and New Testamen, Theological Reflection on the Christian Bible, Minneapolis, Fortress Press, 1993, 452.
[14] St. Eko Riyadi, Manuscript Kristologi Alkitabiah, Kentungan, Yogyakarta, 2008, 2.
[15] St. Eko Riyadi, Manuscript Kristologi Alkitabiah, 3.
[16] Guido Tisera, SVD, Seperti Apakah Kerajaan Allah itu?, 7.
[17] Guido Tisera, SVD, Seperti Apakah Kerajaan Allah itu?, 6.
[18] E. Martasudjita, Pr, Mencintai Yesus Kristus, 81.
[19] E. Martasudjita, Pr, Mencintai Yesus Kristus, 81.
[20] E. Martasudjita, Pr, Mencintai Yesus Kristus, 86-87.
[21] Guido Tisera, SVD, Seperti Apakah Kerajaan Allah itu?, 72.
[22] Yosef Lalu, Pr, Warta dan Gerakan Kerajaan Allah, Yogyakarta : Lembaga Pengembangan Kateketik Pusat, 1998, 18.
[23] Dikutip dari John Fuellenbach, SVD, Kerajaan Allah : Pesan Inti Ajaran Yesus Bagi Dunia Modern terjemahan dari The Kingdom of God The Central Message of Jesus’ Teaching in the Light of the Modern World, 204.
[24] Lenoardo Boff, Yesus Kristus, Maumere :Lembaga Pendidikan Berlanjut Arnold Janssen, 1999, 265, diterjemahkan oleh Aleksius dan G. Kirchberger dari buku Leonardo Boff, edisi bahasa Jerman, Jesus Christus, der Befreier, Freiburg im Breisgau-Basel-Wien: Herder, 1986.
[25] Hartono Budi, SJ, Salib Kristus, 216, dalam Ed. Hartono Budi, SJ dan Purwatma, Pr, Di Jalan Terjal: Mewartakan Yesus Yang Tersalib Di Tengah Masyarakat Risiko, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar