Jumat, 30 April 2010

Keterlibatan hati dengan orang sakit

A. Sebuah Kisah Perjumpaanku dengan Bapak Mohammad
Keterlibatan hati dengan orang sakit


Hari beranjak siang, aku telah mondar-mandir, longak-longok ke ruang pasien serta menyapa mereka, pasien, yang terbaring di atas tempat tidurnya di bangsal Elisabeth satu. Elisabeth satu terbagi dalam dua kelas, yaitu kelas dua dan tiga. Aku memasuki hampir semua ruang dan bertegur sapa dengan hampir semua pasien dan keluarganya. Ruang 108 adalah salah satu ruangan yang aku tengok. Namanya Bpk Mohammad Mudiarjo.
Dalam perbincangan aku menjadi tahu bahwa dia sakit batu ginjal. Dalam riwayat sakitnya, dia pernah dioperasi dengan penyakit yang sama kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Dan kali ini dia harus menjalani operasi batu ginjal lagi. Mohammad Mudiarjo tinggal di daerah Pancingan, Umbulharjo. Dia tinggal bersama istri sementara anak-anaknya telah berumahtangga dan memberikan dua cucu, dan masih menunggu kelahiran satu cucu lagi. Mohammad Mudiarjo bercerita dengan semangat tentang keluarga dan asal-usulnya. Ternyata dia asli berasal dari Bumiayu, Purwokerto. Tidak heran apabila dia bisa menggunakan bahasa banyumasan dengan baik. Suasana bertambah hangat ketika aku memperkenalkan diri, aku berasal dari Purbalingga. Dia langsung merespon, “lah dénéng tanggané dhéwék. Bu, kiyé, mas Tri sekang Purbalingga. Lah ketemu seduluré dhéwék kiyé” dengan logat banyumasan yang kental.
Batu ginjal telah diambil, tanda bahwa dia telah melewati operasi dengan baik. Hal ini aku ketahui saat aku berkunjung menemui dia. Yang terlihat olehku adalah tubuh Mohammad yang lemas, dan sesekali dia merintih kesakitan. Istrinya bilang, “ini loh mas, bapaké réwél terus. Perawat sudah ngomong sabar pak, sabar. Tapi dia tetep ngéyél”. Saat dia merintih kesakitan, aku berada disampingnya, berulang kali ia merintih dan mengeluh, dan aku tidak tahu harus mengatakan apa, “mas Tri, dénéng lara temen, kepriwé kiyé mas. Aduh..aduh.. dénéng lara temen mas”. Aku hanya menemani, memegang tangan, dan sesekali menghibur dengan cerita-cerita dengan harapan bisa mengalihkan rasa sakitnya. Namun toh dia tetap merasakan sakit, “sabar ya mas, ngomong sih gampang, tapi angél mas, angél banget nglakoniné. Lara banget mas”. Aku hanya menjawab, “iya pak, iya. Tidak apa-apa. Pasti akan sembuh”. Aku sungguh semakin tergerak untuk menemani dia dalam sakitnya. Saat kesakitan ia merintih dan tangannya memegang erat tanganku. Aku menyahutnya dengan genggaman yang erat pula, tanda bahwa aku ada disampingnya dan menemaninya.
Aku hanya berharap bahwa keberadaanku di sampingnya bisa membuat dia sedikit lebih tenang, kendati tidak banyak yang aku lakukan. Aku terus menemaninya dengan sabar, dan diapun merasa senang saat aku menemaninya. Memang dia sedikit berlebihan dalam bersikap. Ia selalu menguras perhatian para perawat dan karena itulah ia dipindahkan ruang, dari 108 ke ruang 101. Akupun heran melihat tingkah Mohammad yang hiper menarik perhatian para perawat, dalam hatiku menjawab, “mungkin dia ingin selalu ditemani”. Di ruang 101, ia telah mengalami banyak perkembangan. Ia bisa kencing tanpa menggunakan cateter, tapi menggunakan alat lain, semacam tempat kencing (pispot). Ia sering kencing, dan setiap kencing ia merintih kesakitan, “aduh lara banget mas, kencingnya ésih metu ora mas, lara mas”. Bahkan ia sempat putus asa, ingin mati saja daripada menahan sakit yang tidak kunjung reda. Aku menemaninya dan mendukungnya dengan sabar. Sesekali aku masih membuang air kencing yang telah penuh di pispot. Kendati sedikit risih, tapi tak ada pilihan lain selain aku harus melakukannya, dan aku menjadi biasa. Perasaan yang muncul adalah rasa tulus dan senang karena bisa membantu meringankan kesulitannya.
Aku menemaninya berjam-jam dan aku tetap berada disampingnya tanpa meninggalkan sedikitpun. Sesekali aku duduk dan berdiri dengan tangan tetap memegang erat tangannya, atau bahkan berdiri terpaku, diam hanya memandang wajahnya saat Mohammad memejamkan mata. Aku sungguh ingin menemani dia dalam sakitnya, apalagi istrinya berpesan padaku kalau dia merasa tenang dan senang ditemani olehku, “iki pak, mas tri wis teka”. Aku merasa senang dan bahagia bisa menemaninya. Dalam pikirku, aku merasakan kedekatan dengannya. Aku merasakan yang dia rasakan. Bagaimana dalam sakitnya, ia membutuhkan seseorang yang berada disampingnya dan mendukungnya. Inilah yang menguatkanku bertahan menemani dan menghiburnya. Mohammad menjadi pribadi yang hadir dan menggerakkanku untuk terlibat merasakan sakitnya. Melalui penghiburan-perhatian kecil, aku merasa bisa menjadi sahabat baginya. Sebagaimana dia pun merasakan nyaman dengan kehadiranku berada di sampingnya. Inilah yang menggerakkanku untuk terlibat dalam pergulatan sakit Mohammad. Bahwa ia manusia yang ingin diperhatikan, ditemani, didukung oleh yang lain, dan aku melakukan itu sebagai pribadi yang memperhatikan dan menemaninya.
Pengalaman bersahabat dengan orang sakit memunculkan perasaan dan suatu penyikapan akan apa yang harus aku lakukan. Tentu pertama-tama bukan sekedar mau menghibur, apalagi menasehati, tetapi sungguh ingin menemani, berjalan bersama dia yang sedang sakit, dan keluarganya. Mohammad membutuhkan perhatian sebagai pribadi yang utuh, dan melalui perhatian serta perlakuan manusiawi itulah ia merasa nyaman dengan hidupnya yang sedang sakit. Aku kira Mohammad tidak sekedar butuh diberi obat atau makanan saja, tetapi butuh disapa, ditemani dalam sakit yang ia derita. Melalui pengalaman tersebut, aku ingin meringkaskan pengalaman bersahabat dengan orang sakit dengan “Keterlibatan hati untuk mau hadir, menemani, dan merasakan apa yang dirasakan orang sakit merupakan perwujudan iman akan Allah yang menyelamatkan dalam Yesus Kristus”

B. Tesis :
Pengalaman live-in di rumah sakit Panti Rapih selama kurang lebih 9 hari menjadi sahabat orang sakit dan keluarganya, memberi kesan mendalam bagiku. Kesan itu tergoreskan melalui pengalaman eksistensial dimana aku sungguh mengalami perjumpaan bahkan keterlibatan langsung dengan mereka, orang sakit dan keluarganya. Keterlibatan yang mewujudkan imanku secara personal kepada Allah. Keterlibatan yang menghormati, menghargai mereka sebagai pribadi yang utuh, nguwongke, sebab mereka adalah manusia yang bermartabat, gambar dan citra Allah yang merupakan anak Allah sendiri. (Martabat hidup manusia datang dari Allah, dan akan kembali kepda Allah (Evangelium Vitae, 11)
Keterlibatan personal menjadi sahabat orang sakit mengajakku bertanya, Apa yang mendorongku melakukan itu? Pertanyaan ini mengantarku untuk berefleksi bahwa kehadiran dan penyerahan diri yang penuh cinta adalah jawabnya. Tentu saja terinsipirasi dari Yesus sendiri yang menampilkan kehadiran dan penyerahan diri-Nya yang penuh cinta dalam mengasihi orang lain (Mat 8:1-4, 9:1-10; Yesus yang hadir menyembuhkan lumpuh, sakit kusta). Bentuk kehadiran yang melibatkan diri dengan menyerahkan diri penuh cinta inilah yang menggerakanku terlibat dengan mereka.
Untuk itu aku rumuskan dalam sebuah tesis :

“Melalui kehadiran dan penyerahan diri yang penuh cinta menjadi sabahat orang sakit, aku dipanggil untuk terlibat dalam usaha meneruskan karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus yang bersolider dengan manusia”

Tesis ini menguraikan dinamika iman yang mewujud dalam tindakan praktis sehingga iman menjadi kongkret. Kehadiran dan penyerahan diri yang penuh cinta menjadi sahabat orang sakit merupakan bentuk keterlibatan hati yang nyata, sekaligus wujud ambil bagian dalam penderitaan Yesus Kristus yang disalib (Bdk. Kis 5:41,“Para rasul bergembira karena mereka telah dianggap layak menderita oleh karena nama Yesus Kristus”) sebagai penerusan akan karya keselamatan Allah yang berlangsung dalam Yesus Kristus yang bersolider dengan manusia. Konsili Vatikan II mengartikan ini sebagai wahyu, yakni pemberian diri Allah dan misteri kehendak-Nya kepada manusia (Ef 1: 9 “Sebab Ia telah mnyatakan rahasia kehendaknya kepada kita, sesuai dengan rencana keselaanNya yaitu kerelaan yang dari semula ditetapkannay dalam Kristus; DV 2) yang berpuncak pada Yesus Kristus (DV 4). Dengan kata lain, Allah menyapaku melalui pemberian diri Allah yang berpuncak dalam Yesus Kristus (DV 2), dan aku menyatakan “ketaatan iman” kepada Allah (DV 5). Inilah relasi wahyu dan iman, dimana Allah menyapaku dan aku menanggapi tawaran Allah yang telah melibatkan hidup-Nya dalam kehidupan manusia secara bebas dan merdeka. Maka tesis ini dimaksudkan bahwa Allahlah yang pertama-tama berinisiatif dan aku tergerak untuk menanggapinya dengan bebas dan terwujud dalam tindakan moral yakni kehadiran dan penyerahan diri yang penuh cinta menjadi sahabat orang sakit.

Karya Keselamatan Allah dalam Yesus Kristus yang bersolider dengan manusia
Keselamatan yang dikerjakan Allah dalam Yesus Kristus, merupakan suatu keterlibatan dinamis kedua pihak, yakni bahwa hidup dan usaha manusia tidak mungkin dipisahkan dari kehendak dan usaha Allah (rahmat). Allah telah terlibat dalam sejarah dan telah memanggil manusia supaya ikut berjerih-payah bagi keselamatan semua orang (DV 2), maka dengan kepercayaan dasar dan usaha, orang memberikan jawaban pada Allah (DV 5). Allah telah berulang kali dan dengan berbagai cara berbicara dengan nenek moyang kita dengan perantaraan para nabi, pada zaman akhir ini berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya (Ibr 1:1, “setelah pada zaman dahulu Allah ebrulang kali dan dalam perbagai cara berbicara kepada nenk morayng kita dengan perantaraan para nabinya”). Dalam Kristus, Allah telah melibatkan diri dengan hidup dan sejarah manusia, “sebab Ia mengutus Putera-Nya, yakni Sabda kekal, supaya tinggal di tengah umat manusia (Yoh 1:1-8), dan menyelesaikan karya penyelamatan (Yoh 5:36 “segala pekerjaan yng diserahkan Bapa kepadaku, paya aku melaksanakan pekerjaaan itu, itulah yang memberi kesaksian bahwa Bapalah yang megnutus Aku, 17:4, “Aku mempermuliakan Engkau dengan jalan menyelesaikan pekerjaan di bumi”) (DV 4).
Peran Yesus sebagai pengantara dan jaminan perjanjian baru dilaksanakan dalam solidaritas dan penebusannya. Antara Yesus dan manusia terjalinlah solidaritas. Yesus menjadi senasib dengan manusia berdosa dan malang, dan manusia dapat menjadi senasib dengan Yesus Kristus oleh Allah diselamatkan dan selanjutnya dapat ikut serta menikmati keselamatan itu. Rencana dan maksud Allah itu tertuju kepada keselamatan manusia berdosa, “Allah mengutus Anak-Nya” Yesus Kristus (Yoh 3:17”Yesus datang ke dunia bukan u menghakimi, tp meyelamatkan dalam nama Dia”; 17:18, “Engkau utus Aku, Aku utus mereka”; 1 Yoh 4:9.10, Gal 4:4, Rm 8:3,”mengutus anaknya sendiri dalam daging”). Apa yang dialami dan dibuat Yesus terjadi menurut “kehendak Allah” (Kis 2:23, “Dia yang telah diserahkan Allah mnrt mksud dan rencnya, tlah km salibkan..dst”; 4:28; Gal 1:4, “Yang telah serahkan diriNya karena dosa2kita, tuk lepaskan kita dari ygjaht, mnr kehenk Bapa”; Luk 24:26), bahkan adalah karya Allah (Yoh 4:34; 5:36; 10:37; 14:10). Yesus pun dengan rela dan taat melaksanakan “rencana dan kehendak Allah” itu (Flp 2:8, “Allah adalah saksiku..ds”t; Yoh 4:34, “Makanaku ialah melakukan kehendak Bapa, selesikannya pula”; 5:30; Rm 5:19, Ibr 5:8, Mat 16:21; Yoh 3:14). Oleh karena itu solidaritas timbal balik atara Yesus dan manusia sesuai dengan “rencana kehendak Allah”. Solidaritas itu hadir bagi Kristus dengan menerima kemanusiaan sepenuhnya, senasib dengan manusia (Flp 2:1-11,”merendahkan diri seperti Kristus”). Allah menjadi senasib dengan manusia, Allah membiarkan diri dibatasi oleh situasi konkret manusia, jerih payah hidup, penderitaan dll. Jurgen Moltmann membahasakan keterlibatan Allah dalam hidup manusia itu dengan bentuk Allah yang peduli (Allah yang pathos). Para nabi merefleksikan bahwa Allah adalah Allah yang peduli, (dalam konteks Israel) Allah yang peduli (pathos) terhadap bangsa Israel (situation of God). Melalui pathos, Allah memperhatikan dan masuk secara mendalam ke dalam situasi umat yang Ia pilih. Dengan demikian, pengalaman, tindakan dan penderitaan umat-Nya mempengaruhi Allah. Kasih Allah itu bukan melulu batiniah semata, tetapi terwujud dalam tindakan konkret dalam keterlibatan-Nya dengan penderitaan umat-Nya.
Untuk itu, dalam pandangan teologi moral, segala usaha hanya berarti bila dikerjakan di dalam Kristus. Orang mengikat diri pada Kristus dan pada saat yang sama mengharapkan keselamatan dari Allah lewat Kristus. Yesus senasib dengan manusia-setiakawan dengan kemalangan mausia (Ibr 2:17, “ia dismkan dengan sudara-saudranya”), bahkan sampai harus menderita dan wafat (Rm 6:23, “hidup yang kekal dlam Allah”), inilah Solidaritas negatif. Yesus mau senasib dengan manusia yang dikungkung oleh dosa, meskipun Ia tidak melakukan dosa (2 Kor 5:21, “dia dosa karena kita”). Selain itu, manusia yang berdosa turut serta diselamatkan oleh Yesus Kristus yang selamat.Yesus yang diselamatkan, disempurnakan, dibangkitkan oleh Allah menjadi pokok keselamatan abadi (Ibr 5:9, “sesudah ia mecapai kesempurnaan, ia jdi pokok keselamtan bagi semua orang”) bagi semua manusia, solidaritas positif.

Kehadiran dan Penyerahan diri yang penuh cinta menjadi sahabat orang sakit
Solidaritas Allah dengan manusia merupakan suatu tanda Allah yang menyapa manusia dengan mau terlibat di dalam penderitaan manusia. Dalam pengalaman live-in itu, akupun menanggapi sapaan Allah yang mau menyelamatkan itu dalam bentuk kehadiran dan penyerahan diri yang penuh cinta kepada mereka yang sakit. Perjumpaan dengan mereka yang sakit memanggilku untuk terlibat, sehati seperasaan dengan penderitaan mereka. Ini merupakan tanggapanku atas tawaran Allah yang sungguh telah melibatkan hidup-Nya dalam kehidupan manusia secara bebas dan merdeka. Tindakanku yang hadir dan menyerahkan diri dengan semangat cinta merupakan perwujudan imanku akan Allah yang sungguh mau terlibat dengan manusia.
Karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus yng bersolider dengan manusia memanggilku untuk mau terlibat pula dalam hidup relasiku dengan sesama. Seperti Yesus sendiri yang selalu tampil dalam hidup dan karya-Nya untuk mengasihi sesama, memperjuangkan kehidupan (Yesus memberitakan kabar baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebasan kepada tawanan, penglihatan bagi orang buta dst, bdk Luk 4:18-19). Yesus sungguh tampil untuk memperjuangkan kehidupan. Demikian pula aku melalui keterlibatan secara konkret, aku melibatkan diri dalam karya keselamatan. Dalam pengalaman live-in yang lalu, kehadiran dan penyerahan diri yang penuh cinta menjadi wujud iman yang lahir secara konkret dalam tindakan moral.
Dengan melibatkan diri dalam karya keselamatan Allah di dunia, yang telah terjadi melalui Yesus Kristus, aku pun dipanggil untuk meneruskan misi Yesus yang memperjuangkan kehidupan.

C. Visi, Misi, dan Strategi Pastoral
a. Visi

Rumah Sakit Katolik ikut ambil bagian dalam mewujudkan Kasih Allah terhadap manusia di dunia melalui pelayanannya yang holistik bagi semua orang

b. Misi
1. Menjadi sahabat bagi pasien dan keluarganya dengan didasari cintakasih
2. Memberikan pelayanan yang holistik dengan semangat Kasih bagi semua orang, terutama pasien dan keluarganya
3. Membangun semangat solidaritas umat beriman terutama bagi mereka yang sedang sakit

c. Stategi Pastoral
1. Bidang Rohani dan Kepribadian
1. Menjadi sahabat yang mau terlibat dengan penuh totalitas dalam menghadapi dengan pergulatan pasien dan keluarganya
2. Memberikan pelayanan spiritual bagi pasien dan keluarga yang membutuhkan sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka masing-masing (jejaring dengan tokoh agama lain misalnya imam, kyai dll).
3. Membantu dalam memberikan pelayanan sakramen-sakramen bagi pasien.
4. Memotivasi pasien dan keluarga untuk memperjuangkan kesembuhan

2. Bidang Sosial Ekonomi
1. Memberikan pelayanan yang berkualitas bagi semua pasien
2. Membentuk jaringan kerjasama dengan pihak-pihak tertentu untuk menyediakan dana sosial bagi para pasien tidak mampu

3. Bidang Institusi Rumah Sakit
1. Mengoptimalkan karya pelayanan pastoral care atau unit pastoral sosio-medis dengan melibatkan banyak pihak demi pelayanan yang holistik
2. Membangun kerjasama berbagai pihak (networking) demi peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit.

Daftar Pustaka
· Bernhard Kieser, SJ, Wahyu Ilahi Ditemukan Dalam Penerusan Manusiawi, manuscript, Yogyakarta, 2006
· CB. Kusmaryanto, Etika Medis, manuscript, Yogyakarta, 2009
· Dokumen Konsili Vatikan II
· Groenen, OFM, Soteriologi Alkitabiah, Yogyakarta : Kanisius, 1994
· Jurgen Moltmann, The Crucified God, dalam http://theologytoday.ptsem.edu/apr1974/v31-1-article.htm.





Tri Kusuma, Albertus


1 komentar:

  1. Best online casino game - Xn--o80b910a26eepc81il5g.online
    Best งานออนไลน์ online casino 제왕카지노 game - 메리트카지노총판 Xn--o80b910a26eepc81il5g.online.com.

    BalasHapus